Di romannya, Dari Hari ke Hari (1975), Mahbub Djunaidi mengisahkan masa kecil saat bersama keluarganya hijrah dari Jakarta ke Solo dalam gejolak revolusi. Sebelum di Solo, Mahbub sudah kelas 3 sekolah dasar. Ia sempat berhenti setahun sebelum kemudian melanjutkan di sebuah SD Muhammadiyah sebelah Masjid Mangkunegaran. Di sekolah itu ia hanya bertahan dua puluh lima hari hingga kemudian ia merasa benar-benar mendapati sekolah saat pindah ke SD No. 27 Kauman.
Kita tak akan membahas alasan itu lebih mendalam. Kita tertarik dengan kisah Mahbub terhadap buku dan sekolah di masa itu. Di beberapa bagian dalam buku, kita tak akan mendapatkan kenangan Mahbub mengenai buku pelajaran saat bersekolah. Ia justru mengenang masa sekolah akan kesulitannya mengenai pelajaran berhitung yang membuatnya kesusahan dalam menikmati sekolah.
Hal yang menarik adalah justru buku-buku yang membentuk Mahbub lewat keeradaan lingkungan sekitar, khusunya saat ia menempuh pendidikan nonformal di Mambaul Ulum. Kisah itu sejak ia bertemu Kiai Amir, salah seorang pengajar di sana. Kiai Amir menjadi salah satu sosok yang menghubungkan Mahbub dengan buku. Sosok itu mengurusi perpustakaan dengan meminjamkan dan menyewakan buku.
Mahbub memberi keterangan: “Umurku 13 jalan 14 tahun. Masa yang bagus untuk mempertanyakan, meragukan, mengkhayal, membangkang, dan mengagumi. Kubaca Si Samin, Si Dul Anak Betawi, Tom Sawyer, sejumlah karangan Karl May. Benar juga kupikir kata Mark Twain, walaupun bukunya ditujukan anak-anak, tak ada salahnya dibaca orang-orang tua, sekadar mengingatkan, betapa mereka itu dulunya seorang berandalan, tak peduli sekarang ini mereka itu guru atau kiai atau ahli kebatinan.”
Kisah Mahbub, barangkali menjadi petuah dalam mencari keterhubungan seorang siswa dengan buku pelajaran. Kita tetap yakin, buku pelajaran di zaman ini adalah sesuatu yang pentingnya sama dengan sepiring nasi bagi siswa. Orang tua rela dan menjadi tindakan politik dalam memberikan perhatian pendidikan anak. Buku pelajaran teranggap sebagai sebuah senter yang dapat digunakan menerangi jalan di tengah gelap gulita.
Namun, rupa-rupanya terdapat sebuah tanya; bagaimana nasib buku pelajaran di benak siswa? Buku pelajaran memiliki nasib sama seperti tumpukan tugas dan skripsi mahasiswa di perguruan tinggi serta lembaran koran bekas. Mereka berkemungkinan berakhir menjadi pembungkus makanan, pasar loak, dan dibuang di tempat sampah. Buku pelajaran memiliki kisah tersendiri di lain menjadi akumulasi keterhubungan pendidikan, politik, dan ekonomi.
Tahun 2022, kita masih berhak mengurusi buku pelajaran. Nampaknya ada hal yang perlu dibongkar dalam tumpukan kerumitan itu. M Fauzi Sukri (2013) menulis esai “Intelektualisme Tanpa Budaya Humanistis”. Fauzi nampak meluapkan kecemasannya terhadap keberadaan buku pelajaran. Dalam amatannya, buku pelajaran sekolah (juga buku LKS) hampir tak pernah mengajarkan kecintaan pada memiliki buku dan pembudayaan membaca buku.
Pernyataan itu memungkinkan satu hal: keterhubungan siswa dengan buku sebatas dilandasi dengan kebutuhan menempuh proses di sekolah yang berujung untuk dapat menjawab soal-soal ketika ujian. Akhirnya, buku tak dapat menjadi proses berkelanjutan bagaimana saling bersambung dalam kegembiraan pada pengetahuan. Metode hafalan yang jauh dari pengembangan kemampuan berpikir itu akhirnya menjadikan generasi membeo, sebagaimana pernah diungkapkan Conny R Semiawan (2002).
Nama penting yang memili ketekunan dalam penelitian itu adalah Niels Mulder. Ia menerbitkan Indonesia Images (Kanisius, 2000) dengan terjemahan bahasa Indonesia, Wacana Publik Indonesia (2003). Di buku tersebut, Mulder melakukan amatan terhadap beberapa buku Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) yang tergunakan ketika Orde Baru. Analisis ia sampaikan atas ketegangan negara menaruh politik kepentingan di buku.
Mulder menyebutkan: “Ilmu pengetahuan sosial di sekolah tidak diajarkan untuk belajar secara analitis dan kritis; maksudnya adalah pelatihan atau pendidikan kewarganegaraan — maaf, kehambanegaraan.” Keterangan itu pula yang menjadikan pengelompokkan kelas IPS merupakan kelas rendahan ketimbang lainnya. Kabar buruknya, persepsi itu hingga saat ini masih terus terjadi.
Akar masalah ini sejatinya tangung jawab terhadap pengadaan buku pelajaran. Keberadaannya terlalu klise dan nampak sebatas sebagai informasi lalu. Pada akhirnya, kenangan anak-anak yang kemudian terjadi saat usia kuliah, baru sadar betapa pedihnya menemui kerancuan dalam buku. Walhasil, mereka perlu menelusuri ulang keterhubungan ilmu yang sejatinya sudah harus melanjutkan ke proses berikutnya.
Pendidikan, kadang kala hanya berpusat pada perubahan kebijakan kurikulum, tapi tak memberikan perhatian hal kecil di luarnya. Arkian, nasib buku pelajaran terkadang menjadi formalitas belaka, tidak menyediakan ruang wisata pemikiran bagi peserta didik dalam menemui kasamaran akan ilmu dan pengetahuan. Gaung “Generasi Indonesia Emas 2045” apa bisa tercapai, saat anak-anak sekolah hari ini sebagai saksi yang akan mengalami tahun itu terbata dalam eksplorasi ilmu?.[]