Sedang Membaca
Ketika Kolonialisme Membunuh Perdagangan Saudagar Muslim Nusantara
M. Fakhru Riza
Penulis Kolom

Mahasiswa Magister Sains Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan aktif di Gusdurian Jogja. Bisa disapa lewat ig: @fakhru.riza dan twitter: @fakhruriza_.

Ketika Kolonialisme Membunuh Perdagangan Saudagar Muslim Nusantara

Jika Portugis dan Belanda tak membabat jalur dagang di Selat Malaka dan Pesisir Jawa pada awal masa kolonialisme, nampaknya sejarah tentang umat Islam di Nusantara akan sedikit berbeda. Pendudukan kolonial atas jalur perdagangan saudagar Muslim kita telah membabat sebuah perkembangan peradaban Islam yang cukup bersinar terang.

Pada kisaaran akhir abad ke-15 masehi, menurut sejarawan Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi (1990) menerangkan bahwa peradaban Islam di pesisir Jawa sedang memuncak. Saat itu kerajaan Islam Demak berdiri dan menurutnya merupakan sebuah kerajaan yang berorientasi kepada maritim.

Kerajaan Islam Demak di pesisir utara Jawa itu merepresentasikan sebuah semangat perdagangan global para saudagar Muslim di Nusantara. Pada saat itu, para saudagar Muslim terbiasa berinteraksi dengan berbagai kebudayaan di mancanegara karena aktivitas perdagangannya.

Hal itu juga yang menjelaskan perihal bagaimana prosesi awal masuknya Islam di Indonesia. Menurut Kuntowijoyo pada masa itu adalah proses besar-besaran Islamisasi masyarakat Nusantara secara damai. Pada masa itu, Islam mudah diterima kalangan masyarakat Nusantara karena watak kesetaraannya dibanding dengan agama Hindu-Budha.

Agama Hindu-Budha yang lebih dulu masuk dan puncaknya pada masa Kerajaan Majapahit sangat merepresentasikan model masyarakat yang berkasta. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam agama Hindu sangat kental dengan stratifikasi sosial berkasta tersebut.

Baca juga:  Drijowongso, Tokoh Muhammadiyah di Jalur Kiri

Pada saat momen kejenuhan masyarakat Nusantara dengan model formasi sosial yang hirarkis tersebut datanglah Islam dengan spirit kesetaraan. Dalam ajaran Islam yang dikembangkan oleh para penyebar Islam di Nusantara menghapuskan model masyarakat yang berhirarki.

Dalam Islam, semua pemeluknya dianggap sama dan yang membedakan hanya ketakwaannya yang sifatnya spiritual bukan material. Islam yang masuk ke Nusantara itu tidak membeda-bedakan berdasarkan keturunan maupun kekayaan. Mau miskin atau kaya, mau anak bangsawan atau kuli, memiliki strata yang sama di dunia.

Suatu model masyarakat yang setara demikian ini sangat disenangi oleh masyarakat Nusantara. Maka kemudian, pada kisaran abad ke-15 masehi itu, Islam menyebar begitu cepat di Nusantara, khususnya di Jawa. Islam menjadi semangat baru bagi masyarakat Nusantara.

Model masyarakat yang lebih setara tersebut sangat cocok dengan corak masyarakat pedagang. Masyarakat perdagagan mensyaratkan adanya keterbukaan ekonomi untuk saling tukar-menukar barang dagangan dari antar wilayah, bahkan mancanegara.

Spirit kesetaraan dalam Islam tersebut membentuk sebuah masyarakat pedagang yang hidup di pesisir Jawa. Kemudian, Kerajaan Islam Demak yang letaknya di pesisir utara Jawa tersebut merepresentasikan spirit dari masyarakat Muslim pedagang.

Masyarakat pedagang yang bertukar barang dagangan dengan berbagai pedagang lain hingga mancanegara tersebut sebenarnya merupakan sebuah cikal bakal terbentuknya masyarakat modern di Nusantara. Sebagaimana yang terjadi di Barat bahwa modernisme di Barat didukung oleh semangat perdagangan. Dengan mencontoh itu, sebenarnya fondasi kemodernan tersebut sudah muncul sejak zaman perdagangan mancanegara para saudagar Muslim di Nusantara.

Baca juga:  2 Syawal 1245 H, Belanda Menjebak Pangeran Dipenogoro dan Berakhirlah Perang Jawa

Namun, yang jadi soal adalah peradaban perdagangan saudagar Muslim tersebut diamputasi oleh kedatangan kolonialisme yang menduduki wilayah pesisir di Nusantara. Berbeda dengan spirit perdagangan saudagar Muslim Nusantara yang menjunjung kebebasan perdagangan, para kolonial Eropa itu datang dengan memonopoli perdagangan.

Para kolonialis tersebut berasal dari kerajaan Portugis dan kerajaan Belanda yang masih feodalistik dan tak menyukai ekonomi perdagangan yang terbuka. Mereka lebih suka memonopoli perdagangan. Peradaban Eropa zaman kolonial tersebut belum mengalami modernisasi. Maka sebenarnya, pada masa-masa itu, Eropa lebih kolot dibanding kita yang perdagangan globalnya telah maju.

Namun, harus bagaimana lagi, sejarah telah terjadi. Peradaban perdagangan global saudagar Muslim kita lenyap setelah kedatangan kolonial. Setelah lenyapnya perdagangan global tersebut, masyarakat Muslim kita mengalami penyingkiran sejarah yang dampaknya masih tersisa hingga kini. Mentalitas perdagangan kita sangat lemah, padahal pada masa itu para leluhur sudah terbiasa berdagang.

Semula, dalam kultur perdagangan yang kuat dan kosmopolit, setelah jalur perdagangan tersebut diambil alih kolonial, formasi sosial umat Islam ikut berubah pula. Dari kaum pedagang menjadi masyarakat pertanian dengan peradaban daratnya.

Peradaban pertanian ini punya konsekuensi sosial dan kebudayaan. Jika masyarakat perdagangan identik dengan spirit keterbukaan dan kosmopolitanisme, karena berdagang dengan siapa saja tanpa ada tapal batas teritori. Namun, model masyarakat pertanian berbeda, formasi sosialnya lebih tertutup dan feodal. Selain itu, begitu masyarakat pertanian terbentuk, maka relasi kawula dan gusti yang hirarkis pasti juga terbentuk.

Baca juga:  Menengok Makam Mbah Abdul Wahid di Salatiga: Pasukan Telik Sandi Pada Perang Jawa 1825-1830 M

Dengan demikian, pengamputasian perdagangan saudagar Muslim Nusantara yang sedang bersinar terang, memiliki konsekuensi sosial dan kebudayaan yang besar. Spirit egalitarian dan kosmopolit digantikan dengan bentuk feodalisme. Wallahua’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top