Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

UNESCO dan Buku Itu

274512614 10209445416608047 3141976747294621444 N

Dalam derap laju perkembangan zaman, orang-orang memangku beban tugas dalam mencari benang merah dalam akumulasi perjalanan peradaban. Konon, pendidikan menjadi satu hal kadung penting, rumit, dan kompleks. Tiap zaman seakan menjadikan sebuah negara baik dengan keberadaan lembaga pendidikan, gedung riset, jejaring industri, dan sumber daya manusia terus menghadapi gejolak demi gejolak terhadirkan di dalamnya.

Agaknya, itu memberikan makna tersirat bahwa pendidikan bukanlah hal sepele. Ada banyak hal perlu terus diobrolkan maupun diperbincangkan. Baik itu dalam aras manejemen, kualitas mutu, kurikulum, dan perangkat lainnya. Berhari-hari kita disuguhkan berita, gagasan, maupun wacana mengenai itu. Di tengah gemerlap perhatiannya tak urung melahirkan perdebatan demi perdebatan baik skala kecil maupun besar.

Tak sedikit pihak dengan klise dan serentak bahwa alasan mendasar yang diutarakan tak lain adalah hadirnya wabah pandemi Covid-19 yang dalam beberapa informasi terkini—khususnya Indonesia memasuki gelombang tiga. Kita ingin sedikit menolak dan mengetengahkan pada aspek lain. Sebab, pernyataan demi pernyataan klise acapkali hanya memberikan tafsiran pada perdebatan pendidikan sebatas pada perhatian pada hal-hal besar.

Di Harian Kompas Edisi 29 Januari 2022 kita menemukan sebuah opini berjudul Visi Pendidikan 2050 UNESCO garapan Arismunandar. Di bawah nama tersemat: Duta Besar Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO dan Anggota AIPI. Sematan yang menunjukkan sosok penting bagi Indonesia di panggung dunia. Kita tak mau larut pada persoalan sematan baik itu jabatan maupun gelar. Namun, lebih pada apa yang diutarakan melalui sebuah tulisan yang terbaca memiliki muatan besar itu.

Baca juga:  Perjalanan di antara Orang-Orang Mualaf: Memandang Kebudayaan Lain dengan “Mata Naipaul”

Arismunandar memberikan informasi akan sebuah naskah berjudul Futures of Educations yang diluncurkan oleh UNESCO pada 24 Januari 2022, tepat pada Hari Pendidikan Internasional. Kita perlu paham, keberadaan lembaga tersebut di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) bertugas dalam wilayah pendidikan dan kebudayaan. Ada hal tersampaikan oleh penulis dalam artikel tersebut. Perlu gayung bersambut dari Indonesia untuk melakukan dialog dan partisipasi.

Pernyataan itu misalkan: “Ini adalah titik awal, awal dari proses dialog dan konstruksi bersama. Laporan ini, seperti halnya pendidikan, sesuatu yang belum selesai. Sebaliknya, aktualisasinya dimulai sekarang, melalui kerja keras para pendidik dan kita semua di seluruh dunia.”

Penjelasan yang memberikan penekanan akan keperluan adaptasi. Kendati di UNESCO kalau bicara mengenai parameter dalam wilayah pendidikan dan kebudayaan, kita temukan banyak macamnya. Mulai dari Programme for International Student Assesment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), hingga Third Regional Comparative and Explanatory Study (TERCE). Dimana kesemuanya menjadi otoritas dan tiap negara tersusun dalam pemeringkatan secara berkala.

Kita teringat sebuah esai B. Hari Juliawan di Majalah Basis Edisi No. 07-08, Tahun 2015. Dalam tulisannya berjudul Hasrat Bertanding, salah seorang akademisi itu menggarisbawahi pada persoalan kompetisi. Ia menulis: “Setiap kali muncul pemeringkatan seperti itu para juara akan menepuk dada sementara penghuni peringkat bawah akan saling tuding melempar kesalahan. Di sekolah anak-anak akan digenjot agar tahun depan peringkatnya membaik. Hasrat untuk bertanding seakan-akan menjadi roh pendidikan.”

Baca juga:  Tentang Bacaan Bertingkat

Perkara itu tentunya perlu disikapi. Saya justru teringat sebuah buku yang berada dalam rak kecil di kamar kos. Buku itu berjudul Unesco Source Book for Science Teaching garapan UNESCO. Dimana di Indonesia, buku tersebut diterjemahkan Balai Pendidikan Pengetahuan Alam dan diterbitkan oleh Penerbit Bathara pada tahun 1965 dengan judul Sumber2 Ilmu Pengetahuan Alam. Kita mesti terkesima saat dimana waktu itu orang-orang hanya punya ingatan pada gejolak sosial dan politik, namun nyatanya anak-anak di usia sekolah diajak untuk gandrung dalam berilmu.

Kita sengaja mengutip sebagian tulisan dalam pengantarnya: “Ilmu pengetahuan adalah universil dan tidak mengenal batas. Pengetahuan manusia jang demikian banjaknja dikumpulkan oleh pekerdja2 berbagai negeri dari alam, jang se-akan2 enggan melepaskan rahasianja. Maka patut dan baik benar, bila buku Unesco Source Book for Science Teaching ini memuat kumpulan hasil kerdja guru2 ilmu pengetahuan alam jang berpengalaman dari banjak negeri.”

Tentu saja relevan dan menjadi salah satu bukti akan bagaimana pendidikan perlu menyandarkan pada kolaborasi. Itu pula agaknya kalau direnungi lebih dalam, tak sedikit memberikan kritik terhadap perdebatan yang muncul dalam hari-hari terakhir mengenai pendidikan. Kita terkadang disibukkan pada narasi besar, tapi melupakan hal-hal kecil sebagai bagian penting juga. Seperti halnya penyediaan referensi maupun bahan bacaan yang memberikan ketertarikan individu dalam kesadaran berilmu, mengasah pikiran, dan mengajak berimajinasi dalam tiap proses yang dilakukan. Demikian.[]

Baca juga:  Dari Tepi Nil ke Jantung Benua Biru

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top