Kayon katiyuping angin
Sumyak swarane karengyan
Samirana mawor riris
Lumrang gandaning puspita
Ae ana
Remreming driya manawung
Kekuwunging Hyang Wisesa
—Lagon Pathet 9 Wetah
Terkadang, kerumitan tak datang dari hal-hal yang benar-benar rumit. Adakalanya, kerumitan itu justru adalah buah dari kerumitan pikiran kita sendiri. Dalam Buddhisme Zen berlaku sebuah pepatah bahwa keindahan pada dasarnya adalah sebuah kesederhanaan. Seperti kisah seorang bhikku ketika ditanya oleh seseorang. “Apa yang tengah kau lakukan?”
“Berpikir,” jawab bhikku itu.
“Berpikir tentang apa?”
“Berpikir tentang tidak berpikir.”
“Bagaimana kau melakukannya?”
Dengan nada datar, bikkhu itu menjawab, “Dengan tidak berpikir.”
Menjelang pukul 12 malam sang dalang wayang purwa biasanya akan menyanyikan sebait suluk atau lagon untuk menandai perpindahan pathet, dari pathet nem ke pathet sanga. Dalam tempo yang pelan dan penuh penghayatan (mat-matan), suluk atau lagon itu berupaya menggambarkan kahanan yang sesyahdu tengah hari dimana angin serasa mendesis untuk mengimbangi panas mentari.
Namun, anehnya kahanan alam itu terjadi di malam hari dimana tentu saja tak banyak orang yang menyaksikan ataupun merasakan. Secara sastrawi, jelas dalam jagat pewayangan pencitraan malam tak identik dengan kesepian, kegelisahan, sange ataupun kebingungan. Justru ironisnya gambaran-gambaran alam yang identik dengan keindahan, seperti kumbang yang menyesap kembang, diterapkan untuk konteks malam hari.
Sangsaya dalu araras
Abyor lintang kang kumedhap
Titi sonya tengah wengi
Lumrang gandaning puspita
Karengyan ing pudyanira
Sang dwijawara mbrengengeng
Lir swaraning madubranta
Manungsung sarining kembang
Barangkali, dalam pengamatan orang-orang yang akrab dengan kesusastraan, apa yang telah dilakukan oleh para pujangga pedalangan terkesan sebagai sebentuk disorientasi waktu: menerapkan hal-hal yang terkait dengan waktu siang pada waktu malam yang sekilas absurd. Tapi saya kira terdapat sudut-pandang lain untuk memahami masalah disorientasi waktu pada kesusastraan pedalangan: pemecahan oposisi biner.
Seperti pada kecenderungan Derrida, untuk mengatasi oposisi biner, pemikir yang pernah tertangkap karena kasus mariyuana ini perlu terlebih dahulu menggoyahkan sisi dominan atau sisi yang mendominasi sisi lainnya yang akhirnya melahirkan hierarki dan bahkan penindasan. Laku Derrida ini terkenal dengan nama dekonstruksi yang sempat menggoncangkan sistem akademik Barat.
Sementara, para pujangga pedalangan, orang-orang yang meracik karya sastra yang kemudian digunakan untuk pagelaran wayang purwa, justru berlaku seperti halnya teologi al-Hallaj dimana sisi yang satu ternyata memuat sisi yang lainnya dan demikian pula sebaliknya. Apa yang disebut sebagai hulul, menurut al-Hallaj, adalah ketika unsur lahut pada manusia bertemu dengan unsur nasut pada Tuhan.
Dengan demikian, konsep kawula dan Gusti, yang secara sekilas merupakan sebentuk oposisi biner, tak benar-benar saling beroposisi. Saya kira problem teodise pun dapat terjawab dengan pola pikir al-Hallaj atau pola pikir kebudayaan Jawa semacam ini. Bukankah problem teodise muncul karena oposisi-oposisi biner, kalau Tuhan Maha Baik lantas kenapa ada kejahatan, misalnya?
Pada suluk pathet sanga dalam pagelaran wayang purwa, pemecahan oposisi biner semacam siang dan malam terdapat pada ungkapan “sang dwijawara mbrengengeng/ lir swaraning madubranta/ manungsung sarining kembang.” Bagaimana mungkin sesesap suasana malam yang terkadang memang diiringi oleh wanginya bunga dimetaforakan laiknya seekor kumbang yang tengah menyesap kembang dimana peristiwa ini lazim terjadi di waktu siang hari?
Sefantastis-fantastinya kesusastraan realisme magis dalam menggunakan metafora—seumpamanya lukisan kematian dalam novel Arundhati Roy, The God of Small Things, dimana kematian laiknya semut yang merayap di kaos kaki—masih menyisakan kesepemahaman nalar. Sebab, konon, kematian memang seperti laju darah yang merayap lembut dari ujung kaki hingga ke seberang tenggorokan. Adapun penggunaan peristiwa yang lazim terjadi di waktu siang hari pada konteks suasana malam hari yang seolah-olah senyap, “titi sonya tengah wengi,” dengan pengibaratan “sang dwijawara mbrengengeng/ lir swaraning madubranta/ manungsung sarining kembang,” jelas tak dapat terangkum oleh nalar.
Tapi ketika ketakmasukakalan perumpamaan itu dibaca sebagai sebuah pemecahan problem oposisi biner, yang pernah menjadi agenda utama teologi negatif, poststrukturalisme dan pascakolonialisme, yang tentu saja pernah melahirkan berbagai buku tebal yang fenomenal, ternyata oleh para pujangga pedalangan cukup diwakili dengan perumpamaan “sang dwijawara mbrengengeng/ lir swaraning madubranta/ manungsung sarining kembang.” Bahkan, tak tanggung-tanggung, panteisme dan monisme yang konon menurut P.J. Zoetmulder identik dengan kesusastraan Jawa terbantahkan dengan perumpamaan, di tengah malam yang senyap, sang pandita berdengung seolah suara kerinduan kumbang ketika menyesap sari-sarinya kembang.
Demikianlah saya kira panteisme (wihdatul wujud) dan monisme (ittihad) yang selama ini banyak disalahpahami, apalagi ketika ditautkan pada kesusastraan Jawa yang terkenal dengan sifatnya yang akomodatif terhadap segala corak spiritualitas. Pada perumpamaan “titi sonya tengah wengi” dan “sang dwijawara mbrengengeng/ lir swaraning madubranta/ manungsung sarining kembang,” kemanunggalan antara kawula dan Gusti hanyalah kemanunggalan pada tataran kahanan laiknya kemeriahan kumbang yang menyesap kembang di siang hari dan kemeriahan pandita yang berpuja di malam hari (Kahanan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).