Sedang Membaca
Pasar Industri Syariah; Strategi Menjadi Pasar Raksasa
Irma Yuliani
Penulis Kolom

Dosen Ekonomi Islam IAIN Surakarta. Minat kajian: Sosial keagamaan, Ekonomi Islam dan Narasi Keberagaman

Pasar Industri Syariah; Strategi Menjadi Pasar Raksasa

Gaung ekonomi islam kian semakin nyaring dengan ditabuhnya gendang mengenai merger bank syariah yang baru-baru ini telah diresmikan, yaitu merger yang terjadi antara Bank Syariah Mandiri (BSM), BNI Syariah, dan BRI Syariah. Merger tersebut telah diwacanakan sejak beberapa bulan terakhir tahun 2020 dan mulai aktif operasionalnya menjadi Bank Syariah Indonesia yang diresmikan pada tanggal 1 Februari 2021. Tentu hal ini menjadi alarm keras kebangkitan ekonomi islam di bumi nusantara, bukan hanya soal dunia perbankan, namun juga industri ekonomi dan keuangan syariah pada umumnya.

Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam merencanakan pembangunan pada industri keuangan dan ekonomi syariah mengerucutkan sektor-sektor yang menjadi sasaran utama untuk dikembangkan diantaranya produk industri halal, industri keuangan syariah, dana sosial syariah, kegiatan usaha syariah, serta infrastruktur ekosistem syariah. Ke-lima bagian tersebut kini menjadi perhatian utama untuk dikembangkan agar mampu bersaing baik di kancah nasional maupun di level internasional.

Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan pasar industri syariah adalah kemampuan menguasai pasar, hal ini erat kaitannya dengan dunia pemasaran. Pemasaran mengambil posisi penting dalam menarik perhatian para konsumen atau target pasar. Sejauh ini, pangsa pasar industri syariah masih jauh dari target. Pada industri keuangan syariah misalnya, pangsa pasar dari industri tersebut kurang lebih baru mencapai angka 9%, sedangkan target OJK adalah 20% hingga 25%. Hal ini menunjukkan bahwa pasar islam masih belum mendapatkan perhatian lebih dari penduduk nusantara mengenai penawaran produk-produknya.

Baca juga:  Jaran Goyang dalam Tiga Variasi

Dalam dunia  pemasaran, untuk menciptakan strategi branding yang baik, setidaknya suatu merek harus mampu memenuhi unsur-unsur brand personality, brand attitude, dan juga brand trust. Brand personality berkaitan  dengan upaya menciptakan kharisma yang berbeda dan tidak sama dengan merek-merek yang lain. Sehingga para pelanggan merasa kagum dan menyukai merek tersebut.

Secara personal, suatu merek juga harus mampu menjalin hubungan (brand attitude) yang harmonis dengan pelanggannya, memiliki awareness yang tinggi, responsif terhadap kebutuhan pelanggan dan memahami betul apa yang sebenarnya diinginkan oleh pelanggan. Jika strategi brand personality dan brand attitude mampu dikuasi oleh industri syariah, maka ia akan mampu menciptakan kepercayaan yang tinggi di kalangan pelanggannya, atau dikenal dengan brand trust.

Sebetulnya persoalan ini bukan hal yang terlalu sulit untuk dikembangkan oleh brand-brand islam, mengapa? Karena brand islam sendiri pada dasarnya telah memiliki modal berupa nilai-nilai islam yang secara universal dipercaya memiliki manfaat yang baik dan tujuan yang mulia. Akan tetapi, nyatanya nilai-nilai tersebut tidak cukup untuk menarik perhatian target pasar brand islam itu sendiri. Hal ini disebabkan karena teknik pemasaran dengan menjual nilai-nilai islam hanya menyentuh dataran rasional, belum pada dataran emosional.

Misalnya strategi branding yang dilakukan oleh bank syariah sampai hari ini, sebagian besar hanya bersifat periklanan, sehingga yang umumnya masyarakat pahami mengenai bank syariah baru sekedar suatu bank yang menggunakan tambahan nama Syariah, selebihnya sama dengan bank konvensional pada umumnya.

Baca juga:  Menyoal Blangkon sebagai Pakaian Islami

Hal ini bisa dipastikan karena strategi branding yang dilakukan oleh bank syariah dalam menjalin hubungan dengan (calon) nasabah tidak telalu dekat. Pemasaran hanya sampai pada penjelasan secara naratif, belum menyentuh sisi emosional pada diri (calon) nasabah.

Disamping tiga unsur penting di atas, faktor lain yang juga penting untuk dimiliki oleh pengembang industri syariah hari ini adalah kemampuan speed (kecepatan), agility (kecanggihan), dan juga innovation (inovasi)Memang, ketiga-terakhir kemampuan tersebut tidak terlalu menciptakan branding yang bagus, tapi sifatnya amat penting bahkan urgen. Hidup di era industri 4.0 sebagian besar aspek telah berbasis digital. Sebenarnya tidak cukup hanya sekedar digital, tetapi digitalisasi yang memudahkan dan menghemat waktu.

Misalnya, jika kita memperhatikan perkembangan inovasi smartphone akhir-akhir ini, mereka benar-benar totalitas terhadap unsur kecepatan dan efisiensi. Bahkan hampir setiap bulan selalu muncul smartphone dengan tipe yang baru, tentunya merupakan produk inovasi dan peningkatan perangkat agar menghasilkan produk yang lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan maupun perkembangan zaman.

Bergeser pada industri yang lain, misalnya ojek online. Industri ini semakin hari juga semakin mendisrupsi industri-industri transportasi konvensional pada umumnya, terutama ojek pangkalan, taksi pangkalan, dan lain-lain. Perusahaan ojek online tidak hanya menawarkan layanan ojek, tetapi juga layanan antar barang, antar makanan, belanja supermarket online, konsultasi kesehatan, layanan go-clean, dan layanan lainnya yang terus mereka update untuk memenuhi kebutuhan pelanggan.

Baca juga:  Sejarah Masuknya Simthud Durar di Indonesia

Bagian ini yang masih perlu dikembangkan lagi oleh industri syariah. Jika memang industri syariah belum mampu berdiri melalui platform tersendiri, setidaknya mereka bisa menggandeng platform-platform ternama untuk bermerger dan mengembangkan bisnisnya. Karena persaingan pasar hari ini sangat ditentukan oleh strategi branding yang kuat dan juga kecepatan sebagai katalisatornya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top