Sedang Membaca
Jejak Cendekiawan Iran di Indonesia 
Avatar
Penulis Kolom

Anggota Mufakat Budaya Indonesia (MBI), pengasuh pondok pesantren Riyadlul Fikar, Serang, Banten. Menulis cerpen dan esai di harian Kompas, Republika, Tempo, www.kompas.id, Jurnal Toddoppuli, simalaba.net, kawaca.com, litera.co.id, harianhaluan.com, dan lain-lain.

Jejak Cendekiawan Iran di Indonesia 

“Kalau Anda paham Kristen, Anda akan menjadi Kristen yang baik, tapi kalau Anda benar-benar paham Kristen, tidak menutup kemungkinan Anda akan menjadi muslim. Sama halnya, jika kita paham Sunni maka kita akan menjadi Sunni yang baik, tapi jika kita benar-benar paham Sunni, tidak menutup kemungkinan kita akan menjadi Syiah.” (Hafis Azhari, penulis novel Pikiran Orang Indonesia).
 
Dalambukunya yang terkenal, “Knowledge and the Sacred”, pemikir dan cendekiawan muslim Iran, Hossein Nasr menuangkan gagasannya tentang desakralisasi ilmu pengetahuan. Ia menyampaikan hasil analisisnya perihal hirarki dan keragaman dalam sains dan seni tradisional, bahwa sakralitas sains sudah hidup berabad-abad dalam setiap tradisi dan kearifan lokal setiap komunitas dan kelompok masyarakat.

Bagi Nasr, tradisi adalah prinsip-prinsip yang bersumber dari dimensi ketuhanan yang disingkap kepada umat manusia. Ia merupakan sektor kosmik yang tergambar laiknya utusan, wali, avatar, logos, atau agen-agen transmisi lainnya. Tak ubahnya dengan penerapan dari prinsip mengenai realitas yang berbeda-beda dalam struktur tatanan sosial, hukum masyarakat, seni, simbolisme, sains, yang mencakup Supreme Knowledge (Pengetahuan Tertinggi).

Dalam bukunya itu, Nasr mengutip pemikiran Louis Masignon dan Henry Corbin yang mencoba memahami realitas Islam dengan cara yang menakjubkan. Keduanya menulis dengan penuh simpati dan cinta-kasih, sehingga mampu menangkap massage Islam, serta mengaitkannya dengan krisis lingkungan dalam perspektif yang alami dan tradisional.

Pengaruh pemikiran Nasr di dunia Islam, dapat ditelusuri dari kecerdasan dan genuinitas para mahasiswanya saat ia mengajar di Temple University hingga George Washington University (Amerika Serikat). Di antara murid-muridnya yang terkenal adalah para intelektual muslim Malaysia, misalnya Osman Bakar, Baharuddin Ahmad, Saleh Yaapar, sementara di Turki ada Ibrahim Kalin, di Mesir ada Walid Ansari, dan di Palestina juga ada Ibrahim Abu Rabi.

Cendekiawan Indonesia

Dalam artikelnya, “The Reception of Seyyed Hossein Nasr’s Ideas within the Indonesian Intellectual Landscape” (Studia Islamika: 2016), Asfa Widiyanto mencoba menelusuri pengaruh pemikiran Nasr pada kajian-kajian Islam dari buah pemikiran Komarudin Hidayat dan Nurcholis Madjid. Ia menghimpun terjemahan karya-karya Nasr ke dalam bahasa Indonesia, termasuk kata-katanya yang banyak dikutip para cendekiawan muslim.

Baca juga:  Ulama Banjar (165): Abdul Muis Basyri

Bagi Komarudin Hidayat, pemikiran Nasr sangat dipengaruhi oleh filsafat perenial (sophia perennis). Gagasan filsafat ini berpusat pada kebenaran universal dan abadi, yang dalam Hinduisme dikenal dengan sanatana dharma, dan dalam Islam, al-hikmah al-khalidah. Ia mengkritisi rasionalisme yang berkembang di kalangan filosof Barat, namun tidak sebatas Al-Ghazali yang mengkritisi filsafat pada umumnya. Nasr justru melangkah pada dimensi ketuhanan yang digali dari kedalaman tradisi lokal. Ia berupaya menghidupkan kembali dimensi intelektual dari tiap-tiap budaya luhur dari peradaban tradisional.

Nasr membuka ruang-ruang dialog tentang filsafat perenial, hingga terjadi perdebatan yang dinamis antara filsafat dan agama. Ia tidak menyangkal fungsi agama-agama yang bersumber dari wahyu, dan sebagai pemikir muslim, ia pun merujuk pada keteladanan Nabi Muhammad dan para wali sebagai prinsip universal yang mendasari semua agama. Prinsip ketuhanan yang universal itu disebutnya “divine principle” yang dapat pula bersanding dengan tradisi lokal yang telah hidup selama berabad-abad silam.

Baginya, tradisi itu berkaitan dengan kebijaksanaan abadi yang ada di titik pusat dari setiap tradisi, dan mengandung makna yang sejajar antara al-hikmah al-khalidah, sophia perennis, maupun sanatana dharma.

Pada titik ini, Nasr bisa dikatakan sebagai pemikir yang berpihak pada kebenaran perenial yang bersifat tradisional. Ia mengakui posisi sains modern yang sedang mengalami krisis, karena adanya pengingkaran pada sakralitas kosmik. Secara tendensius, Nasr berkesimpulan bahwa tidak sedikit manusia modern – tak terkecuali kalangan intelektualnya – yang rela menjual keabadian demi “menyembah” kemajuan duniawi yang bersifat fana.

Nasr kemudian menawarkan konsep “sains islami” sebagai cara pandang alternatif terhadap realitas yang lahir dari tradisi Islam. Untuk itu, ia lebih consern pada corak pemikiran dari para intelektual Syiah yang cenderung bersifat sufistik. Tak beda jauh dengan pendahulunya, Muhammad Iqbal, meskipun Iqbal lebih menyoroti kehidupan para sufi secara kritis dan revolusioner. Namun pada prinsipnya, target sasaran keduanya adalah upaya mengkritisi pengaruh sekularisme, modernisme, rasionalisme, evolusionisme, materialisme, hingga kolonialisme dan imperialisme.

Baca juga:  Ulama yang Mulai Serius Belajar di Usia Tua (5): Imam Abu Ahmad Ghunjar

Jika dibandingkan dengan karya pendahulunya yang lain, Suhrawardi, maka bisa kita sandingkan antara al-hikmah al-khalidah dengan al-isyraq, perihal pengetahuan dengan kehadiran ilham (hudluri), yang mengaitkan antara hubungan iluminasi dengan sains yang bersifat empirik.

Kunjungan Hossein Nasr di Indonesia (1993) dianggap sebagai momen signifikan dalam diskursus yang makin memperkaya khazanah keislaman. Dia memberikan tiga ceramah yang disponsori oleh Yayasan Paramadina dan Penerbit Mizan. Tak berapa lama, publikasi tentang Nasr kian marak di koran-koran, tabloid dan majalah nasional, hingga berhasil menstimulasi keingintahuan intelektual Indonesia. Buku-buku karya Nasr yang pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, di antaranya Muhammad: Man of Allah, Realities of Islam, Science and Civilization in Islam, hingga Three Muslim Sages: Ibn Sina, Suhrawardi, and Ibn Arabi.

Cendekiawan konsisten

Pada saat maraknya Revolusi Iran (1979) Nasr bukanlah tergolong tokoh dan figur yang berafiliasi dengan mazhab dan partai apapun. Ia hanya memosisikan dirinya sebagai pengajar, penulis dan intelektual. Ia juga tidak berafiliasi dengan kalangan ulama-ulama Syiah seperti Khomeini atau Husayn Thabataba’i. Pengaruh Nasr juga berbeda dengan pemikir revolusioner seperti Ali Syariati dan Murtadha Muthahhari. Ia konsisten berada di jalur intelektual, sementara Syariati dan Muthahhari lebih pada gerakan intelektual dan aktivitas-aktivitas sosial.

Demikian halnya ketika momentum Revolusi Iran, Nasr tidak melibatkan diri selaku propagandis Syiah. Akan tetapi, berupaya menunjukkan Syiah sebagai salah satu wajah dalam tradisi Islam.

Di antara intelektual Indonesia yang pernah menulis artikel tentang pemikiran Nasr adalah Dawam Rahardjo, Victor Tanja, Nurul Fajri, Abdul Hadi WM, Budhy Munawar-Rachman, Ihsan Ali Fauzi, Kautsar Azhari Noer, Muhammad Wahyuni Nafis, dan Komaruddin Hidayat. Mereka menilai Nasr merupakan intelektual Muslim yang berhasil memproduksi pemikiran-pemikiran substantif tentang Islam, agama, dan kemanusiaan. Ini juga menunjukkan bahwa intelektual Indonesia telah lebih dulu akrab dengan karya-karya Nasr sebelum kunjungannya ke Indonesia pada 1993 lalu.

Baca juga:  Epos Ajaran Kemanunggalan Islam di Nusantara (2): Hamzah Fansuri, Sastra Sufistik, dan Mabuk Spiritual

Dalam ceramahnya di Kampus Universitas Paramadina, Jakarta, Nurcholis Madjid menanggapi pernyataan Nasr dalam sesi dialog, serta menganggapnya sebagai bagian dari cendekiawan muslim yang kerap mempersepsikan Barat – dalam hal ini modernisme Islam – dalam pandangan yang negatif. Sementara di sisi lain, Nasr justru menilai kontribusi penting para pemikir Islam yang banyak dipengaruhi pemikiran modernitas seperti Muhammad Abduh hingga Muhammad Iqbal.

Nurcholis juga menyadari bahaya materialisme yang inheren dalam proses modernisasi. Baginya, materialisme menekankan pada aspek kuantitatif atas segala sesuatu daripada aspek kualitatif. Penekanan pada kuantitas ini memiliki implikasi dalam mengabaikan kosmologi tradisional dan peran sosial agama-agama. Berkenaan dengan perenialisme, Nurcholis menganggap bahwa ia tak ubahnya primordialisme karena dalam penilaiannya, setiap manusia memiliki potensi pada kebaikan dan kebenaran, dan karenanya disebut perenial. Ia mengakui, bahwa potensi ini tidak lain adalah fitrah dalam terminologi Islam itu sendiri.

Lebih lanjut, Nurcholis berpandangan bahwa Islam mengajarkan muslim untuk memiliki al-hanafiyah al-samhah, yakni spirit pencarian kebenaran yang sabar dan toleran, juga tanpa fanatisme. Spirit ini membantu muslim untuk menemukan dimensi esoterik dari agama-agama di dalam pluralitas dimensi-dimensi eksoteriknya.

Di sinilah, ia menilai bahwa sufisme yang berurusan dengan aspek esoterik agama sebagai tingkat pengembangan tertinggi dari rasionalitas. Ini karena sufisme menangkap esensi di luar batas-batas penampilan luar yang secara alamiah paradoks dan beragam.

Baginya, sufisme merupakan upaya untuk meraih kebenaran holistik dalam bentuk-bentuk paradoks. Konsep pengetahuan dan kebenaran holistik bersumber dari ajaran Alquran tentang mendapatkan pengetahuan langsung dari wahyu, atau seringkali disebut “ilmu laduni”. Pada titik ini, tampak kesamaan dalam perspektif Nurcholis perihal ilmu laduni dengan konsep Hossein Nasr tentang scientia sacra, juga terkait erat dengan konsep kewahyuan (hudluri) dalam pandangan Suhrawardi. Wallahu a’lam. ***

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top