Bassam Tibi. Dialah salah satu pemikir Islam kontemporer dengan karir intelektual terbilang paling moncer. Namanya berkibar dalam pergaulan dunia kecendekiawanan Islam baik di Timur maupun di Barat.
Tibi kerap disejajarkan dengan para reformer Islam yang sering disebut-sebut sebagai juru bicara dunia Islam di Barat saat ini terutama dalam tema besar dari apa yang disebut “ke arah mana Islam,” sebut saja misalnya Seyyed Hossein Nasr serta cucu Hassan Al Banna, Tariq Ramadan yang kontroversial itu.
Saat ini Tibi, Nasr, dan Ramadan sama-sama mukim di negara-negara dengan iklim akademik yang boleh dikatakan telah mapan tapi, saat bersamaan, umat Islam menjadi golongan minoritas di sana. Artinya, mereka merefleksikan Islam dari perspektif milleu modern berikut turunan-turunannya yang tumbuh dan berkembang di kampung halamannya sendiri seperti demokrasi, liberalisme, sekularisme dan seterusnya.
Tentang Bassam Tibi yang lahir pada 1944 dari keluarga bangsawan muslim di Damaskus dari klan “Banu al-Tibi” ini, saat umur delapan belas tahun ia dikirim orang tuanya ke Jerman untuk melanjutkan studi.
Selama periode 1964 hingga 1970, Tibi berguru langsung pada para begawan filsafat di Jerman seperti Max Horkheimer, Theodor Adorno, Jürgen Habermas, serta pada pakar Hegel dan Marxisme, Iring Fetscher.
Nama yang disebut terakhir merupakan pembimbing Ph.D Bassam Tibi ketika ia menempuh pendidikan di Johann Wolfgang Goethe University of Frankfurt. Sekadar info, Bassam Tibi meraih dua gelar Ph.D, satunya lagi ia peroleh dari Universitas Hamburg, juga di Jerman.
Buku-buku utama Bassam Tibi yang memfokuskan bahasan tentang Islam ialah (1) Arab Nationalism: Between Islam and the Nation-state; (2) Conflict and War in the Middle East: From Interstate War to New Security; (3) The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder: Political Islam; (4) Political Islam, World Politics and Europe: Democratic Peace and Euro-Islam versus Global Jihad; dan (5) Islamism and Islam.
Lantas, dari mana Tibi mendapatkan inspirasi untuk mendalami kajian-kajian keislaman terutama terkait topik humanisme Islam yang belakangan ini ia geluti?
Dalam sebuah catatan kaki di tulisannya yang berjudul Islamic Humanism vs. Islamism: Cross-Civilizational Bridging (2012) ia mengisahkannya secara singkat begini.
“Filosof besar Jerman Ernst Bloch”, tulis Tibi, “menginspirasi saya saat saya masih menjadi mahasiswa, ketika dalam pertemuan pertama kami dia memberikan bukunya, Avicenna und die Aristotelische Linke (1963).”
Versi Inggris dari buku Bloch yang diberikan ke Tibi adalah Avicenna and the Aristotelian Left. Melalui buku ini Bloch memperlihatkan perkembangan penafsiran Ibnu Sina (yang di Barat dikenal dengan Avicenna) terhadap Aristoteles dari Abad Pertengahan hingga abad ke-19.
Ibnu Sina menurut Bloch adalah filosof pertama yang melakukan sistematisasi pembacaan naturalis atas pemikiran Aristoteles. Ibnu Sina berkontribusi sangat besar dalam perkembangan Aristotelianisme, lebih khusus terkait distingsi antara bentuk dan materi, yang kelak melahirkan perkembangan dalam dua arah berlawanan selama Abad Pertengahan:
Dunia Kristen mengakomodasi Aristoteles dengan tuntutan “dogmatis” dari iman, mengembangkan suatu pengertian tentang materi yang didefinisikan oleh kepasifannya sesuai kebutuhan akan prinsip transenden, untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri yaitu, bentuk.
Di sisi lain, dunia Islam memperbarui tradisi eksegetis Strato dari Lampsacus dan Alexander dari Aphrodisias dengan mengembangkan “minat yang semakin dominan pada hal-hal duniawi,” atau dengan arti kata lain bersifat sekularistik..
Kembali ke Tibi. Dalam testimoni ringkasnya ia mengatakan “dengan itu (buku Bloch tentang Ibnu Sina) saya mulai mempelajari humanisme Islam.” Menurut keterangan Tibi “Bloch memuji humanisme Islam sembari memaparkan argumentasinya melawan ortodoksi Islam yang ia sebut sebagai “Mufti Welt” (dunia Mufti) dari fiqh.”
Bertolak dari latar belakang intelektual inilah, oleh beberapa kalangan, pemikiran Bassam Tibi dianggap banyak dipengaruhi oleh tradisi besar Teori Kritis Mazhab Frankfurt dengan tokoh-tokoh utama seperti telah disebutkan tadi di atas.
Kendati demikian, di beberapa karangan, misalnya yang membahas tentang topik “kembalinya yang sakral,” Tibi juga merujuk pada pemikir Jerman lain yang kerap bersikap kritis pada pemikiran Habermas yaitu Niklas Luhmann.
Dalam hal pemikiran Islam, Nasr, Tibi dan Ramadan (yang memilih jalur salafisme menuju Islam Eropa, akan saya ulas di lain waktu), ketiganya sama-sama berkehendak mereformasi Islam yang dianggap telah jauh terjerembab dalam “fundamentalisme.”
Tibi dan Nasr memiliki keprihatinan sama terkait transformasi Islam di dunia modern. Nasr mencemaskan sekularisasi yang terus-menerus membayangi dunia Islam. Sebaliknya, Tibi justru mencemaskan tsunami politisasi Islam yang mendera sebagian bear dunia Islam. Fundamentalisme, kata Tibi, merupakan salah satu perwujudan nyata dari politisasi Islam.
Kendati demikian, antara Nasr dan Tibi merambah jalan berbeda dalam mereformasi Islam. Sementara Nasr berusaha dengan gigih mendorong umat Islam kembali ke akar-akar tradisionalnya yang paling mendalam, yaitu pada “pengetahuan suci” (sacred science), bagi Bassam Tibi, reformasi Islam mestilah menempuh jalur sekuler alih-alih menghadapkan wajah pada Yang Sakral seperti disarankan Nasr.
Tibi berpendapat bahwa fundamentalisme Islam merupakan semacam politisasi Islam, yang tidak hanya terdiri dari pengeboman bunuh diri atau berbagai aksi kekerasan lain, tapi sebagai bentuk perlawanan dan gerakan menentang akulturasi ke dalam modernitas.
Politisasi Islam dapat dibaca sebagai sebuah reaksi defensif terhadap modernisme seraya menyorongkan tatanan global alternatif terhadap tatanan sipil di Barat. Tibi pun merekomendasikan pembentukan “civil Islam” serta jembatan antar-peradaban sebagai jalan keluar dari politisasi Islam yang dinilai semakin gawat itu.
Akhirnya, pembaca yang budiman, jika Anda penasaran dengan keserasian dan percekcokan akademis antara Seyyed Hossein Nasr, Bassam Tibi dan Tariq Ramadan silakan ngaji kitab Chi-chung (Andy) Yu, Thinking Between Islam and the West The Thoughts of Seyyed Hossein Nasr, Bassam Tibi and Tariq Ramadan (2014).