Ada kerancuan yang mengemuka dari perbincangan ilmu dalam ruang publik. Kerancuan itu berupa pengonotasian bahwa ilmu kealaman harus lebih diutamakan dalam ranah kebijakan, dengan berdasar pada kemajuan teknologi. Bersamaan dengan itu, keberadaannya kemudian sering dijadikan sebagai panglima, yang akhirnya menggusur peranan dari ilmu humaniora.
Fakta tersebut tak terlepas dari rangkaian debat pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024. Kerancuan dalam bahasa yang muncul dan terberikan kepada publik mengharuskan kita mengurainya dengan saksama. Ada satu fakta yang tidak bisa dibendung, bahwa dalam skema demokrasi dan relasi politik yang ada, isu keilmuan masih sangatlah sulit menjadi bagian integrasi.
M Zaid Wahyudi (Harian Kompas, 16 Januari 2024), menulis “Visi dan Misi Pemajuan Iptek Lemah” menyebutkan, rendahnya perhatian pemerintah terhadap sektor penelitian dan pengembangan (litbang) itu ditunjukkan dengan kecilnya anggaran riset Indonesia. Anggaran litbang Indonesia terus stagnan dan menjadi yang terendah di antara negara-negara anggota G20, yaitu 0,28 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB) pada 2020.
Di sisi lain, terkadang kita mudah mendengar pernyataan tentang rancang bangun visi terhadap ilmu, pengetahuan, dan teknologi untuk jangka ke depan. Walakin, yang terkadang luput dari diskursus itu adalah peletakan bangunan mendasar, yang dinamakan dengan kebudayaan. Teknologi, sebagai produk dari ilmu dan pengetahuan terus tunggang langgang dalam fase kebudayaan kita.
Bagaimana untuk melakukan integrasi yang seharusnya dibangun antara sains dengan kebudayaan? Watak sains yang mengandalkan rasionalitas dengan kesetiaan terhadap aspek metodologisnya, memberi kemungkinan besar mudah membuat jarak, mengasingkan, dan bahkan meninggalkan kebudayaan dengan dalih secara laju bergerak lambat. Bila tidak ada jembatan yang menghubungkan di antara keduanya, ada satu tantangan berarti, yakni terancamnya sebuah peradaban.
Kosmolog Premana W Premadi (2023) mengajukan usulan penting: “…sains perlu menjadi salah satu elemen pemaju kebudayaan”. Kerangka mendasarnya adalah persoalan dinamika. Sains modern dengan teknologi yang dimunculkan, membuka peluang menjadikan manusia mengabaikan keseimbangan, mengubah tatanan alami dengan teknologi, dan mengabaikan waktu pemulihan alami yang panjang.
Budaya adalah modal sosial jika dikelola dengan baik karena budayalah yang merangkul keanekaragaman yang menjadikan suatu sistem besar dan kompleks bisa resilien (Premana W Premadi, 2023). Pernyataan tersebut membuat kita perlu menerawang lebih jauh akan pentingnya membangun ekosistem keilmuan sains yang melibatkan aspek yang terkandung di dalam kebudayaan.
Etnosains
Diskursus tentang itu sejatinya telah didasarkan apa yang disebut dengan etnosains. Woro Sumarni (2018) memberikan uraian, bahwa yang menjadi fokus dalam kajian ini adalah cara-cara, aturan-aturan, norma-norma, nilai-nilai, yang membolehkan atau melarang, serta mengarahkan dan menunjukkan bagaimana suatu hal harus dan sebaiknya dilakukan dalam konteks suatu kebudayaan tertentu.
Etnosains sebagai upaya mendedah perihal kebudayaan dengan menyigi aspek keilmuan yang ada di dalamnya. Dalam hal ini, kebudayaan yang dimaksudkan secara luas. Pengelaborasian tersebut menjadi penting dalam membuat jembatan antara sains dan kebudayaan. Dengan demikian, etnosains meletakkan kebudayaan bukan sebagai barang “usang” dan “adiluhung”, namun menjadi bekal berharga dalam pengembangan keilmuan yang terkonteks pada realitas zaman.
Sebagai pengkliping, saya kerap menghadapi kejutan saat membuka lembaran-lembaran yang ada di buku maupun majalah lawas. Terkesima saat menemukan arsip-arsip berhubungan gagasan keilmuan. Seperti misalkan, saya menemukan sebuah majalah penting yang memberitakan isu ilmu dan teknologi pada tahun 1980-an bernama Majalah Aku Tahu. Pada edisi April 1984 terdapat liputan berjudul “Taksonomi Tumbuhan Jawa”.
Liputan itu memberitakan riset dari ahli taksonomi kelahiran Boyolali, 24 November 1923 yang pernah mengajar di Universitas Gadjah Mada, Gembong Tjitrosoepomo. Pada Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I di Malang 3 – 9 Agustus 1958, ia merupakan salah satu pemakalah mengenai taksonomi tumbuhan. Di liputan, Gembong menyampaikan temuan terkait tata nama tumbuhan Jawa berdasar Serat Sekar-Sekaran karya KGPAA Mangkunagara IV.
Di sana kita tahu, keberadaan manuskrip memberikan penjelasan mengenai penggolongan dan pengklasifikasian tumbuhan-tumbuhan di Jawa. Terdapat pengetahuan tersendiri. Sebab, ada corak perbedaan dengan keilmuan taksonomi modern yang digagas oleh Carolus Lineaus, yang diberlakukan mulai tahun 1735. Gagasannya berupa Binominal Nomenclature, sistem dengan penamaan terdiri dari dua kata.
Peristiwa di atas tentu sebagian kecil kekayaan kebudayaan yang memiliki muatan keilmuan di Nusantara. Tentu, masih banyak di bidang lain, seperti pertanian, sistem penanggalan (pranata mangsa), konsep biodiversitas, sistem ketahanan pangan, hingga pengobatan. Di mana dalam konteks abad XXI dapat menghubungkan kajian lintas disiplin ilmu. Baik itu filologi, pertanian, astronomi, kimia, fisika, farmasi, biologi, antropologi, sosiologi, hingga kedokteran.
Dengan tidak mudah menyebut bahwa tradisi, ritual, dan budaya di sebuah masyarakat itu sebagai mitos yang perlu ditinggalkan serta jauh dari sains, tentu ini sebuah jalan keterbukaan. Bahwa kemudian kita dapat mengkhidmati dan menghormati dengan terus melakukan proses pencarian lapis demi lapis akan keilmuan tersebut. Keberadaannya akan menjadi modal bagi kita dalam membersamai navigasi kehidupan yang terus melaju ini.
Bukan tidak mungkin, jika konsep etnosains menjadi salah satu tumpuan dalam pengembangan ilmu di tingkatan pendidikan, akan mampu menyajikan gagasan sains yang berkebudayaan. Kita yakin, banyak kebudayaan yang kita miliki memuat keilmuan. Hanya saja, nalar pendidikan sains kita terkadang cenderung membatasi untuk mengkaji lebih mendalam. Ini perlu menjadi evaluasi.
Pengembangan sains dan teknologi yang cenderung untuk kepentingan industri semata tentu berbahaya. Mencerabutkan diri dari keberadaan kebudayaan. Penghargaan yang terberi di antara sains dengan kebudayaan memunculkan percikan dan pendulum terhadap masa depan peradaban. Yakni perkembangan ilmu yang senantiasa mau merawat dan melestarikan budaya sebagai tanggung jawab keseimbangan dalam kehidupan dan masa depan kemanusiaan.[]
Noted