
Baru-baru ini viral sebuah video berisi hasil keputusan Bahtsul Masail yang diselenggarakan di PP. Besuk Pasuruan. Dalam video tersebut, K.H. Muhibbul Aman Aly (sering disapa Gus Muhib) menjelaskan bahwa penggunaan sound horeg diharamkan dengan beberapa alasan tertentu.
Terkait hal ini, sebagian pihak memberikan respons yang positif dan setuju atas pelarangan penggunaan sound horeg. Kemungkinan besar hal ini didasari oleh keresahan mereka atas dampak keberadaan sound horeg di lingkungan sekitar.
Namun demikian, tidak sedikit pula yang menolak keputusan tersebut dengan berbagai komentar seperti, “Urus urusan sendiri!”, “Kalau sound horeg haram, berarti sholawatan pakai sound system juga haram!”, dan komentar sejenis lainnya. Respons semacam ini kemungkinan muncul karena kurangnya pemahaman terhadap maksud dan konteks dari keputusan tersebut.
Hal mendasar yang perlu kita pahami bersama adalah bahwa menyampaikan kebenaran merupakan suatu kewajiban, apalagi jika berkaitan dengan hukum syar’i. Sebab, apabila hukum itu tidak disampaikan, maka akan berpotensi menimbulkan kemungkaran. Orang yang menjadi objek dakwah tidak akan tahu bahwa perbuatan yang ia lakukan tergolong haram atau terlarang.
Jika kita menilik realitas, penggunaan sound horeg cukup marak ditemukan di tengah masyarakat. Maka penyampaian hukum terkait hal ini menjadi penting untuk segera dilakukan, agar kebiasaan tersebut tidak semakin tersebar dan sulit dihilangkan. Meskipun mungkin masih banyak yang belum siap menerima kenyataan hukumnya, kebenaran tetap harus disampaikan. Rasulullah SAW bersabda:
قُلِ الحَقّ وَلَو كَانَ مُرًّا
“Katakanlah yang benar, walaupun itu pahit.”
Meski begitu, menyampaikan kebenaran juga tidak boleh sembarangan. Kita perlu memilih cara yang paling tepat agar pesan yang kita bawa dapat diterima dengan baik. Sebab, kadang bukan isi dakwahnya yang salah, melainkan cara penyampaiannya yang tidak bijak sehingga menimbulkan penolakan, atau bahkan memperparah kemungkaran.
Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Bariqah Mahmudiyyah:
(وكذا الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر) يُكْسَبُ مَعْرِفَةَ أَحْوَالِ النَّاسِ وَطِبَاعِهِمْ وَعَادَاتِهِمْ (إذ قد يكون سببا لزيادة المنكر) شدةً وقسوةً كما قيل في النُّصَّابِ ينبغي للأمْرِ وَالنَّهْيِ أَنْ يَكُونَ بِالرِّفْقِ إِذَا اسْتَطَاعَ لِيَكُونَ أَنْفَعَ فِي الْمَوْعِظَةِ وَالتَّبْلِيغِ
“Amar ma’ruf nahi mungkar harus dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi, tabiat, dan kebiasaan masyarakat. Sebab, bisa jadi dakwah yang disampaikan dengan cara yang tidak tepat justru menyebabkan bertambahnya kemungkaran karena adanya sikap keras kepala dan fanatisme. Dalam kitab An-Nisâb juga disebutkan bahwa hendaknya seseorang yang menyeru kepada kebaikan menyampaikannya secara diam-diam jika memungkinkan, karena itu lebih berpengaruh dalam memberikan nasihat dan pelajaran.”
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa menyampaikan kebenaran harus dilakukan secara bijak dan sesuai dengan karakter objek yang dituju. Hal ini penting agar kebenaran yang disampaikan tidak menimbulkan efek negatif. Seperti tidak dipahami, tidak diterima, atau bahkan tidak diamalkan sama sekali.
Sebab bisa jadi, penolakan masyarakat bukan karena mereka menolak kebenaran, melainkan karena mereka belum siap menerima hukum yang hanya disampaikan dengan satu kata: “haram”, tanpa penjelasan, tanpa uraian alasan, dan tanpa pendekatan yang baik serta mudah dipahami.
Dari sini kita belajar bahwa urgensi menyampaikan hukum tidak hanya soal menyampaikan isi, tetapi juga memperhatikan pendekatan. Ketika masyarakat menolak suatu hukum, bukan berarti mereka membenci syariat. Bisa jadi mereka hanya butuh waktu untuk memahami. Maka , sebagai penyampai hukum, para dai, kiai, dan ulama menggunakan bahasa yang lembut, argumentatif dan edukatif.
Dengan pendekatan yang bijak, masyarakat akan lebih mudah menerima, memahami dan akhirnya mengamalkan hukum tersebut. Dan inilah hakikat dakwah yang diajarkan oleh Nabi: mengajak kepada kebaikan dengan kelembutan dan kasih sayang, bukan dengan kecaman dan cacian.