Sedang Membaca
Omon, Omon, dan Omon
Joko Priyono
Penulis Kolom

Menempuh Studi di Jurusan Fisika Universitas Sebelas Maret Surakarta sejak 2014. Menulis Buku Manifesto Cinta (2017) dan Bola Fisika (2018).

Omon, Omon, dan Omon

“omon Omon” Kampanye Anti Politik Identitas Islam

Di media sosial, kita ini paling sregep dalam memantik perdebatan dengan ragam tema apa saja. Meski bukan ahli kesehatan, kita mudah menemukan kalangan orang yang memberanikan diri membahas mengenai kesehatan. Mereka yang tidak berasal dari kalangan saintis, mudah menyoal perihal sains. Percakapan dan perdebatan di dunia digital mengalir, memberi optimisme bahwa dunia maya mampu menjadi sentrum berkembangnya pengetahuan.

Namun, di balik kelindan itu—kita tidak bisa bernapas lega dalam jangka panjang. Hal itu tersebabkan tidak sedikit pengguna media digital yang tersebar di pelbagai wahana menghadapi watak yang sama: kolot dan tidak mau menerima sebuah teori. Mereka terlalu skeptis, namun tidak dibarengi dengan kemauan untuk berpikir kritis. Situasi itu mengingatkan kita pada intelektual Amerika Serikat Richard Hofstadter, dengan bukunya Anti-intelectualism in America Life (1963).

Sederhanaya, sikap itu berupa penolakan terhadap ide, diskursus, kajian, dan konsep pengetahuan sebagai pijakan reflektif. Kesannya adalah menganggap keberadaan teori pengetahuan itu tidak perlu. Cenderungnya, mereka yang anti-intelektual itu mudah merendahkan, mencemooh, dan meledek keberadaan pemikiran. Wabah ini bukan saja terjadi ketika menggeliatnya media digital, namun juga di ruang akademis yang notabene sebagai ruang diskursus pengetahuan dan ruang publik.

Di debat ketiga Pemilu Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, kita dihantui kata yang beberapa kali dilontarkan calon nomor 02: Omon, Omon, Omon. Kata itu menggambarkan sikap bentuk anti-intelektualisme, yang menginginkan “tidak boleh omong doang”. Apa yang menjadi masalah? Penutupan diri terhadap teori maupun argumen yang dientengkan itulah yang mustahil membuka keran diskursus pengetahuan.

Baca juga:  Beragama ala Wong Ndeso

Sama halnya dengan analogi saat seorang mengejek temannya yang memiliki minat baca dengan kalimat: (1) “Lu baca buku sebanyak apa pun, tidak akan pernah bisa mengubah dunia dan memberi solusi konkret terhadap masalah yang ada di realitas!”, (2) “Ah, lu cuma bisa berteori dan pandai berwacana doang.”, (3) “Kita butuhnya sesuatu yang praksis, bukan sebatas pada teori belaka, bro!”, dan (4) “Lu bisa ateis lho, bila baca bukunya Stephen Hawking dan Richard Dawkins.”

Debat dan Sentimen

Makin menggeliatnya laju perkembangan dunia digital akhirnya yang terjadi adalah kita sudah jarang menemukan debat yang sehat. Di mana di sana ada penggeloraan diskursus, kemauan berpikir, dan saling tanggap argumen dengan didasari kerendahhatian intelektual dan keterbukaan pikiran. Debat, yang mensyaratkan argumen hilang makna seketika saat yang muncul adalah sentimen, bukan argumen.

Ruang publik dan digital menabalkan beragam kesesatan logika yang tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya. Dulu, para bocah sekolah pernah menyimak teks mengenai pengertian debat.  Bukti terbaca buku garapan Prof. Drs. M. Atar Semi dengan judul Terampil Berdiskusi dan Berdebat (Titian Ilmu, 1992). Buku sebagai bahan pengayaan dengan stempel “Milik Negara Tidak Diperdagangkan” dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Baca juga:  Humor Kiai Wahid Hasyim yang Ditulis Hamka: Kekuasaan dan Manusia Modern

Kita dapat keterangan penting: “Pada dasarnya debat ini bagian dari diskusi juga. Tetapi debat lebih menekankan kepada keterampilan mempertahankan pendapat dengan berusaha menolak pendapat lawan dengan menggunakan alasan-alasan yang masuk akal. Di dalam dunia politik debat ini sering juga digunakan terutama dalam mengadu program kerja untuk menentukan program mana yang lebih baik dipakai.”

Jebakan Anti Kritik

Keterangan sahih di atas membawa kita pada permenungan pada masa kini. Alih-alih istilah kemampuan berpikir kritis sering didengungkan banyak pihak bahwa itu penting, namun ada kegagalan dalam pengejawantahan. Di situasi rezim yang terlihat tidak baik-baik saja, mereka yang kritis untuk melakukan telaah terhadap hal, misalnya kebijakan harus menghadapi “pentungan” berupa undang-undang dengan ragam pasal karetnya.

Dalam interaksi dengan mahasiswa di beberapa kampus, saya sering bertanya tentang kesan ketika berada di ruang kuliah. Tak sedikit dari mereka bercerita, bahwa di ruang kelas merasa ada kebekuan. Tidak ada dialektika lagi terhadap pengetahuan yang dibahas ketika itu. Bahkan, ada yang pernah mengungkap, ketika berargumen dengan mendebat dosen justru mendapat reaksi ancaman berupa nilai buruk.

Feodalisme harus diakui terus merambah ke berbagai hal, tak terkecuali pada pendidikan. Benar apa yang kerap diungkap Rocky Gerung, sopan santun itu bahasa tubuh dan ketika pikiran sudah mengenal sopan santun, itu yang berbahaya. Anti-intelektualisme yang terjadi di kalangan akademis akhirnya berupa keyakinan: tidak perlu banyak berteori maupun berwacana, yang penting mencari hal yang menguntungkan.

Baca juga:  John Steinbeck, Sastra, dan Emansipasi Kesadaran

Barangkali itu yang menjadikan kalangan mahasiswa hari ini lebih tertarik pada pencarian materi, ketimbang berdiskusi, membaca, maupun menulis. Toh, kita juga terhibur saat seorang pemengaruh mewawancarai banyak mahasiswa di beberapa kampus dengan memunculkan wabah “Berchandya”. Mahasiswa hari ini tidak butuh ditanya berapa buku yang dibaca. Namun, yang terjadi adalah: adu besar bayaran UKT, besar harga pakaian, merek bedak dan lipstik, nilai IPK, hingga tempat nongkrong.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top