Komunitas Muslim dibentuk, diikat, dan ‘dikomandoi’ oleh kanon hukum yang Rasulullah wariskan: Alquran. Warisan ini dapat kita anggap sebagai “peta”yang dulu ‘dijadikan patokan’ oleh Nabi Sang Pemandu, demi kita, umatnya, bisa selamat dalam pengembaraan di padang permainan bernama: dunia.
Peta ini “diterjemahkan” ke dalam prinsip, nilai, dan aturan-main yang lebih detail dalam sunah. Lalu seiring meningkatnya kompleksitas persoalan manusia, kanon-kanon hukum ‘pelengkap’ dilegal-formalkan: ijma’ ulama, misalnya, dan fatwa-fatwa yang melahirkan mazhab-mazhab.
Terlepas dari itu semua, kita tahu bahwa Alquran, peta kita, tidak ‘selalu’ bersifat definitif dan praktikal; ia lebih sering konotatif, memiliki unsur sastra yang lekat. Ia puitik, metaforik.
Nilai-nilai dan prinsip yang ia ajarkan dijabarkan melalui hikayat, melalui ajakan kontemplasi, melalui analogi yang melibatkan matahari, bintang, sapi betina, bahkan semut dan lebah. Ia membentuk upaya pendisiplinan diri kita melalui apa yang Allah sebut “kabar baik” dan “ancaman”; melalui janji surga dan neraka yang “kata-kata tidak sanggup menangkap potret keduanya”.
Oleh sebab unsur “misteri”, ketidakterus-terangan, dan metafora itulah proses penafsiran, penerjemaahan, pemaknaan, dan pen-tadabburan Alquran, kadang tidak berhenti hanya pada makna harfiah, makna-kumulatif sebagai satu-ayat, pertimbangan asbabun nuzul dan kondisi sosio-kultural pada saat ayat tersebut turun, atau korelasinya dengan hadits-hadits tertentu. Tetapi juga, dengan mempertimbangkan kecenderungan manusia untuk tertarik pada apa yang Annemarie Schimmel (2006) sebut sebagai: mistisisme angka.
Dalam bukunya, The Mistery of Numbers, Schimmel menjelaskan bagaimana sejarah peradaban manusia diwarnai oleh upaya penelusuran atas unsur magis dan supranatural dari angka.
Angka diyakini sebagai mediator antara Tuhan dengan ciptaan-Nya. Angka juga diyakini bisa mempengaruhi apapun yang disandingkan kepadanya. Singkatnya: angka memiliki pesan, makna, atau bahkan rahasia yang harus disingkap dalam upaya memahami masa lalu, memetakan fenomena saat ini, dan/atau bahkan ‘meramal’ apa yang mungkin terjadi di masa depan.
Ketertarikan manusia atas (mistisisme) angka sebetulnya tidak hanya ada di komunitas Muslim atau di khazanah keilmuan umat Islam, tetapi juga di pelbagai peradaban kuno dan agama-agama. Tak heran jika kemudian kita lazim menemui ketakutan mendalam akan angka 13 di Eropa sehingga film Ocean Eleven bahkan mesti menimbang-nimbang perlu nggak sih bikin Ocean Thirteen? Atau, ada hotel-hotel tertentu yang menghindari angka 4 untuk menomori lantai mereka.
Ada pula obsesi besar atas angka 8 karena ‘serupa’ dengan lambang infinity dan karenanya melambangkan keberuntungan.
Dalam masyakarat muslim sendiri, kita ‘akrab’ sebetulnya dengan angka-angka tertentu yang dianggap, katakanlah, ‘sakral’, seperti 1, 3, 7, 33, 41, 99, 100, 1.000, 4.444, dan seterusnya. Huruf-huruf hijaiyah pun dianggap memiliki angkanya sendiri-sendiri.
Nama kita, apalagi jika nama kita berasal dari bahasa Arab, bisa dihitung secara matematis dan dipetakan karakter atau boleh jadi ramalan masa depannya. Bagi Schimmel sendiri, ketertarikan manusia akan mistisisme angka telah melahirkan sejumlah takhayul, karena ya itu tadi, proses penelusurannya bisa bersifat pseudo- atau bahkan tidak ilmiah sama sekali.
Dalam konteks upaya penafsiran Alquran, ketertarikan terhadap mistisisme angka kadang mendorong seseorang untuk mengkalkulasi ‘nilai-angka’ dari satu kata atau ayat tertentu, dalam upaya untuk menebak-nebak: jangan-jangan Alquran sedang meramalkan sesuatu di masa depan, tepat di depan hidung kita, tetapi kita buta sama sekali. Yang utama dan terutama dalam proses tebak-tebakan ini adalah: kapan kiamat itu akan tiba; kapan kehidupan dunia akan berakhir.
Tetapi, proses otak-atik gatuk unsur angka dalam Alquran tidak berhenti dari rasa penasaran kita akan hari kiamat. Dalam satu dan lain hal, upaya itu juga dilakukan untuk melegitimasi tindak-tanduk kita. Misalnya, Abu Fatiah al-Adnani dalam buku Musa Vs Fir’aun pernah menyamakan Osama bin Laden dengan Nabi Musa dengan alasan bahwa secara numerik, “Osama” dan “Musa” memiliki kemiripan.
Di Indonesia, pola penggunaan Alquran untuk menjustifikasi apapun yang kita lakukan, tidak bisa dibilang jarang terjadi. Aksi Bela Islam yang menggunakan ‘angka-cantik’ juga dikaitkan dengan surah dan ayat tertentu dalam Alquran.
Lalu baru-baru ini, terduga “gus” dengan nama yang berarti ‘cahaya’, menjelaskan secara detail bagaimana nama ‘Jokowi’ secara numerik berjumlah 83. Sugi Nur, secara percaya diri bahkan merasa tidak perlu menghitung nama tersebut dengan pendekatan nilai-angka huruf hijaiyah. Kebetulan, ternyata surah ke-83 itu adalah al-muthaffifin, dan dari sana kemudian menarik kesimpulan bahwa jangan-jangan, Jokowi adalah orang yang curang.
Nadirsyah Hosen mengkritisi apa yang dilakukan Sugi dan menganggap itu sebagai pelecehan dan penistaan Alquran.
Bagi Nadir, otak-atik gatuk ayat Alquran demi memenuhi nafsu kebencian menistakan kemurnian Alquran itu sendiri. Secara tidak langsung, Sugi Nur menjadikan Alquran sebagai bamper, sebagai keset. Goals utamanya ya memuaskan api-kebencian terhadap Jokowi.
Menariknya, fenomena yang viral ini juga direspon secara satir dengan perhitungan cepat nilai-angka Prabowo dan bahkan Sugi Nur sendiri. Khusus yang terakhir, angkanya merujuk pada surah al-kaafiruun.
Fenomena otak-atik gatuk ini bagi saya seperti mengindikasi bahwa jangan-jangan, sebagaimana syariah dikomersialisasi, Islam dikomodifikasi, dan Alquran dijadikan bamper, pada akhirnya ilah kita tidak lagi Allah melainkan nafsu-diri dan kepentingan.
Kita menjadi pelayan atasnya; kita dibutakan kebencian dan ambisi. Kita memuja setengah mati orang yang kita cintai; mencaci mereka yang kita benci.
Akibatnya: kita tidak pernah bisa (belajar) untuk adil, kalau mengutip istilah Pram, ‘sejak dalam pikiran apalagi perbuatan’. Padahal, Tuhan jelas sekali berfirman bahwa adil mendekatkan kita pada takwa.