Pekerja professional. Pernah aktif PMII di Yogyakarta. Saat ini mempunyai ketertarikan kepada berbagai isu termasuk keagamaan, keragaman, sosial, dan kebangsaan.

Dakwah KH. Ahmad Dahlan dalam Bidang Sosial Keagamaan dan Politik

Nilai Islam sebagai agama rahmatan lil-’alamin seyogyanya mampu terimplementasi dalam kehidupan keseharian seorang muslim. Dalam upaya mendorong aktualisasi nilai tersebut, Organisasi Masyarakat keagamaan memiliki peran yang sangat strategis. Muhammad Darwis atau KH Ahmad Dahlan telah memahami akan pentingnya hal tersebut. Sikapnya yang kritis akan praktek ibadah yang kurang baik, menjadi tindakan nyata menasehati masyarakat dalam kebenaran dan kesabaran. Hingga diberi sebuah kepercayaan dari Sultan Hamengkubuwono VII untuk berkonsultasi dan bertukar pikiran dengan para ulama Besar di kota suci Mekkah. Dalam menyikapi pengaruh pemerintahan VOC terhadap masyarakat di Bumi Nusantara (Sukriyanto AR, 2017). 

Sekembalinya dari Mekkah, KH Ahmad Dahlan membuka pendidikan bagi masyarakat di sekitar Langgar Duwur. Dengan semangat mengajar tinggi, menjadikannya berkeliling kampung guna mengajak anak-anak untuk belajar agama kepadanya.

Selain agama, KH Ahmad Dahlan juga mengajari muridnya bermain biola dan kegiatan lain. Tidak hanya di area Kauman, beliau juga aktif mengajar di beberapa kampung lain di wilayah kesultanan Ngayogyakartahadiningrat.

Kesadaran dan Manfaat  

KH Ahmad Dahlan juga menawarkan diri untuk mendidik para pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan Kweekschool Jetis Yogyakarta.

Selama mengajar, KH Ahmad Dahlan terlihat sangat antusias dalam menjelaskan nilai islam yang dikaitkan dengan pengetahuan umum. Hal ini ia lakukan sebagai akibat adanya pengkotak-kotakan kondisi pendidikan saat itu (Juniawan Dahlan, 2017). Adapun keinginan KH Ahmad Dahlan adalah mengelaborasi kedua bentuk pendidikan tersebut. Hingga menjadikan anak didiknya mampu menguasai ilmu agama sekaligus ilmu umum.

Baca juga:  A. A. Achsien, Wartawan NU yang Lahir 12 Juli, Wafat 12 Juli

Melihat semangat KH Ahmad Dahlan dalam mendidik, Raden Sosrosoegondo dan Mas Radji menyarankannya untuk membuka sekolah. Adapun beberapa tokoh Boedi Oetomo seperti Budihardjodan Dwidjosewodjo menyarankan agar sekolah ini mesti didukung oleh sebuah organisasi yang kuat. Gagasan ini muncul, akibat keprihatinan kondisi pendidikan beberapa pesantren pada masa itu yang seringkali terpaksa tutup, setelah kiai pimpinan pesantren meninggal dunia.

Baru pada tahun 1911, Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah dibuka oleh KH Ahmad Dahlan sebagai tempat untuk mengajarkan ilmu agama & ilmu umum (Djarnawi Hadikusumo). Adapun organisasi kuat yang mendukungnya baru terbentuk 1 tahun kemudian atau 1912 dengan nama Muhammadiyah. 

Peran Muhammadiyah terus mengalami perkembangan. Kehadiran seorang Haji Fachrodin yang memiliki pengalaman sebagai kontributor surat kabar, menjadi awal munculnya surat kabar Soewara Moehammadijah pada tahun 1915. Peran KH Ahmad Dahlan bersama HM. Hisyam, RH. Djalil, M. Siradj, Soemodirdjo, Djojosugito, dan KRH. Hadjid di surat kabar adalah redaktur (Soewara Moehammadijah no 2 th ke-1/1915). Beberapa artikel ternyata mampu memunculkan kesadaran kolektif baik dari kalangan internal muhammadiyah maupun masyarakat luas. Akan kondisi nusantara yang saat itu masih terjajah. Dan kesadaran ini berbuah keinginan bersama untuk menjadi sebuah wilayah yang berdaulat penuh secara De facto dan De jure .  

Baca juga:  Amar Makruf Nahi Munkar, Dakwah dan Rambu-rambunya dalam Agama

Sejalan dengan suasana kebatinan masyarakat tersebut, surat kabar Soeara Moehammadijah semakin memperlihatkan keberaniannya. Dengan memuat artikel berjudul “Kamardikan” yang membahas kebebasan manusia pada tahun 1922. Terbitnya artikel tersebut tentu menyiratkan akan dukungan pimpinan muhammadiyah termasuk KH Ahmad Dahlan terhadap gagasan kemerdekaan. 

Upaya saling menguatkan kesadaran dan keinginan akan Kemerdekaan Indonesia terus bergelora diantara Organisasi Pergerakan seperti Perhimpunan Indonesia dan Organisasi Masyarakat seperti Muhammadiyah. Penggunaan kata “Bangsa Indonesia” dalam deklarasi Perhimpunan Indonesia ditahun 1923, yang berkembang menjadi manifesto politik pada tahun 1925. Mendapat sambutan baik dalam organisasi Muhammadiyah. Surat Kabar Soeara Moehammadijah mengganti istilah Hindia Belanda menjadi Indonesia dalam artikelnya (Soewara Moehammadijah no 1 th 1925). Dan kesadaran ini teramplifikasi hingga ke beberapa organisasi lainnya. Hingga berujung kepada munculnya Kongres Pemuda I (1926) dan Kongres Pemuda II (1928), yang menghasilkan Sumpah Pemuda dengan pengakuan berbangsa Indonesia.

Konsensus sebagai satu bangsa, menjadi prolog dari usaha memperoleh kemerdekaan Indonesia seperti yang diharapkan juga oleh KH Ahmad Dahlan. Kini manfaat peran tersebut telah dirasakan secara nyata oleh masyarakat secara luas. Gelombang tantangan yang muncul baik yang berasal dari masyarakat sekitar maupun penjajah dihadapi dengan cerdik oleh sang Pendiri Muhammadiyah ini. 

Evolusi Peran

Adapun saat ini telah terjadi perubahan (evolusi) tantangan yang dihadapi oleh warga muhammadiyah. Bentuk keterjajahan berubah menjadi keterjajahan secara ideologi maupun budaya. Gempuran ideologi dan budaya global semakin terlihat masif dan kentara. Sebagian masyarakat lebih tertarik kepada pengaruh tersebut.

Baca juga:  Instagram: Alhamdulillah, Ramadan Pertama Bareng Suami

Pada sisi lain pengaruh ideologi dan budaya global ternyata menciptakan fundamentalisme dan sekularisme dalam masyarakat. Masyarakat yang tetap berkomitmen menjaga persatuan Indonesia dengan nilai luhur agama, budaya serta kearifan lokal terus dihantam oleh kelompok ini. Tindakannya tidak hanya berupa mempertentangkan dasar kepercayaan. Namun juga berupa tindakan kekerasan seperti pengeboman yang melukai masyarakat.       Diperlukan sebuah peran nyata & cerdik seperti yang dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan. Peran untuk memberi pemahaman akan pentingnya nilai – nilai Islam yang rahmatan lil alamin. Sekaligus keragaman yang sunatullah. Nilai agama, budaya dan kearifan lokal selama ini telah terbukti mampu menjaga kebhinekaan Indonesia dalam bingkai negara kesatuan (I Gede Suwindia, 2012; Ansyaad Mbai, 2018).

Muhammadiyah sangat diharapkan untuk terus berperan besar dalam memberi pemahaman dan kesadaran tersebut. Serta menunjukkan sikap tegas mengecam kelompok dan pelaku tindakan kekerasan. Sebagaimana sikap KH Ahmad Dahlan terhadap pemerintahan penjajah yang juga menyengsarakan masyarakat. Dan tentunya kita juga berharap, keseimbangan peran religiusitas dan nasionalisme yang diajarkan KH Ahmad Dahlan, akan tetap tumbuh & mengakar kuat dalam Muhammadiyah hingga masa mendatang.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top