Kritik dan ketidakpuasan terhadap Psikologi yang dikembangkan gerakan Psikonalisis dan Behaviorisme tak hanya muncul di Barat. Seorang psikolog asal Sudan bernama Malik Baderi menulis buku The Dilemma of Muslim Psychologist pada tahun 1979. Ia menyuarakan dilema yang dialami oleh psikolog muslim ketika berhadapan dengan Psikologi Barat yang bernuansa materialistik dan berpandangan negatif terhadap pengalaman keagamaan.
Menurutnya, dilema itu berangkat dari pandangan bahwa orang muslim itu anti sekuler dan tidak tunduk secara penuh terhadap materialisme duniawi. Seorang muslim memiliki keyakinan dan keimanan kepada sesuatu yang non-material. Keyakinan terhadap sesuatu non-material ini menimbulkan dilema ketika perangkat mazhab Psikoanalisis dan Behaviorisme sangat materialis dan positivistik.
Ada penulis lain yang juga penting dalam pengembangan kritik terhadap Psikologi Barat yang dari perspektif Islam. Salah satunya adalah buku berjudul Al-Qur’an dan Ilmu Jiwa yang ditulis oleh M. Utsman Najati. Buku itu mengulik dasar-dasar ilmu jiwa dalam kitab suci Al-Qur’an. Buku ini menjadi landasan epistimologis tentang kejiwaan dari dasar kunci agama Islam.
Pengaruh Islamisasi Ilmu Pengetahuan Ismail Raji Al-Faruqi
Gerakan Islamisasi Psikologi yang dipantik oleh Malik Baderi sebenarnya tidak lahir begitu saja. Islamisasi Psikologi sebenarnya adalah bagian dari gerakan besar sebagian cendikiawan muslim dunia yang merasa tidak puas dengan perkembangan ilmu pengetahuan Barat yang meminggirkan aspek-aspek spiritualitas yang penting bagi keyakinan agama.
Salah satu pelopor gerakan ini adalah Ismail Raji Al-Faruqi. Intelektual kelahiran Palestina ini menulis banyak buku tentang islamisasi ilmu pengetahuan, salah satunya yang sangat populer adalah Islamization of Knowledge: General Principles and Work Plan yang terbit pada 1982.
Gerakan yang dilakukan Faruqi ini memiliki gaung yang besar ketika diadakan konferensi pendidikan Islam di King Abdul Aziz University pada tahun 1977. Pada konferensi itu, Al-Faruqi menulis makalah yang sangat penting dalam gerakan ini berjudul Islamizing Social Science. Secara bersamaan intelektual muslim Malaysia Syed M. Naquib Al-Attas menulis makalah Prelimenary Thought on The Nature of Knowledge and The Definition and Aims of Education. Dua intelektual itu menjadi pelopor utama gerakan islamisasi ilmu pengetahuan.
Islamisasi Psikologi di Indonesia
Gerakan Islamisasi Psikologi juga berkembang secara besar di Indonesia. Pada tahun 1995 Jamaluddin Ancok dan Fuad Nashori menulis buku berjudul Psikologi Islam, Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi. Mereka menawarkan strategi untuk membangun Psikologi Islami, yaitu dengan membangun konsep Islam tentang manusia. Menurutnya, ilmuwan Psikologi muslim perlu membangun teori detail tentang manusia dan metodelogi dengan dasar Islam.
Gerakan Psikologi Islami mendefinisikan ulang hakikat manusia. Pandangan-pandangan ini berangkat dari sumber-sumber Al-Qur’an dan Hadist. Mislanya ada pengembangan konsep fitrah, sabar, syukur, khusyuk dan lain sebagaiannya. Belakangan Psikologi Islami juga mulai memperhatikan perilaku spiritualitas seperti yang dilakukan oleh para sufi.
Gerakan Psikologi Islami ini berhasil mendirikan Asosiasi Psikologi Islam (API) pada tahun 2002 dan diresmikan pada tahun 2015. Gerakan ini menjadi salah satu alternatif dalam perkembangan studi Psikologi di Indonesia selain Psikologi Klisnis, Psikologi Sosial dan lain sebagainya.
Tantangan Gerakan Islamisasi Psikologi
Setelah gerakan Islamisasi Psikologi berkembang, pada akhirnya juga mendapatkan banyak kritik terhadap pandangan psikologi yang dikembangkan. Pada mulanya gerakan ini bertujuan untuk mengkritik pandangan Psikologi Barat yang terlampau materialistik, namun kini Islamisasi Psikologi memiliki problem yang serupa yakni terlalu subyektif.
Islamisasi Psikologi mendasarkan pondasi teoritisnya dari dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadist. Namun, yang menjadi problem adalah hal itu tidak bisa diverifikasi obyektivitasnya sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan, memiliki kebenaran yang sifatnya tidak mutlak, selama ada fakta empiris lain yang membantahnya. Namun hal yang serupa sulit untuk terjadi jika dalil yang menjadi dasarnya adalah kitab suci. Bagaimana jika ada fakta baru yang berbeda dan bertentangan dengan klaim kitab suci itu.
Psikologi yang sudah Islami kemudian menjadi tidak universal. Karena parameternya hanya berdasarkan dari landasan satu keyakinan agama saja. Padahal, pengalaman-pengalaman religius itu sebenarnya adalah sesuatu yang bisa dikatakan sebagai pengalaman psikologis yang universal dialamai oleh semua manusia.
Saya sendiri cenderung lebih sepakat dengan pendekatan yang dikembangkan oleh berbagai psikolog humanis seperti Abraham Maslow yang menganggap pengalaman keagamaan adalah sebuah pengalaman puncak. Pendekatan dengan model yang terakhir ini masih memiliki sisi obyektivitas baik dalam aspek pengalaman maupu teoritiknya.
Problem Islamisasi Psikologi ini pada akhirnya mengikuti problem yang pernah dialami oleh gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan yang kehilangan sisi obyektivitas ilmu pengetahuannya. Pada akhirnya, justru dilema yang sebelumnya muncul pada psikolog muslim, saat ini kita semua mengalami dilema juga kepada perkembangan Psikologi Islami yang semakin pudar obyektivitasnya. []