Tidak benar kalau orang-orang di kampung saya tidak suka membaca buku, meski saya juga sempat berpikir demikian. Tinggal di kampung yang terletak di ujung pulau, di mana perda syariah paling banyak diciptakan, bahkan kami juga memiliki polisi syariah, sudah seharusnya saya bersyukur.
Orang-orang di sini sangat religius, lurus dan baik hati, tak ada iri dengki; menimbulkan suasana yang nyaman di lingkungan saya, saking nyamannya terkadang membuat saya bosan. Kami tidak butuh buku-buku lagi untuk membangun pola pikir, toh kami sudah punya kitab suci, kitab kuning dan orang-orang alim.
Saya mulai menangkap minat orang-orang kampung saya pada dunia sastra ketika pada suatu siang, salah seorang dari mereka datang menemui saya. Mendapati saya sedang membaca buku, orang kampung saya itu berkata, “Jangan cari-cari alasan, membaca buku itu sama saja berteman dengan setan.”
Saya terhenyak, jantung berdetak lebih cepat, rasanya dialog itu tidak asing bagi saya. Karena saya melongo, tidak bereaksi apa-apa (mencoba mengingat-ingat di mana saya pernah menemukan dialog yang hampir serupa), orang kampung saya itu balik badan, tanpa sempat mengatakan hajatnya datang menemui saya..
Detik itu, saya sadar, selama ini saya sudah salah menganggap orang-orang kampung saya tidak tertarik pada buku sastra.Orang tadi pasti sedang mencoba meniru salah satu kalimat Umberto Eco:
“Tidak ada dalih yang suci. William, kau tahu aku mengasihimu. Kau tahu bahwa aku amat memercayaimu. Bunuh inteligensiamu, belajarlah menangisi luka-luka Allah, buang buku-bukumu.”
Setelah itu, saya memperhatikan perilaku orang kampung saya. Saya baru sadar ternyata diam-diam mereka telah membaca The Name of The Rose dan sangat menyukai karya sastrawan Italia itu, mereka sampai meniru sepak terjang tokoh-tokoh dalam buku tersebut.
Kadang salah satu dari mereka menjadi Ubertino yang anti hal-hal keduniawian, lain lagi berusaha meniru Jorge dari Burgos yang berhak menjaga kebenaran, yang lain lagi berusaha membuat ramalan kiamat seperti situa Alinardo dari Grottaferrata, bahkan ada yang meniru Kepala gudang yang memiliki sedikit kekuasaan dan diam-diam tidur dengan pelacur.
Saya curiga, jangan-jangan mereka telah membaca buku itu jauh sebelum saya membacanya.
Jika itu yang terjadi, maka saya patut bersedih, selama ini saya selalu ketinggalan dalam membaca buku sastra dengan orang-orang dari kampung lain, ternyata saya juga telah ditikung orang-orang kampung sendiri.
Hal ini terlihat pada betapa mereka mendalami peran tokoh-tokoh tersebut, itu tak mungkin terjadi kecuali mereka telah membaca buku itu sejak lama secara berulang kali.
Kemungkinan lain dari fenomena yang terjadi pada orang kampung saya adalah; yang ditulis Eco tentang situasi religius abad pertengahan, paralel dengan lingkungan saya yang juga religius, meski iman mereka berbeda.
Situasi yang membuat mereka menjadi anti-intelektuan dan tidak boleh berpikir kritis. Titah tokoh spritual adalah kebenaran tunggal yang tidak bisa diganggu-gugat.
Saya sedikit curiga kalau orang-orang kampung saya sedang ingin kembali ke abad pertengahan, di mana hal yang berbeda dengan mereka dianggap bidah dan dimusuhi, tokoh-tokoh intelektual berakhir di tiang gantungan. Tidak bisa saling memahami perbedaan antara kelompok-kelompok yang ada dalam kepercayaan kami.
Hal ini terlihat dari keributan yang sering terjadi dalam rumah ibadah karena perbedaan bilangan rakaat salat sunat antara golongan-golongan itu. Persis seperti perbedaan pendapat yang menimbulkan pertikaian-pertikaian dalam The Name Of The Rose.
Saya tidak tahu harus bahagia atas orang-orang kampung saya yang diam-diam telah membaca buku sastra atau bersedih atas keinginan orang-orang kampung saya untuk kembali ke masa lalu, bahkan saya dengar beberapa dari mereka mulai merancang mesin waktu yang hanya bisa kembali ke masa lalu, tapi tidak bisa melompat ke masa depan.
Semoga ini hanya sekadar prasangka saya saja, karena ending dari novel Eco adalah terbakarnya sebuah peradaban yang menjadi gudang ilmu pengetahuan. Wallahu a’lam. (atk)