Sedang Membaca
Mbah Shodiq Kiai Sat-set (2): Tipe Ulama yang Patut Dijadikan Contoh oleh Kita Semua
K.H. Zulfa Mustofa
Penulis Kolom

Wakil Ketua Umum PBNU.

Mbah Shodiq Kiai Sat-set (2): Tipe Ulama yang Patut Dijadikan Contoh oleh Kita Semua

Whatsapp Image 2022 11 28 At 23.17.35 (4)

Sebagai agama terakhir yang turun, islam didesain untuk bisa menjadi solusi bagi setiap permasalahan yang dihadapi manusia. Dan solusi terbaik tentu saja adalah ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya dalam beberapa kitab yang sering dikaji di lingkungan pondok pesantren, pembahasan ilmu pengetahuan–terutama ilmu agama–posisi yang sangat penting.

Ada dua aktivitas yang harus ada sebagai penopang utama ilmu pengetahuan. Aktivitas pertama adalah membaca, sedangkan aktivitas kedua adalah menulis. Membaca merupakan aktivitas yang sangat penting. Urgensi membaca terekam dalam wahyu pertama yang turun pada Nabi Muhammad SAW. yang berisi intruksi untuk qira’ah (membaca). Qira’ah adalah membaca dengan objek yang sangat luas. Bukan hanya membaca sesuatu yang tertulis tetapi juga membaca keadaan, tanda alam, kondisi psikologi, dan lain-lain.

Para ulama tahu betul manfaat dari membaca. Bahkan tidak jarang para ulama membaca sebuah karya berkali-kali untuk mendapatkan kesimpulan pengetahuan yang berbeda. Imam Al-Muzani misalkan, ia membaca kitab Ar-Risalah karya sang guru (Imam As-Syafi’i) sebanyak 500 kali. Beliau mengatakan:

‌قرأت ‌الرسالة خمس مائة مرة ما من مرة إلا واستفدت منها فائدة جديدة

“Telah aku baca kitab ar-risalah sebanyak lima ratus kali. Tidaklah aku membacanya kecuali selalu kudapatkan faidah baru darinya.”

Guru Imam Al-Muzani, Imam As-Syafi’i juga mencontohkan hal yang sama. Saat ia ditanya dalil keabsahan ijma’ sebagai salah satu hujjah dalam agama, Imam As-Syafi’i sampai harus membaca dan mengkhatamkan al-Quran sebanyak tiga ratus kali untuk mendapat jawaban atas pertanyaan tersebut. Kisah tersebut diabadaikan Imam Fakhrudin Ar-Razi dalam tafsirnya:

Baca juga:  Ulama Banjar (139): Drs. H. Zainal Arifin Zamzam, MA

روي أن ‌الشافعي رضي الله عنه سئل عن آية في كتاب الله تعالى تدل على أن ‌الإجماع حجة، فقرأ القرآن ثلاثمائة مرة حتى وجد هذه الآية

“Diriwayatkan bahwa As-Syafi’i ditanya tentang sebuah ayat dalam al-Quran yang menunjukan keabsahan ijma’ sebagai hujjah. Maka ia membaca al-Quran tiga ratus kali sampai menemukan dalil pada ayat ini (QS: An-Nisa:115).”

Dua kisah di atas hanyalah contoh bagaimana kita sudah diwariskan tradisi membaca yang begitu baik oleh para ulama kita.

Selanjutnya adalah menulis. Tentu saja aktivitas membaca (terutama membaca teks) tidak bisa dilepaskan dari aktivitas menulis karena kedua hal tersebut saling berkaitan. Itulah mengapa perintah membaca dalam al-Quran diringi dengan isyarat pentingnya menulis. Allah Berfirman:

﴿اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (٣) الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ (٤)﴾

“Bacalah! Tuhanmulah Yang Mahamulia (3) yang mengajar (manusia) dengan pena (4).”

Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini menunjukan keutaman aktivitas menulis. Selain itu, salah satu rahasia fawatihus suwar (pembukaan surah-surah dalam al-Quran) dengan huruf at-Tahajjiy adalah untuk memberikan pesan kepada bangsa arab bahwa mereka akan mencapai puncak peradaban dengan mengenal dan meneruskan tradisi menulis. Syekh Thahir Ibn ‘Asyur dalam tafsirnya menjelaskan:

أو كونها أقساما أقسم بها لتشريف قدر الكتابة، وتنبيه العرب الأميين إلى فوائد الكتابة لإخراجهم من حالة الأمية

Baca juga:  Kiai Najmuddin Kapurejo: Kiai Tirakat, Kiai Lakon

“Atau (bisa jadi pendapat yang kuat mengenai tafsir “alif lam mim”) kedudukannya (pembukaan surat dengan huruf-furuf hija’iyah) sebagai sumpah untuk menunjukan kemuliaan aktivitas menulis, dan mengingatkan bangsa arab yang ummi akan beberapa manfaat menulis untuk mengeluarkan mereka dari keadaan ummi.”

 Atas beberapa poin itulah kami meyakini bahwa tradisi membaca dan menulis adalah tugas peradaban yang turun-temurun telah diwariskan dari generasi ke generasi dan kita bisa merasakan manfaat besar dari berlangsungnya tradisi ini. Imam Syafi’i menjadikan sepertiga malamnya untuk menulis. Imam Ahmad tidak berhenti menulis meskipun berada dalam penjara. Ulama-ulama Nusantara pun demikian. Sejak era Wali Songo, era Syekh Hasyim ‘Asy’ari sampai saat ini tradisi menulis masih terus terjaga meskipun mengalami fluktuasi.

Atas dasar itu kami sangat bergembira dan menyambut hangat karya-karya yang dilahirkan dari tangan K.H. Shodiq Hamzah, terutama kitab tafsirnya yang berjudul al-Bayan fi Ma’rifati Ma’ani al-Quran. Tafsir ini sangat layak mendapatkan perhatian karena merepresentasikan dari dua hal. Pertama, tentu saja kehadiran tafsir ini adalah representasi dari terus hidupnya kajian tafsir di Nusantara. Kedua, tafsir ini juga menjadi gambaran bagaimana ulama kita sangat berhasil memadukan ilmu pengetahuan dengan kebudayaan karena menggunakan bahasa jawa kromo, bahasa yang menurut hemat kami perlu mendapatkan perhatian lebih.

Baca juga:  Ulama Banjar (110): KH. M. Kurdi Baseri

Kiai Shodiq Hamzah adalah tipe ulama yang patut dijadikan contoh oleh kita semua, karena ia bukan hanya fokus mengaji dan mengajar, tetapi juga produktif dalam menulis. Tentu kita merindukan generasi islam yang dipenuhi kiai-kiai yang sangat aktif dalam mendidik umat lewat ceramah-ceramah, pengajian-pengajian, dan juga tulisan-tulisan.

Kita mengenal sosok Syekh Hasyim ‘Asy’ari, misalkan. Beliau adalah figur yang sangat ideal. Beliau adalah ulama, orator, organisator, konsolidator, juga autor. Kita juga mengingat sosok K.H. Bisri Musthofa yang kurang lebih juga demikian. Tentu saja figur-figur seperti itulah yang kita harapkan mengisi ruang-ruang peradaban islam saat ini. Sekali lagi, atas nama PBNU dan pribadi kami mengucapkan selamat dan merasa bangga atas karya-karya K.H. Shodiq Hamzah. Semoga kita semua diberikan perlindungan dan keberkahan oleh Allah SWT.

والله الموفق ألى أقوم الطريق

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top