Dalam suatu obrolan dengan salah satu teman, ia sambat mengenai hal-hal yang mengusik hatinya. Kurang lebih apa yang ia resahkan sering saya rasakan juga, yaitu tentang nasib masa depan dan kebahagiaan.
Mulai dari besok kerja apa, mau jadi apa, apakah ketika kita balik kita dapat membahagiakan orangtua, mirisnya gaji guru madrasah, buka online shop minyak Argan, bisakah kita menjadi bermanfaat bagi sekitar? Masalah mendasar yang telah menjadi pertanyaan cukup purba dalam sejarah manusia dan akan terus berulang hingga semuanya fana.
Sebenarnya ritual sambat kami berlangsung ketika ngopi di Café Vog, berada tepat di tengah pusat kota Casablanca, menjadi semacam hal wajar dan biasa-biasa saja. Jadi saya jawab sekenanya bahwa porsi kebahagiaan seorang manusia berbeda-beda. Obrolan berlanjut ngalor-ngidul hingga larut tengah malam dan kopi dalam cangkir kami pun ludes.
Berbicara tentang kebahagiaan memang sangat kompleks. Sudah banyak teori dan silang pendapat di kalangan para filosof, ilmuan, ulama, hingga tokoh-tokoh yang namanya abadi di pusaran sejarah. Agar tulisan ini tidak meluber ke mana-mana, maka akan saya ringkas dalam sebuah pertanyaan, “Apakah agama dapat mengantarkan manusia menuju kebahagiaan yang hakiki?”
Sekira dua tahun yang lalu, saya sempat membaca buku kecil tapi begitu berbobot lewat aplikasi daring Ipusnas. Buku ini anggitan Romo Franz Magnis Suseno yang diterbitkan oleh Kanisius pada 2009.
Selaras dengan judulnya, Menjadi Manusia Belajar Dari Aristoteles, buku ini membahas tentang tujuan hidup manusia. Dalam hal ini Aristoteles berpendapat bahwa tujuan sejati manusia adalah bahagia.
Lantas jalan hidup macam apa yang dapat mengantarkan manusia meraih kebahagiaan sejati? Untuk meraih hidup yang bermakna, manusia harus mengembangkan dirinya dengan beraktivitas secara nyata dalam kehidupan sosial. Ikut merasakan keringat rakyat dan denyut nadi masyarakat. Ada dua poin yang kiranya menarik untuk kita simak lebih dalam.
Pertama, menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain demi tercapainya kebahagiaan karena hal itu sesuai dengan hakikat manusia sebagai makhluk sosial.
Poin di atas selaras dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Komarudin Hidayat saat launching buku terbarunya Gus Ulil Absar Abdallah yang berjudul Menjadi Manusia Rohani. Beliau memaparkan bahwa tingkat kebahagiaan manusia itu ada lima.
Yang paling rendah adalah fisical happiness. Kebahagiaan yang bersifat fisik dan indrawi. Ketika manusia hanya mengejar kenikmatan-kenikmatan sementara. Aristoteles mencontohkan dengan kekayaan dan nama besar, yang mana keduanya hanyalah instrumental-sementara.
Sebagai tambahan, Aristoteles sangat menentang paham hedonisme yang dipopulerkan pertama kali oleh Epikuros, filosof Yunani kelahiran Samos sekira 342 S.M, yang berangapan bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai jika kita menghindari rasa sakit dan mengejar kenikmatan. Cara meraih kebahagiaan seperti ini bukanlah hakikat manusia itu sendiri, melainkan ciri binatang.
Tingkat selanjutnya, intellectual happiness, ketika manusia mendayagunakan akal sehatnya untuk meraih kebahagiaan. Pak Prof memberikan contoh seperti belajar, ngaji, mengajar anak didik, menulis buku, dan segala hal yang dapat memuaskan dahaga intelektual seseorang. Tahap ketiga adalah esthetic happiness, bahwa kebahagiaan bersumber pada keindahaan. Manusia akan merasa tenang ketika melihat keindahan, keteraturan, dan harmoni. Hal ini bersumber dari salah satu hadis Nabi Muhammad Saw. Inna Allaha jamil yuhibbul jamal.
Tingkat keempat adalah moral happiness. Ketika manusia bisa bermanfaat bagi makhluk lain. Sederhana tetapi sangat dalam maknanya. Tak ayal jika Nabi Muhammad Saw bersabda, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia.”
Di atas keempat tingkatan di atas, masih ada satu tingkatan paling tinggi, yaitu spiritual happiness. Tatkala manusia sadar bahwa dirinya hanyalah kefanaan. Memiliki keyakinan kuat dan kemantapan iman.
Selain itu, Prof. Komaruddin juga menjelaskan perihal maqam dalam Islam. Ada tiga dimesi seorang Muslim dalam menjalankan keberagamaannya. Dimensi syariat. Di sinilah kebanyakan kaum Muslim berada. Mereka yang sibuk dengan dalil-dalil ibadah, fikih, dan masalah khilafiyyah lainnya.
Naik dimensi selanjutnya, seorang Muslim akan mulai sampai pada maqam nubuwwah yang berisikan berita gaib, Surga, Neraka, azab dan kenikmatan di alam Akhirat. Dimensi terakhir yang dapat dilalui seorang salik adalah maqam wilayah atau syahadah. Dalam tahap ini tembok jarak antara aku (makhluk) dan tuhan roboh.
Perenungan Awal Kebijaksanaan
Setelah membahas panjang lebar tentang bermacam tafsiran mengenai kebahagiaan, kita kembali lagi menyimak poin kedua dari apa yang disampaikan Arostoteles sebelumnya. Yaitu melakukan sebuah perenungan untuk menemukan kebijaksaan.
Berkaitan dengan konsep perenungan atau asketisme ini, yang lebih akrab dalam dunia tasawuf sebagai uzlah ini, Gus Ulil Absar Abdallah menjelaskan panjang lebar tentang dua aforisme dari kitab Al-Hikam karya sufi besar sekaligus mursyid ke tiga Tarekat Syadiliyyah yang berasal dari Alexandria, Ibnu Athaillah As-Sakandary.
ادفن وجودك في أرض الخمول فما نبت مما لم يدفن لا يتم نتاجه
Kuburlah eksistensimu di dalam bumi ketidaknampakan, sesuatu yang tumbuh tapi tidak didasari oleh sesuatu yang ditanam di dasar tanah maka buahnya tidaklah sempurna.
Melalui aforisme di atas, Gus Ulil menarik jauh ke dalam ranah kebangsaan dan keberagamaan kita. Ia menekankan, tasawuf adalah sebuah cara pemberadaban bangsa. Dari tasawuf melahirkan kedalaman-kedalaman yang dapat memperkokoh pondasi sebuah bangsa. Lantas ketika bangsa kehilangan kedalaman ini, maka akan membahayakan dirinya.
Gus Ulil menganalogikan, sebelum menjadi seorang sarjana, ia harus berada dalam ardhil khumul, yaitu dengan bergumul dengan banyak buku bacaan, menghindar dari gemerlap dunia, hingga ia dapat mempertahankan disertasinya dan menjadi sarjana yang berhasil. Atau gedung yang besar dan megah tidak akan kuat berdiri kecuali memiliki pondasi yang tertancap kuat di kedalaman tanah.
ما نفع القَلْبَ شيء مثلُ عُزلةٍ يدخل بها ميدان فكرة
Tidak ada sesuatu yang lebih nikmat melebihi uzlah kecuali ia masuk dalam medan refleksi.
Dari aforisme kedua ini, Gus Ulil menngingatkan bahwa ketika seseorang telah hidup dalam dunia teoritis, konseptual, rasional, ia harus mencercap masuk ke dalam dunia spiritual sufistik untuk mendapatkan sebuah kedalaman hati dan kebahagiaan sejati. Dari sinilah Gus Ulil optimis bahwa proses pemberadapan suatua bangsa akan menjadi keniscayaan tatkala kita telah bersama-sama menyelami kedalaman ardhil khumul.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah bisa agama menghantarkan manusia mencapai kebahagiaan sejati? Jawabannya, sungguh bisa. Ada satu pembahasan yang kiranya harus disampaikan di sini sebagai penutup. Bahwa tujuan manusia adalah mencari kebahagiaan yang hakiki. Dengan cara mengoptimalkan segala bakat dan daya guna sebagai manusia untuk menjadi bermakna bagi orang lain.
Seluruh agama telah membuka jalan lebar-lebar bagi manusia menentukan jalan dan tujuan hidupnya. Pertanyaannya maukah manusia berpikir secara mendalam dan menjadi manusia utuh, seperti apa yang diharapkan Aristoteles?
Casablanca, Rabu 20 Februari 2019