Kemas M. Intizham
Penulis Kolom

Lahir di Jambi. Kuliah S1 dan S2 di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sekarang mengajar di Pesantren An-Nur dan UIN Sultan Thaha Jambi.

Pengalaman Nyantri di Pesantren Salaf dan Pesantren Modern

pesantren

Ramadan beberapa tahun lalu, saya berkesempatan untuk mondok di sebuah perantren tradisional (salaf). Tepatnya di Sarang, Rembang. Niatnya adalah untuk ngalap berkah dalam pengajian kitab di bulan Ramadhan yang selalu diadakan di pesantren tersebut setiap tahunnya. Terutama ingin ikut langsung pengajiannya Mbah Moen (panggilan KH. Maemoen Zubair). Dari sinilah saya mulai jatuh cinta terhadap tradisi yang ada di pesantren model ini (salaf). Saya pernah punya cita-cita ingin kembali mondok di pesantren model ini. Tapi belum kesampaian sampai sekarang.

Selama enam tahun saya dibesarkan di sebuah pesantren yang berlatar belakang Pesantren Modern. Pesantren dengan aturan yang sangat ketat. Kegiatan sehari-hari dari mulai tidur sampai mau tidur lagi telah tertulis di kertas yang ditempel di dinding setiap kamar. Bahkan bentuk rambut, jenis pakaian (dalam waktu tertentu), kopiah, dan lain sebagainya sudah ditentukan.

Setiap malam selalu ada hukuman bagi mereka yang melanggar aturan. Di sini, di pesantren modern ini, kredibilitas, integritas, dan kedisiplin ditempa dengan sungguh-sungguh. Santri-santri di pesantren ini selalu rapi. Baju yang tidak dimasukkan akan dihukum, kalau perlu digunting. Pokoknya setelannya seperti eksekutif muda.

Sebagai insider atau orang dalam, yaitu orang yang hidup selama enam tahun lebih di pesantren jenis ini, saya harus jujur. Jujur mengatakan ada sesuatu yang kurang, yang belum saya dapat di sini. Jelas setelah saya mendapat semua hal positif darinya.

Baca juga:  Multikulturalisme Bahasa Alquran

Menjadi Santri Pesantren Modern

Saya ingin menekankan, saya menulis dengan kacamata saya. Bukan kacamata orang lain. Bukan kacamata teman saya. Bukan kacamata guru saya. Bukan kacamata orang yang juga pernah mondok di pesantren model ini. Sekali lagi ini kacamata saya. Sudut pandang saya. Persepsi saya.

Sebagai santri yang diwajibkan menggunakan bahasa asing (Arab dan Inggris) dalam percakapan sehari-hari, saya kerap kali menggunakannya malah di depan orang yang tidak paham. Ketika berada di mall bersama teman-teman, misalnya. Dengan kebanggaan tinggi saya berbicara keras-keras dalam bahasa Arab atau Inggris, meskipun jelek. Melatih mental dalihnya.

Dengan aturan dan kegiatan yang sudah ditulis semua, memang menjadikan saya orang yang tertib, disiplin, dan teratur. Namun dengan berat hati saya katakan, itu dulu. Ketika semua masih ada peraturan dan hukuman jika melanggar. Kesadaran dalam diri saya belum tertanam dengan baik. Mungkin karena terbiasa dengan aturan. Saat aturan sudah tidak ada, saya menjadi orang yang semena-mena. Atau memang saya-nya saja yang tidak tahu diri. Lagi-lagi ini adalah ukuran diri saya. Bukan orang lain.

Dua Minggu di Pesantren Salaf

Saya hanya mondok dua minggu di Pesantren Salaf. Itu pun ketika kegiatan Ramadhan. Mungkin kegiatannya berbeda dengan hari biasa. Jadi jelas referensi saya sangat kurang. Makanya saya katakan mau mondok di Pesantren jenis ini selama satu atau dua tahun. Pertama kali masuk ke pesantren ini, saya agak kaget. Kaget dengan kondisinya. Baju-baju bergantungan di mana-mana.

Baca juga:  Governing The Nahdlatul Ulama: Kewargaan dan Kuasa Kepemimpinan

Di pesantren saya dulu, baju yang berserakan akan disita. Tidak ada barang yang boleh diletakkan di luar lemari. Bahkan jemuran yang tidak diangkat sampai menjelang Isya akan diambil. Rambut santri pesantren salaf ini juga tidak beraturan. Ada yang gondrong. Santri-nya juga sepertinya bebas merokok. Namun setelah saya perhatikan, mencari santri paling cerdas di pesantren ini adalah hal gampang. Lihat saja jika ada seorang anak, membaca kitab sambil rokoan, di sebelahnya ada segelas kopi, bisa dikatakan itu anak cerdas.

Pakaian yang dikenakan santri Pesantren Salaf ini pun cenderung kusut. Jarang ganti. Mereka kemana-mana pakai sarung. Tetapi setiap mereka akan salat, bajunya bersih. Baunya wangi. Karena tidak ada jadwal tetap, kerap kali santrinya melakukan kegiatan sesukanya. Hanya saja, setiap mau ngaji kitab, dengan kesadaran penuh semuanya berangkat. Kadang malah saya yang malas berangkat. Mereka melakukan kegiatan tanpa terikat aturan, yaitu dengan kesadaran diri sendiri.

Saya ingat kata-kata Kyai saya dulu, ketika beliau habis berkunjung ke Pesantren Salaf milik temannya. Beliau bercerita tentang kelebihan dan kekurangannya. Intinya beliau kagum dengan sikap dan perilaku santri temannya itu. Beliau bilang, mereka sepertinya lebih banyak ditempa ininya (sambil menunjuk dada yang artinya hati), sedangkan kita lebih banyak ininya (sambil menunjuk kepala yang berarti otak).

Baca juga:  Teologi Wabah: Laporan Ibnu Hajar al-Asqalani Terhadap Pandemi

Saya berpikir, bagaimana keduanya (hati dan pikiran) bisa ditempa secara bersamaan, dengan porsi yang seimbang sejak dini. Keduanya memang punya keunggulan masing-masing. Tentu saja juga punya kekurangan masing-masing. Jadi bagi saya, tidak ada yang lebih baik di antara keduanya. Karena memang kedunya bukan untuk dibanding-bandingkan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top