Sopan, terlalu sopan. Ada kesan keseganan. Begitulah kesan saya bertemu dan ngobrol ngalor-ngidul dengan seorang perempuan muda Tionghoa. Barangkali, secara simbolik, ia ingin menunjukkan bahwa kultur saya telah meminggirkannya selama bertahun-tahun.
Tak terpungkiri, eksistensi orang-orang Tionghoa di Indonesia memang tak selamanya “aman.” “Pelit,” “eksklusif,” hanyalah beberapa stereotip yang melekat pada mereka. Geger Pacinan atau peristiwa Bedhahing Kartasura adalah salah satu kisah awal yang pernah saya dengarkan di masa kecil.
Mas Garendi, seorang peranakan Tionghoa, pernah membumihanguskan keraton Kartasura yang saat itu dipimpin oleh Pakubuwana II. Sang raja yang kemudian membangun dinasti Mataram-Surakarta itu lari ke Timur Lawu, mencari suaka dan membangun kekuatan baru.
Di Ponorogo ia pun bertemu dengan sesosok kiai yang kemudian membantunya untuk kembali menggempur kekuatan Mas Garendi.
Syahdan, Bagus Harun Basyariyah, seorang santri udik, secara khusus dikirim oleh sang kyai untuk membantu mengalahkan Mas Garendi.
“Bagaimana mungkin seorang udik seperti itu mampu menjadi senapati perang?” batin Pangeran Mangkubumi ketika menyaksikan sang santri pilihan yang berbusana seadanya.
Ujian pun digelar guna membuktikan kemampuan sang santri udik. Konon, Pangeran Mangkubumi dapat meloncati pagar setinggi 3 meter. Tapi, sang santri udik lebih mengherankan lagi. Dengan santainya ia justru menembus pagar itu, melesat seperti cahaya di antara celah lubang semut.
“Siapa sesungguhnya kau, kisanak?” tanya sang raja ngungun.
“Hamba putra Ki Ageng Nalajaya dari Somarata.”
“Jadi, kamu masih keturunan Panembahan Senapati juga?” telisik sang raja.
“Benar, Gusti.”
“Kamu masih saudaraku. Aku memanggilmu ‘adik’, sekarang.”
Siasat perang pun segera dirancang di Ponorogo. Konon, formasi yang digelar adalah garuda nglayang. Pasukan Mas Garendi pun kocar-kacir, digempur dari sisi kanan, tengah, dan kiri.
Sebagai balas jasa, dianugerahilah Bagus Harun sebuah songsong di mana di gagangnya tergurat aksara “HA.” Dasar santri temen, setelah tiba di Tegalsari, ia segera menghaturkan songsong itu ke Kyai Ageng Mohammad Besari.
“Itu buatmu, Harun,” tegas Kyai Ageng yang melihat keluguan santri kinasih-nya.
Bagus Harun pun segera kembali ke Kartasura, menanyakan pada sang raja, benarkah songsong itu untuknya. Jawaban sang raja segera melegakan hatinya.
Tapi ketika perjalanan pulang ke Ponorogo, Bagus Harun berhenti di sebuah dam (bendungan kali) di daerah Nglengkong. Daripada nanti menimbulkan kesombongan dan riya’ para anak keturunannya, ia pun segera menyembunyikan songsong itu di dam sungai.
Kisah Bagus Harun Basyariyah adalah sebuah kisah yang tak pernah tercatat di buku-buku sejarah mainstream, yang seringkali hanya berisi kisah-kisah orang besar dan terkenal. Lazimnya, kisah-kisah minor semacam itu hanya tumbuh dalam cerita tutur, teks-teks pinggiran yang disimpan para anak keturunanya, dan terselip sekedar sebagai nisan pada teks-teks sejarah mayor.
Kerapkali saya menggunakan pendekatan sejarah minor ketika hendak menguak kisah-kisah dalam sejarah mayor. Sejarah positivistik telah lama saya gugat.
Bagaimana sebuah peristiwa di masa lalu dapat dianggap sebagai sebuah fakta, mengingat ilmu fisika yang mutlak positivistik pun ditemukan adanya kebenaran relatif. Bahwa hubungan pengamat atau peneliti dengan objek amatannya bukanlah seperti hubungan sipir dan narapidana, tapi hubungan antara bapak dan anak (teori relitivitas)?
Bahwa ketika orang berhadapan dengan sesuatu ia tak pernah kosong laksana sehelai kertas putih, tapi sudah memiliki isi: asumsi, kepentingan, ideologi tertentu, atau mungkin malah kondisi kelaparan?
Bukankah Montaigne telah lama mengatakan bahwa kentut pun (kondisi ketubuhan para peneliti) dapat memengaruhi pula proses dan otomatis hasil dari penelitiannya?
Manusia bukanlah dewa. Inilah diktum utama sikap filosofis yang bergema sejak Montaige, Voltaire, Nietzsche, Freud, Heidegger, dan para posstrukturalis yang mulai merebak sejak dekade 60-an.
Taruhlah sebagai contoh adalah sejarah yang sebagaimana kita yakini sekarang sebagai sebuah kebenaran, kisah seorang Dipanegara. Konstruksi atas kisah Dipanegara seperti mulai terurai satu per satu karena ditemukannya keris yang katanya keris legendaris Kiai Naga Siluman yang sempat menjadi polemik.
Sebab, kenyataannya, keris yang dikembalikan pemerintah Belanda itu adalah keris ber-dhapur naga yang serupa dengan bentuk keris Nagasasra yang jelas berbeda dengan Naga Siluman.
Di sinilah para peneliti pada akhirnya hanya dapat menduga dan tak pernah dapat memastikan Dipanegara dan narasi-narasi tentangnya di masa lalu. Dipanegara bisa jadi memang seorang dengan kepribadian yang tak lurus sebagaimana narasi arus utama tentangnya, seandainya ukuran kelurusan itu adalah ukuran Barat.
Pada titik inilah prinsip relativitas Einstein berkumandang. Sama halnya dengan mengatakan bahwa seorang Gus Miek yang gemar meminum bir hitam dan singgah di kompleks pelacuran menandakan bahwa ia adalah seorang pribadi yang bengkok. Tentu, ukuran kebengkokan di sini pun adalah ukuran Barat.
Gus Miek yang sejak belia menyukai sosok Dipanegara bukanlah hal yang kebetulan belaka pada konteks ini. Dalam banyak kesempatan, ia mengatakan bahwa penemu makam Tambak Kediri adalah para mantan anggota laskar Dipanegara.
Gua Miek nyantri di Watucongol dan suka berziarah ke kompleks makam Gunungpring bukan pula sebuah kebetulan. Sebab, di kompleks pemakaman ini terbaringlah seorang kyai yang menjadi salah satu senapati Perang Jawa di wilayah Kedu yang tak pernah tercatat dalam narasi sejarah mayor tentang Dipanegara, Kyai Abdurrauf, kakek salah satu guru Gus Miek sendiri, KH. Nahrowi Dalhar.
Gus Miek pun, sebagaimana juga Gus Dur, adalah juga para sejarawan. Pendekatan kesejarahan mereka tentu bukanlah pendekatan sejarah positivistik, karena hasil riset kesejarahan mereka tak pernah tercatat di buku-buku sejarah mainstream.
Mereka lebih menyukai pendekatan sejarah minor, yang menguak orang-orang terpendam yang ikut andil dalam peristiwa sejarah besar tertentu.
Narasi-narasi minor semacam ini sebenarnya adalah narasi yang penting yang ikut menopang konstruksi narasi mayor tentang peristiwa sejarah tertentu, yang acapkali dianggap remeh oleh para sejarawan akademik.
Peremehan narasi-narasi minor, karena berisi orang-orang yang tak terkenal, pada akhirnya akan menyingkapkan kelemahan pendekatan sejarah positivistik. Bagaimana para sejarawan akademik menjelaskan, seumpamanya, kegemaran Dipanegara pada anggur dan perempuan dari sudut-pandang kejawen dan Islam?
Bagaimana para sejarawan akademik menjelaskan titik-singgung tarekat Akmaliyah, Syattariyah, dan bahkan muslim puritan dengan kapitayan pada sosok Dipanegara?
Bagaimana juga kemudian para sejarawan akademik menjelaskan ketakbingungan para anggota laskar dan simpatisan Dipanegara atas pribadi anak HB II itu yang tak dapat dikerangket dalam satu kategori tunggal?
Adakah para sejarawan akademik sampai sejauh ini dapat menemukan kunci soliditas dan perlawanan laskar Dipanegara pada peristiwa Perang Jawa yang berkobar selama lima tahun?
Bagaimana para sejarawan akademik menjelaskan nubuah Ratu Adil dengan konsep khalifah yang sama-sama menjiwai Perang Jawa yang kumandang pula dengan nama Perang Sabil?
Bagaimana para sejarawan akademik dapat membedakan gelar wali (santo) dan status wali HB III pada sosok seorang Dipanegara?
Bagaimana para sejarawan akademik menjelaskan secara gamblang bahwa seusai penangkapan Dipanegara Perang Jawa sekaligus laskarnya dinyatakan ikut pula berakhir?
Andaikata berakhir ke mana dan menjadi apakah mereka sesudahnya? Bagaimana mungkin Perang Jawa yang dahsyat itu, yang mampu menyatukan orang dari latar-belakang yang berbeda berakhir ketika terjadi pecah kongsi antara Dipanegara dan Kyai Maja serta Sentot, dan penangkapan serta pembuangan Sang Heru Cokro sendiri?
Patut diingat bahwa struktur laskar Dipanegara adalah seperti struktur kerajaan dan bukannya struktur gerakan perlawanan biasa.
Ketika narasi-narasi minor seputar Dipanegara dan Perang Jawa tak dihiraukan oleh para peneliti kekaburan di ataslah yang bakal terjadi.
Narasi-narasi minor atau sejarah lokal yang berada di pinggiran, yang acap dibumbui sanepan atau perumpamaan, justru adalah penopang narasi agung tentang Dipanegara dan Perang Jawa. Ibaratkan narasi agung tentang Dipanegara dan Perang Jawa adalah sebuah kota besar yang eksistensinya tak dapat dilepaskan dari kota-kota penyangga di sekitarnya.
Para sejarawan mainstream selama ini saya kira abai terhadap kota-kota penyangga ini, yang tanpanya kota pusat tak akan berarti. Demikianlah fungsi dari narasi-narasi kecil, lokal, dan pinggiran, yang menjadi penopang kelangsungan narasi agungnya.
Lebih daripada sekedar fakta sebagaimana yang diyakini para sejarawan mainstream, sejarah pada dasarnya adalah juga sebentuk diskursus yang memerlukan perangkat khusus untuk mengurainya.
Permasalahan utama diskursus bukanlah pada benar atau tak benarnya sebuah peristiwa, tapi mengapa dan bagaimana diskursus itu terbentuk atau mengada. Saya pernah melacak sosok Semar yang bagi sejarawan-sejarawan arus utama yang positivistik adalah sebentuk hoaks (Kisah Semar dan Syaikh Subakir di Belukar Tidar, https://alif.id).
Atau temuan sejarah Gus Dur perihal komunitas muslim di dataran tinggi Dieng dan Gus Miek tentang Makam Aulia Tambak yang lebih tua usianya daripada Walisanga (Ziarah Makam sebagai Zikir Maut, https://alif.id).
Sampai di sini, terkadang kita mesti berendah hati bahwa berbicara masa silam adalah berbicara tentang ingatan, kenangan, yang tak pernah hadir secara gamblang. Yang sebenar-benarnya kita lakukan pada akhirnya adalah sekedar menafsirkan.
Itulah mengapa, bahkan dengan label ilmiah sekalipun, ada beragam versi atas sebuah peristiwa yang terjadi dahulu kala. Bahwa dalam peristiwa Geger Pacinan (narasi besar) yang membuat Paku Buwana II hengkang, terdapat pula peran Kiai Ageng Mohammad Besari dan Bagus Harun Basyariyah (narasi penyangga) di balik upaya peredaannya yang tak pernah tercatat di buku-buku sejarah resmi.
Bahwa peristiwa Perang Jawa dan Dipanegara (narasi besar) turut pula dibentuk oleh narasi-narasi penyangga. (SI)