Sedang Membaca
Belajar dari Almarhumah Bu Nyai Sus, Sosok Ibu Santri Kaliopak yang Wafat di Tanah Suci Berkalung Bunga

Sedang melanjutkan hidup di Pondok Budaya Kaliopak. Kadang menulis, memasak, bertani, mandi di sungai, namun selalu berpikir. akun sosial media: fb: Ismail Noer Surendra instagram: @mailboxx_

Belajar dari Almarhumah Bu Nyai Sus, Sosok Ibu Santri Kaliopak yang Wafat di Tanah Suci Berkalung Bunga

kredit foto: Rizqi Adiputra, Dokumentasi Ngaji Posonan 2024

Keluarga Besar Pondok Budaya Kaliopak kehilangan Ibu Nyai Suswati Binti Sholeh Plered pada Ahad 16 Juni 2024. Beliau adalah istri dari Ketua LESBUMI PBNU yang juga pengasuh Pondok Budaya Kaliopak, KH M. Jadul Maula. Almarhumah adalah sosok yang selalu menemani para santri -yang kebanyakan laki-laki- saat mengaji. Menjadi penyeimbang di kala pengajian terasa sangat laki-laki.

Bu Nyai Sus, kami biasa memanggil beliau. Beliau meninggal dunia saat melaksanakan tugas sebagai Petugas Haji Kemenag pada gelaran Ibadah Haji 1445 H. Khusnul khotimah, Beliau wafat saat menjalankan tugas kewajiban di tanah suci Makkah. Berdasar kabar yang beredar, Almarhumah wafat saat prosesi lempar jumroh sedang berlangsung. Suhu Arab Saudi yang sedang panas-panasnya, tidak kuasa Beliau tahan. Jutaan manusia dari seluruh dunia yang sedang berkumpul di tanah suci memang membuat setiap prosesi dalam ibadah ini menjadi berdesak-desakan.

Saya, yang pada tahun ini memutuskan untuk menjadi Santri tetap Kaliopak sungguh terkejut saat mendengar kabar duka tersebut. Sore hari selepas rutinitas menyiram tanaman di halaman, salah seorang Santri menyampaikan kabar duka tersebut. Saya pun lalu membersihkan badan, berpakaian rapi, dan dan menyiapkan segala sesuatu untuk tahlil nanti malam.

Saat itu saya masih tidak percaya akan apa yang telah terjadi. Mungkin dikarenakan Bu Nyai berada jauh di Tanah Suci sehingga kabar bisa berubah kapan waktu. Namun dikarenakan kabar duka tersebut disampaikan langsung oleh Pak Kiai, kami pun tak kuasa bersangsi. “ Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh. Inna lillahi wainna ilaihi rojiun. Barusan mendapat telpon dari Mekkah, khabar bahwa Ibu Suswati telah meninggal dunia pada hari ini, setelah melontar jumroh dan pingsan. Husnul khatimah. Mohon doa dari teman-teman semuanya …” begitu pesan Pak Kiai Jadul di grup whatsapp pada pukul 17.19 WIB.

Sore itu, segala kenangan terhadap sosok Bu Nyai muncul dalam kepala. Santri-santri lain yang ada di Pondok menyampaikan segala kenangannya terhadap Bu Nyai Sus. Dari Almarhumah yang selalu menemani Pak Kiai di setiap pengajian meskipun yang datang sedikit hingga Beliau yang selalu menjadi teman ngobrol para Santriwati. Sebelum berangkat ke tanah suci pun Almarhumah masih turut serta mengaji maulid dziba’ rutinan pondok yang dilaksanakan setiap Malam Sabtu.

Pada saat Ngaji Posonan 2024, pun Almarhumah cukup rutin mengikuti kajian subuh serta kajian malam. Beliau tetap setia menyimak meski jadwal tugas rapat menjadi Petugas Haji terus berlangsung. Saat Bulan Ramadhan lalu hingga menjelang berangkat ke tanah suci, Bu Nyai bolak-balik Jakarta-Yogyakarta untuk melakukan pelatihan Petugas Haji. Bu Nyai pulang-pergi Yogyakarta-Jakarta dengan diantarkan oleh Pak Kiai Jadul dengan menggunakan Kereta Api. Meski terus sibuk dengan jadwal haji tersebut, Bu Nyai selalu terus terlihat bersemangat saat mengaji rutinan. Tidak ada wajah lelah dan letih yang ditunjukkan Bu Nyai kepada para Santri dan Santriwatinya.

Baca juga:  Ki Hadjar Dewantara: Sekolah dan Sejarah

***

Berdasar kabar yang disiarkan oleh Syarif Thayib (Dosen UINSA, PPIH Kloter 95 Surabaya) di duta.co, Bu Nyai menjadi Petugas Haji pada bagian konsumsi. Beliau melayani jamaah haji di Makkah Sektor 07. Menurut yang membersamai Almarhumah, ketika lontar jumroh di Jamarat (tempat lontar jumroh) dari Maktab 52. Saat hendak dibawa ke rumah sakit, ambulans yang membawanya terjebak macet.

Menurut informasi, Bu Nyai Sus berangkat ke Jamarat, pukul 06.00 waktu Makkah. Almarhumah diduga sangat kelelahan. Malam sebelum berangkat ke Jamarat, semua Jemaah haji baru selesai melakukan perjalanan malam yang melelahkan. Para jamaah bergerak mulai Maghrib untuk mabit ke Muzdalifah. Tepat di atas jam duabelas malam, mereka dijemput Bus untuk bergeser ke Mina. Untuk ke Mina pun kebanyakan rombongan sampai pada menjelang adzan Shubuh.

Setelah itu, Para Jamaah segera menyempurnakan haji dengan melontar Jumroh. Hingga terjadilah volume kepadatan manusia menuju Jamarat. Masalahnya adalah kebanyakan para Jamaah Haji waktu itu belum sarapan dan kurang tidur. Sarapan mereka hanya makan roti atau kue atau buah sisa dari Wuquf di Arofah. Para Jamaah juga diduga mengalami stres berat menghadapi medan perjalanan berputar-putar karena rekayasa lalu lintas menghindari penumpukan Jamaah oleh polisi setempat. Almarhumah merupakan yang merupakan satu rombongan dengan para Jamaah itu diduga mengalami stres dan kelelahan.

Banyak Jamaah memanfaatkan jam pagi untuk menghindari panas terik siang Saudi Arabia. Bagi Petugas, berangkat pagi-pagi tentu membuat bisa lebih mudah bergerak jika sudah bertahallul, atau tuntas berhaji tahap pertama. Namun arogansi polisi di Mina membuat stres para Jamaah makin naik seleher. Menurut informasi, beberapa kali beberapa kali dapati para Jamaah Haji yang kelelahan di pinggir jalan didorong terus untuk segera berjalan. Bahkan ada seorang wanita lansia dari Palembang yang tertinggal dari rombongannya diteriaki terus polisi untuk jangan berhenti. Polisi di sana tak bisa membantu banyak melihat kondisi semacam ini. Tugas mereka hanya meminimalisir adanya penumpukan orang menuju Jamarat. Untuk menuju Jamarat, Jamaah dari Indonesia masih harus melewati setidaknya dua terowongan panjang.

Selepas melempar Jumroh Aqobah pagi itu, Jamaah Haji yang kebanyakan dari Indonesia berjalan lurus terus. Padahal rute yang benar adalah belok kanan. Hal tersebut membuat mereka beralih namun malah dicegah Polisi. Mereka dipaksa berjalan lurus terus lalu menuruni tangga eskalator. Yang naas adalah di sana tidak ada air minum yang bisa diminum dari kran-kran seperti rute belok kanan itu. Di lantai bawah, Jamaah haji yang berkerumun banyak sekali jumlahnya hingga benar-benar padat. Yang lain bahkan mencari jalur alternatif dengan mencoba meminta bantuan di Maktab orang asing sambil menggedor-gedor pintu gerbangnya minta tolong. Sebagian lain yang kelelahan itu pun mengerumuni tiga petugas haji wanita yang berseragam. Salah satunya adalah Bu Nyai Sus.

Baca juga:  Ulama Banjar (194): KH. Nuruddin Marbu Al-Banjari

Kondisi para Jamaah Haji sangat mencekam waktu itu. Mereka lapar karena belum sarapan dan kurang tidur, cuaca mulai panas tanpa air minum, apalagi posisi berada di jalan yang bisa dibilang buntu. Ingin mencari jalan alternatif namun tidak ketemu. Tenaga sudah banyak terkuras dan para Jamah terus mendesak para Petugas Haji untuk memberi pertolongan. Maka ambruklah Bu Nyai Sus. Beliau tak kuasa menahan semua tekanan. Berdasar video yang beredar dan cerita para Jamaah, Bu Nyai nampak terlalu berat menahan beban panik dari Jamaah di lantai bawah Jamarat.

Menurut sesama Petugas Haji, Bu Nyai Sus dikenal sebagai petugas yang sangat bertanggung jawab pada tugasnya. Beliau pun tentu ingin totalitas melayani para Jamaah.

Namun, kondisi fisik tak kuasa menanggung itu semua. Almarhumah telah tuntas sempurna menunaikan ritual haji setelah wuquf di padang Arofah, bersambung mabit di Muzdalifah, lanjut ke Mina untuk melontar jumroh. Beliau telah purna menjadi haji yang mabrur. Seperti disampaikan di hadist, Beliau meninggal dengan berkalung bunga dan masuk surga.

“Saya seminggu ini kerja intens dengan Bu Sus di sektor 7, bagian konsumsi. Dari hari pertama saya sudah membatin bahwa beliau ini orangnya baik hati sekali. Saya bersaksi Ibu Suswati orang yang baik,” kata Khodijah, rekan satu tim Almarhumah dikutip dari duta.co.

***

Saat menulis ini, saya teringat sebuah kenangan dari Beliau yang mengingatkan saya kalau jangan terlalu berlebihan saat guyon. Kejadiannya adalah saat Malam Selikuran Ngaji Posonan sedang berlangsung di Pondok Kaliopak. Di Malam Selikuran diadakanlah pagelaran Sholawat Emprak dengan tarian dan juga Maulid Dziba’. Karena terlalu bersemangat saat menari dengan duduk, salah seorang santriwati yang mengikuti prosesi ini menjadi pingsan. Santriwati itu kelelahan duduk melipat kaki dengan menggunakan jarik, lalu ketika mahalul qiyam (dziba’ dengan berdiri), ia terjatuh ke belakang. Santriwati itu pun lalu dibawa ke kamar untuk beristirahat dan tidak mengikuti jalannya acara Malam Selikuran selanjutnya.

Ketika prosesi tersebut rampung dan mulai acara foto bersama, Santriwati tersebut tiba-tiba muncul untuk ikut berfoto. Seperti mempunyai tenaga baru, ia merapat dalam barisan kami yang sedang berfoto. Saat itu muncul guyonan dari mulut saya, kira-kira begini: “Pas ngaji aja pura-pura sakit, giliran foto-foto sehat”. Bu Nyai yang ada di sebelah saya pun lalu menegur halus, lirih, dan tersenyum. “Sudah-sudah, kasihan”. Saya saat itu pun langsung kicep dan tidak bisa tertawa lagi. Saya menjadi merasa bersalah telah membuat guyonan yang mungkin menyakiti. Mungkin kenangan tersebut sederhana, namun selalu membekas di hati saya. Jiwa urakan saya pun saat itu menjadi langsung runtuh.

Baca juga:  Ulama Banjar (154): Prof. Dr. H. Kamrani Buseri, MA

Kabar duka itu hadir ditengah riuh gema takbir Iduladha yang menggema di sekitar Desa Klenggotan. Esok yang menandai datangnya Iduladha menjadi sedih karena adanya kabar tersebut. Keceriaan Iduladha tahun ini seperti dibuka dengan kesedihan. Sholat Iduladha pun tetap harus dilaksanakan paginya dengan ditambah doa yang tak henti tercurah untuk Almarhumah.

Tadi malam, 7 hari sudah Bu Nyai Suswati meninggalkan kami. Selepas isya’ selalu diadakan tahlil di 2 tempat. Yaitu di Pondok Budaya Kaliopak di Klenggotan, juga kediaman Beliau di Desa Payak. Masyarakat sekitar, para santri, dosen, anggota Lesbumi DIY, dan juga para kenalan Almarumah turut hadir dalam prosesi tahlil. Mereka datang untuk turut mendoakan Almarhumah yang khusnul khotimah. Tadi malam yang merupakan hari terakhir 7 harian, Pondok Kaliopak menjadi penuh dengan pendoa. Tercatat ada 130-an orang hadir di Pondok sederhana yang terletak di Jalan Wonosari Kabupaten Bantul tersebut.

Bu Nyai Sus bagi kami, Santri Kaliopak, merupakan guru dan suri tauladan yang mengajarkan kebaikan tanpa henti. Alumni Pondok Pesantren Tambakberas Jombang itu senantiasa menjaga keseimbangan disaat kami mengalami kerumitan. Perhatian, kasih sayang, serta kesabarannya adalah teladan hidup yang rasanya sulit untuk kami lampaui. Sebagai Ibu di tanah rantau, Beliau selalu ngemong. Tahu bagaimana cara menempatkan diri dan memperlakukan orang lain yang ada di sekitarnya.

Di tengah kesibukannya sebagai ibu rumah tangga dan melayani Pak Kiai Jadul sebagai Ketua Lesbumi PBNU, Beliau masih mendermakan waktu dan tenaganya untuk mengajar ngaji setiap sore untuk anak-anak di Sanggar Cokrojayan yang ada di rumahnya. Di saat pagi, Bu Nyai Sus juga istiqomah mengajar PAUD. Di hari lain, Beliau juga tentu disibukkan dengan kerja-kerja organisasi ke-NU-an dari mulai level ranting hingga Nasional. Jiwa aktivis selaku Mantan Anggota PMII dan Lurah Tambakberas seperti telah menjadi laku hidup yang Beliau kerjakan semasa hidupnya.

Perkenalan saya dengan Bu Nyai barulah sebentar. Tidak lebih dari 3 bulan. Namun sosok Beliau sudah seperti seorang Ibu saya di Tanah Rantau. Menjadi seorang pengayom, pengingat, dan penegur saat luput dari kesalahan. Kehadiran Beliau pada setiap pengajian di Pondok Kaliopak, seolah menjadi pewanti agar ngaji dilaksanakan dengan sopan, rapi, dan teratur. Tidak seenaknya sendiri.

Semoga ilmu dan amal jariah dari Bu Nyai Sus bisa menjadi bekal untuk kami Santri Kaliopak. Semoga Pak Kiai Jadul sekeluarga juga senantiasa diberi ketabahan juga kesabaran. Doa terbaik tidak henti tercurah untuk Bu Nyai Sus. Kami akan selalu merindukannya. Alfatihah.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top