Memang sudah semestinya dan dapat dikatakan paten, pemahaman dalam pendayagunaan kemampuan itu harus seimbang. Pendidikan menjadi sebuah mantra tak dapat dipisahkan sebagai proses dalam mengetahui dan memahami hakikat kehidupan. Dengan itu, muara yang diharapkan berupa lahirnya sebuah sikap bijaksana, bertindak masuk akal, dan berpikir kritis. Mula-mula, itu semua tak terlepas akan kesadaran individu terhadap ilmu pengetahuan.
Rasa kasmaran maupun jatuh cinta pada berilmu menjadi pondasi awal untuk memulai proses penjelajahan berbagai hal yang tersaji dalam hamparan alam semesta. Ilmu pengetahuan menjadi sarana dialog dalam bertanya dan menjawab atas penyangsian. Temuan menjadi wujud penting di dalamnya. Steven Pinker (2018) menyebutkan penemuan-penemuan ilmiah terus mengejutkan, menggembirakan, dan menjawab yang sebelumnya tidak dapat dijawab.
Tak sebatas itu, melalui buku Enlightenment Now: Membela Nalar, Sains, Humanisme, dan Kemajuan tersebut, Pinker mengetengahkan satu hal pokok dan penting. Bahwa sebagaimana dalam penemuan ilmiah—khususnya sains, menampakkan seni tersendiri. Ia bukan sebatas gambaran indah saja, namun seni dimaksudkan adalah seni yang hadir dalam mendorong kontemplasi, yang memperdalam pemahaman diri tentang apa artinya menjadi manusia dan hakikat di alam.
Orang-orang terbujuk penting dan disadarkan terhadap realitas akan teka-teki urusan seni. Buku-buku bergenre motivasi, perbaikan diri (self improvement), dan penyembuhan (healing) bertebaran dan menjadi daya tarik tersendiri. Dimana, tiap buku itu acapkali tersemat kata “seni” dalam judulnya. Kita teringat sebuah tulisan Saras Dewi dalam buku terbarunya, Sembahyang Bhuvana: Renungan Filosofis tentang Tubuh, Seni, dan Lingkungan (Tanda Baca, 2022). Ia memberi arti seni dalam dua hal: angan-angan tentang kebebasan dan pelipur nestapa di dunia yang kacau balau.
Mengertilah kita akan perlunya merenungkan kembali atas pemahaman seni dalam berbagai lini kehidupan. Sebab, itu tak terlepaskan pemaknaan sempit yang terjadi. Seni hanya termaknai sebagai bagian kecil dari kebudayaan. Itulah mengapa apa yang dilakukan oleh Akademi Jakarta dengan mengeluarkan analisis dan rekomendasi dalam beberapa bidang ilmu pengetahuan penting untuk dibicarakan lebih jauh lagi.
Masing-masing uraian termaktub dalam sebuah buklet Cegah Penghancuran Nalar Publik (Akademi Jakarta, 2022). Dari sekian bahasan, satu hal diketengahkan berupa pengarusutamaan pendidikan seni dalam upaya memperkuat kemampuan berpikir kritis. Harian Kompas (29/01/2022) menyebutkan seni dapat membangun daya imajinasi, kreativitas, rasa memanusiakan manusia, serta mengolah nurani.
Wabah pandemi Covid-19 menabalkan berbagai uraian dalam tinjauan manusia terhadap tilikan perkembangan zaman. Selain menjadi parameter akan daya kekhawatiran dan ketakutan terhadap makhluk berukuran kecil tersebut, pandemi menghadirkan fenomena lain dalam perkembangan diskursus kemajuan zaman. Salah satunya adalah kedigdayaan sains dan teknologi yang menjadi dua lanskap terpenting secara teori maupun praksis dalam hari-hari tiap manusia.
Hanya saja, tetap saja muncul sebuah kegagapan tak terkira. Fenomena lazim itu mengiringi setiap tanda perkembangan zaman. Baik itu keterasingan diri, menaiknya budaya konsumtif, naiknya egosentris, hingga hilangnya solidaritas antar sesama. Persoalan mendasar itu coba disikapi oleh Akademi Jakarta dengan mendudukkan peran seni tersebutkan di dalam buklet itu: “Untuk itu, pendidikan seni-budaya perlu mengisi jenjang pendidikan mulai paling mendasar hingga pendidikan tinggi.”
Seni Bernalar
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dimulai dari beberapa negara maju, seni menjadi perhatian utama. Lanskap itu kita temukan misalkan dengan keberadaan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics)—sebuah gagasan yang mendorong gagasan lahirnya pengutamaan bidang IPA dan Matematika di berbagai jenjang pendidikan. Ide itu digagas pertama kalinya oleh Presiden Qualcomm, Harvey White. Di Amerika Serikat, konsep tersebut disetujui George Bush pada 2007.
Namun, empat tahun setelahnya muncul sebuah koreksi. Iwan Paranoto (2019) menjelaskan bahwa inovasi dan kreativitas membutuhkan unsur seni dan ilmu kemanusiaan. Harvey White kemudian mengusulkan penambahan “Arts”, sebagaimana dimaksudkan untuk seni dalam STEM. Sejak saat itu, STEM berubah menjadi STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, and Mathematics). Konsep tersebut kemudian menjadi paradigma jamak bagi banyak negara.
Merujuk hal itu, ada hal perlu dipikirkan bagaimana pendidikan mesti terus melakukan refleksi mendalam di tengah kompleksitas tantangan zaman. Apalagi di tengah gegap gempita banjir istilah di kalangan publik sebagai gambaran akan dinamika zaman, jangan sampai pendidikan tergerus oleh arus yang membuat diri kalap. Pendidikan mesti membuat arus tersendiri dalam menjadi wahana proses tiap individu menjadi dan memahami hakikat sebagai manusia.
Itu membawa pada kesadaran terhadap kebudayaan baik di tingkat lokal maupun nasional, menghargai dan merawat perbedaan yang ada, hingga selalu berpikir kritis dan terbuka dalam tindakan maupun laku. Timbal balik itulah yang menjadi cakrawala manusia dalam mengarungi kesadaran kosmik dengan didasarkan pada kemampuan intelektual, spiritual, dan emosional. Kalau menilik gagasan Ki Hadjar Dewantara, termanifestasikan dalam Konsep Tringa: Ngerti (Mengetahui), Ngrasa (Merasakan), dan Nglakoni (Mengerjakan). Demikian.[]