Perkembangan teknologi yang begitu pesat yang kemudian berakibat pada peredaran informasi yang begitu massif telah menyeret manusia menjauh dari kemanusiaannya sendiri.
Bagaimana tidak? Percepatan dalam sebuah pembangunan yang menitikberatkan pada pembangunan materealistik telah menuntut manusia untuk terus melakukan percepatan-percepataan dalam hidupnya, baik dalam domain badaniah, kognitif, hingga mental.
Manusia kini dituntut untuk bisa melakukan pekerjaannya yang terlalu berat dan banyak sehingga menciptakan alat-alat untuk mempermudah dan membatu percepatan pembangunan materealistik tersebut. Manusia mulai menciptakan mesin-mesin, kemudian komputer hingga saat ini manusia mampu menciptakan robot sebagai pengganti peran manusia itu sendiri. Sebuah paradoks.
Lantas kemudian muncul pertanyaan, apa tujuan percepatan pembangunan untuk manusia itu sendiri sebagai subyek dan pengendali dunia ini?
Kita bisa bersepakat bahwa pembangunan material bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dengan kata lain agar manusia bisa mencaapai kebahagiaan dengan mendapat kemudahan-kemudahan seperti terbebas dari jerat kemiskinan, wabah penyakit, dan peperangan yang menjadi biang pemenjara manusia unuk mencapai eksistensinya.Hingga akhirnya manusia berlomba menciptakan alat-alat yang membebaskan dari penjara tersebut.
Yoval Noah H. Dalam Homo Deus-nya, menyatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah perlawanan terhadap tiga hal: wabah penyakit menular, peperangan, dan kelaparan. Tidak heran jika umat manusia, melalui uji intelegensianya, dapat menemukan alat pembebasan maka bisa di ramalkan manusia akan memiliki keinginan imortal. (Harari, 2018)
Ketika dahulu seorang dokter mampu menjadi rujukan penyembuhan beragam penyakit yang mengidap masyarakat se-kampung. Kini dalam bidang kedokteran telah terbagi-bagi karir fungsionalnya. Ini merupakan karakteristik khas modern, pengkhususan-pendalaman dan juga jadi obyek kritik tajam Karl Popper.
Di zaman ini, dalam dunia medis manusia telah dapat menciptakan alat-alat micro yang digunakan untuk mendeteksi virus-virus penyakit yang senantiasa mengancam nyawa manusia. Kini juga telah terdapat obat-obatan yang di proyeksikan untuk melawan fitrah kemanusiaan seperti depresi dan ketakutan, yang dianggap sebagai penyakit.Agar apa? Agar manusia tetap bisa melakukan percepatan dalam hidupnya meskipun dengan mengakali sisi kemanusianya.
Kita tidak bisa mengelak bahwa kemajuan teknologi telah berdampak pada kerusakan tatanan ekologi dunia. Climate Change merupakan momok besar bagi negara-negara berkembang yang justru disebabkan negara maju. Banjir, tanah longsor, dan juga kepunahan makhluk-makhluk lain penghuni bumi adalah paradoks pembangunan.
Di negara-negara maju dengan taraf hidup yang tinggi justru menyisakan tragedi kemanusiaan dan berbanding terbalik dengan keadaan yang terdapat di negara berkembang. Jepang, Korea Selatan dan negara maju lainnya memiliki angka bunuh diri yang lebih dibanding wilayah pedesaan Himalaya dan Indonesia, misalkan.
Sekali lagi, ternyata kebanggaan dan kebahagiaan semu yang diupayakan teknologi modern ini justru mencederai alam dan juga manusia itu sendiri. Nampaknya manusia masih belum memahami bahwa teknologi merupakan sebuah alat yang menghantarkan kepada kebahagiaan, dan teknologi bukanlah kebahagiaan itu sendiri.
Bersamaan dengan fenomena paradoks yang telah terjadi, mengenai kehancuran yang disebabkan ulah manusia. Ternyata di bagian belahan dunia lain telah muncul kesadaran dan gerakan yang merupakan antitesis dari lanskap pembangunan modern. Gerakan ini merupakan counter dari keruwetan dan kejenuhan manusia mengenai kebahagiaan berikut kemudahan-kemudahan yang di tawarkan oleh kemodernan yang ternyata hanya artifisial yang jauh dari hakikat.
Muncul kemudian di negara-negara maju fenomena masyarakat yang merindukan kembali spiritualitas baik dalam bentuk legal formal melalui agama maupun gerakan kelompok yang ekslusif. Dalam dekade ini telah bermunculan riset-riset yang membuktikan bahwa masyarakat merindukan kembali adanya spiritualitas dalam hidup.
Di Amerika misal, majalah TIME memberitakan melalui risetnya bahwa orang Amerika lebih banyak melakukan doa daripada melakukan olahraga, rekreasi, atau berhubungan seks. Juga muncul beberapa perkumpulan yang khusus untuk mempelajari Yoga dan Hindunisme. (Bagir, 2017)
Di indonesia, yang notabene merupakan negara berkembang juga tidak kalah dengan fenomena yang terjadi di negara maju seperti Amerika. Fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia khususnya di perkotaan. Di Yogyakarta misalkan, ada sebuah rumah yang di proyeksikan khusus sebagai tempat kajian anak-anak punk dan band-band lain yang dalam paradigma masyarakat di cap sebagai biang kerusakan serta keresahan sosial. Kemudian muncul juga gerkan kolektif hijrah para anak-anak berandal di kota-kota lain seperti di Jakarta yang telah mengadakan pesantren jalanan. (Nurmansyah, 2021).
Kerinduan manusia akan spiritualitas mengindikasikan bahwa kehidupan modern sejaatinya telah banyak menyita kebahagiaan sehingga manusia modern perlu mencari alternatif kebahagiaan lain selain menggantungkan pada arus pembangunan modern.
Lantas bagaimana respon agama itu sendiri terhadap fenomena yang belakangan hadir, khususnya Islam?
Tasawuf diperkenalkan kembali
Mengapa tasawuf? Sebab hanya tasawuf yang memiliki lanskap holistik yang di dalamnya mengelaborasi nilai-nilai pembebasan yang dibutuhkan oleh manusia modern yang terlampau kering dari hal-hal yang transendental. Manusia modern butuh sesuatu hal yang mengakomodir hakikat setelah sekian lama terbelenggu dengan hal-hal yang temporer dan artifisial belaka. Atau manusia membutuhkan perkenalan terhadap dimensi rasa berupa intuisi yang sebelumnya telah di tumpulkan oleh metode penggali kebenaran deduktif-induktif berbasis materealistik-rasional.
Mengapa harus tasawuf? Fakta kejadian akhir-akhir ini membuktikan bahwa metode pendekataan semisal fikih ataupun kalam justru menjuntrungkan manusia pada ekspresi beragama yang terkesan represif dan reaksioner terhadap liyan.
Munculnya teror-teror yang dilakukan oleh sekelompok kaum beragama, terutama Islam membuktikan bahwa dalam konteks ini tasawuf lebih dibutuhkan dan lebih relevan daripada pendekatan dengan perspektif nalar fiqh maupun kalam.
Apa sebab? Dalam nalar fiqh maupun kalam sama sekali tidak mengelaborasi nilai-nilai keindahan, kesantunan, keteraturan yang kesemuanya bersumber pada rasa yang dalam tradisi tasawuf disebut dzauq. Sedangkan dalaam pendekataan fiqh ataupun teologi, terutamaa klasik, hanya mengelaborasi ajaran yang terkesan hitam-putih, benar-salah maupun kami-mereka an-sich.
Selanjutnya, kebutuhan manusia modern akan sesuatu kebenaran alternatif yang lebih hakiki mensyaratkan tasawuf untuk memperbarui metode pengajarannya, bukan inti ajarannya, yang terkadang sangat menyulitkan manusia modern yang awam akan spiritualistik seperti yang terdapat dalam metode tasawuf tradisional yang harus menempuh dan mengikuti lembaga legal yang biasa disebut tarekat.
Kenyataan bahwa abad modern telah mengalami masa kelesuannya, untuk tidak dikatakan hancur, telah membuka babak baru paradigma pemikiran tasawuf, yang perubahan tersebut dimaksudkan agar lebih menyentuh seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Sebab pada dasarnya dalam tasawuf sendiri telah terkandung nilai-nilai yang dinamis bahkan responsif terhadap permasalahan aktual manusia. (Siroj, 2018)
Nampaknya masa depan umat manusia bisa jadi akan terselamatkan jika fenomena “kembali ke spiritualistik” terus menunjukkan signifikansi peningkatannya. Yang kelak akan membuka babak baru peradaban umat manusia, yang mana manusia dapat lebih mengenal dan mengetahui bahwa keterbatasan dan kekurangan diri bukanlah ancaman dan ketertinggalan
Bahan Bacaan
Bagir, H. (2017). Islam Tuhan, Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau. Bandung: Mizan .
Harari, Y. N. (2018). Homo Deus. Tangerang Selatan: Pustaka Alvabet.
Nurmansyah, R. (2021, April 22). Mengenal Tasawuf Underground, Pesantrennya Anak Punk Jalanan di Tangsel. Retrieved from Suarajakarta.id: Mengenal Tasawuf Underground, Pesantrennya Anak Punk Jalanan di Tangsel
Siroj, S. A. (2018). Tasawuf Sebagai Kritik Sosial. Bandung: Mizan.