Sedang Membaca
Udik, Mudik dan Kembali Fitri
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Udik, Mudik dan Kembali Fitri

Kawruhana kaki
lamun mbenjang yen wus palastra
Nyandi parane
Upamakna paksi mabur
Ucul saking kurunganeki
Upamakna wong lunga sanja
Wus mesthine mulih
Mula mulanira

Ketahuilah, Nak
Ketika esok tiada
Ke manakah kiranya?
Seumpamanya burung berkepak liar
Yang lepas dari sangkar
Atau pelancong yang mesti pulang
Ke kesilaman yang dirindukan
—(Sunan Bonang)

Udik berarti ndesa ataupun utun. Kata kerja aktifnya: mudik. Dalam khazanah budaya nusantara ada satu tradisi menjelang lebaran datang: mudik, pulang kampung—atau dalam istilah Jawa disebut pula ngutun (kata kerja pasif).

Barangkali, mudik merupakan tradisi khas nusantara yang tak pernah kita jumpai di negara lain. Apakah hal ini sebuah kebiasaan belaka untuk temu-kangen dengan sanak saudara di desa—sekali sewarsa?

Andaikata dikaitkan dengan makna idul fitri berarti ada yang lebih dari sekedar permukaan, berkaitan dengan suatu kerinduan purba, pada sebuah sangkar, pada sebuah rumah, pada sebuah rahim.

Barangkali, itulah drama spiritualitas sepanjang sejarah umat manusia: sekedar pergi untuk menemukan jalan pulang. Ironis, terkadang menyebalkan, melelahkan. Titik berangkat selalu saja titik akhir. Dari bayi kembali bayi (fitri). Melingkar, bukannya linear—seperti kepercayaan waktu orang-orang nusantara. Dan karena itulah mudik merupakan sebutir mutiara kearifan yang terpendam, menunggu untuk ditemukan, dan dilupakan (kebiasaan).

Baca juga:  Sedekah Semut

Kisah hari raya (idul fitri) selalu saja adalah kisah masa lalu. Setibanya, laiknya di pedesaan nusantara, kita pun ziarah dan sejarah (nama lain dari menyambung silaturahim).

Kisah para pendiri agama, bisa dibilang, hanyalah kisah dalam melacak masa silam yang dikenang terang dan nyaman—pusat dari segala kerinduan. Mereka perlu terhuyung, dirajam kepedihan, kesukaran.

Konon dalam pencariannya, Sidharta Gautama pernah mengalami suatu titik ekstrim. Ia berpuasa, bertapa, berbulan-bulan, hanya untuk menemukan sebuah jawaban, sampai raganya tampak tinggal tulang-belulang.

Unik, memang, jalan yang ditempuh Sidharta. Untuk tak bermaksud membandingkan, kanjeng nabi Muhammad sungguh tak musykil dapat mencapai pencerahan sebagaimana yang telah banyak dikisahkan. Ia yatim-piatu, karib dengan kemiskinan, dan bahkan tak bisa baca-tulis. Dengan kata lain, ia sudah terbiasa tirakat.

Berbeda dengan Sidharta, ia seorang pangeran yang cerdik-cendekia, bergelimang kenyamanan. Jadi kalau diperbolehkan menimbang, dari segi kemelekatan, jalan yang ditempuh Sidharta jauh lebih berat dua kali lipat, sebab ia mesti menanggalkan dan meninggalkan itu semua.

Jalan pencerahan bukanlah jalan yang mudah dijelang. Mereka berdua perlu terseok-seok, gagal dan digagalkan. Sampai suatu ketika, mereka mendapatkan cara masing-masing, tanpa hudan dari orang. Tak detail bagaimana Muhammad menemukan ilham, tapi Sidharta jelas: dawai.

Baca juga:  Tradisi Merariq Sasak: Antara Pancasilais dan Bias Gender

Dawai yang terlalu kencang justru membuatnya rentan putus, tapi terlalu kendor juga membuatnya tak bunyi. “Sebaik-baik perkara adalah yang pertengahan,” kata Muhammad, kemudian. Kedua figur besar spiritualitas itu bertepuk: untuk tak berlebihan, tak ekstrim, sakmadya.

Spiritualitas pada dasarnya adalah sebuah jalan yang khas. Tak tepat rasanya membandingkan satu dengan lainnya. Benar kata Heidegger, manusia selalu dikungkung oleh konteks. Persoalan timbul: radikalisme atau ekstrimisme tumbuh tersebab tak hirau konteks atau justru terlalu terikat konteks?

Memang, ada satu karakter umum yang melekat pada ekstrimisme keagamaan: mengidealkan agama sebagai sesuatu yang mengatasi ruang dan waktu, tak ternoda dan mesti tak ternoda oleh konteks. Bagaimana dengan politik identitas yang sering berujung ekstrimisme atau radikalisme? Bukankah politik identitas, yang sejak beberapa tahun terakhir ini menghiasi jagat politik Indonesia, cenderung memutlakkan konteks? Bukankah konsekuensi terjauh dari politik identitas adalah ketegangan dan bahkan konflik tersebab incommensurability masing-masing?

Problem kemajemukan laten tepat hadir pada titik ini: untuk tak sakit hati, tak cuwa, karena harus bernegosiasi, yang berakibat adanya kastrasi.

Tapi tak seharusnya kekhasan itu mengisolir satu sama lain. Ada titik-hubung, titik-singgung, seperti Sidharta dengan Muhammad, seperti mata dengan telinga. Telinga bisa rungu, tapi mata—melalui bahasa isyarat—dapat mendengarnya. Mata pun bisa buta, tapi melalui suara, telinga dapat melihatnya.

Baca juga:  Program 5000 Doktor Kemenag: Ikhtiar Wujudkan Daya Saing PTKI

Selamat berlebaran!

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top