Satu hari penting dalam sejarah bangsa Indonesia terdapat di bulan Oktober 2024. Hari itu Minggu, 20 Oktober 2024. Jutaan mata memberi perhatian kepada Jakarta. Baik secara langsung maupun lewat layar kaca dan media pemberitaan daring. Indonesia sah berganti presiden dan wakil presiden, yaitu Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Jutaan mata juga mengungkap kata dan harapan untuk perjalanan republik ini.
Pemerintahan baru dengan keberadaan kementerian dan kehadiran nama-nama dengan pertimbangan matang. Satu hari sesudahnya kita menyaksikan nama-nama yang mengisi di posisi penting dalam kementerian dilantik. Kita ingin membuat catatan kecil akan keberadaan Kementerian Agama. Nama yang diamanahi menjadi menteri adalah Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA. Ia adalah imam besar Masjid Istiqlal Jakarta.
Ditunjuknya Kiai Nasaruddin Umar sebagai menteri agama, membuat kita untuk mengingat. Beberapa waktu sebelumnya, ia masih aktif menggerakkan gagasan lewat tulisan. Di Harian Kompas, kita bisa membuat daftar beberapa judul yang menunjukkan tulisan garapannya, yakni “Abrahamic Religions” dan Kerusakan Alam (5 Agustus 2024) dan Kearifan Lokal, Titik Temu antara Sakral dan Profan (11 Oktober 2024).
Kiai Nasaruddin ingin menggerakkan publik untuk peduli pada alam dan kehidupan ke depan. Tema penting abad XXI adalah kerusakan alam dan krisis iklim. Ia menekankan agama perlu memberikan peran untuk mencegah kerusakan. Walakin, kita justru lebih ingin mengingat tentang pesantren, akan dinamika dan tantangan yang mesti dihadapi. Ingatan tersebut membawa kita menilik salah satu buku garapannya yang berjudul Rethinking Pesantren (Elex Media Komputindo, 2014).
Sepuluh tahun berlalu buku itu terbit tak membuat kita menganggap bahwa keberadaannya sudah tidak penting. Acuan teks yang memuat gagasan demi gagasan justru malah dan makin penting. Ia dengan detail menyodorkan keterangan demi keterangan mengenai keberadaan pesantren. Itu memuat keterhubungannya pada sejarah, nama tempat, tokoh, dan pergolakan yang dihadapi dalam sekian zaman. Di pengantar, ia membuka pengalamannya di Amerika Serikat dan menutupnya bahwa naskah tersebut terselesaikan di Bellagio, Italia.
Pembukaan dalam pengantar mudah membuat jantung berdebar. Ia menulis: “Ketika saya berkali-kali berkunjung ke Amerika untuk mengikuti sebuah seminar atau mengisi sebuah ceramah pengajian di sana, betapa kagetnya saya, ketika mendengar banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang menggelayut di benak peserta seminar maupun jemaah pengajian, apa sebenarnya pesantren itu? Bagaimana pola pengajarannya? Apa yang diajarkan? Sistem kaderisasinya bagaimana?”
Kiai Nasaruddin mengerti jawaban demi jawaban yang muncul dan membuatnya kaget. Konotasi pesantren menjadi satu narasi dalam keterangan yang ia tulis: “Bagi mereka, pesantren di Indonesia hanya dilihat dari wajah Pesantren Ngruki di Surakarta, dan Pesantren Al-Islam di Tenggulun, Solokuro, Lamongan. Dari pesantren-pesantren tersebut, maka yang ada di benak mereka adalah pesantren yang identik dengan Abu Bakar Ba’asyir, Amrozi, dan sederet nama-nama lain yang katanya teroris, radikal, dan tidak pernah mengenal kompromi.”
Sekian tahun berlalu, pesantren kadang masih mendapatkan stigma. Pola gerakan ideologi dengan menaruh kepentingan acapkali menempel pada kelembagaan yang memunculkan kecurigaan pada Islam dari kalangan internasional. Kita mengerti, bahwa sejatinya Islam tidak pernah mengajarkan kekerasan. Islam adalah agama welas asih yang memperjuangkan rahmat bagi semesta alam. Meski begitu, tantangan tersebut tentu tetap menjadi pekerjaan bagi bersama di kalangan Islam dengan kehadiran pemerintah.
Kiai Nasaruddin Umar membuka dengan keterangan stigma akan keberadaan pesantren. Ia kemudian mengajak lebih jauh untuk menjadikan pesantren tetap relevan dan senantiasa menjawab pada tantangan zaman. Salah satunya mengetengahkan pada persoalan keilmuan, secara khusus pada sains dan matematika. Nampaknya, gagasan itu makin penting apalagi mengingat pada 7 – 14 Oktober lalu, penghargaan hadiah Nobel telah diberikan di sekian nama atas kiprahnya dalam pengembangan ilmu dan pengetahuan.
Betapa pun, kita perlu menyadari, dari nama yang memperoleh untuk bidang keilmuan mulai kedokteran, kimia, fisika, sastra, perdamaian, hingga ekonomi itu tak satu pun dari kalangan ilmuwan Islam. Dalam sejarah, sejak dihelat pada 1901, Hadiah Nobel untuk kalangan ilmuwan Islam bisa dihitung oleh jari. Hal itu menandaskan bahwa dalam degup perkembangan zaman, senantiasa terus penting untuk menggagas tradisi ilmiah dan keilmuan di kalangan umat Islam
Mengerti itu, agaknya relevan gagasan yang diungkapkan Kiai Nasaruddin dalam buku. Ia menjelaskan: “Dalam aspek kurikulum misalnya, pesantren tidak lagi hanya memberikan mata pelajaran ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu-ilmu umum yang diakomodasi dari kurikulum pemerintah, seperti Matematika, Fisika, Biologi, Bahasa Inggris, dan Sejarah.”
Ia kemudian mengajak para pembaca menilik salah satu pondok pesantren bersejarah di Kota Surakarta. Jelasnya: “Salah satu pondok pesantren yang bisa dijadikan contoh adalah Pondok Pesantren Mamba’ul Ulum, didirikan pada tahun 1905 oleh Kerajaan Islam Surakarta. Di sekolah yang diperuntukkan untuk calon pejabat agama ini, sudah mulai menggunakan kurikulum Barat sebagai sistem pembelajarannya.”
Di Mamba’ul Ulum, kita ingat beberapa tokoh yang pernah mengenyam pendidikan di sana. Mulai Kiai Saifuddin Zuhri (Menteri Agama 1952 – 1967), Kiai Imam Zarkasyi (Salah satu pendiri Pondok Pesantren Gontor), hingga Kiai Munawir Sadzali (Menteri Agama 1983 – 1993). Di tempat itu pula, kawan sekelas Kiai Munawir Sadzali menjadi sosok penting dalam sejarah keilmuan di Indonesia. Nama itu Achmad Baiquni, sosok kelahiran Keprabon, Kota Surakarta yang tiada lain adalah ahli fisika atom pertama Indonesia.
Di periode Gus Yaqut Cholil Qoumas sebagai menteri, Kementerian Agama mencanangkan program Kompetisi Sains Madrasah. Kegiatan itu dilaksanakan pada 3 – 6 September 2024 di Ternate, Maluku Utara. Gagasan yang pernah berlangsung menjadikan penghadiran bocah dari tataran madrasah dan pesantren untuk sadar akan sains dan teknologi. Mereka diajak berpikir global. Gagasan itu tentu penting dan perlu terwariskan di periode Kementerian Agama di bawah Kiai Nasaruddin Umar. Tiada lain sebagai upaya bahwa pesantren dapat menjadi pusat perkembangan sains untuk persembahan bagi kemanusiaan dan peradaban.[]