Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Sepotong Subuh yang Teduh: Refleksi Hari Kemenangan

Mui

Subbuhun quddusun rabbul malaaikati war ruh

Subbuhun quddusun rabbul malaaikati war ruh

Subbuhun quddusun rabbuna wa rabbul malaikati war ruh

Konon, manusia itu terlahir suci atau serupa selembar kertas yang putih lesih dimana kemudian kahanan ikut mewarnainya yang akhirnya menjadikannya abu-abu atau bahkan hitam legam. Dalam kacamata Karl Marx, kahanan itu adalah masyarakat. Sementara dalam kacamata poststrukturalisme kahanan itu adalah bahasa. Tapi bagaimana kemudian menjumbuhkan teori konstruktivisme sosial itu dengan ilmu genetika dimana ternyata lewat gen apa yang pernah disandang para leluhur kita ikut menurun termasuk dalam hal ini adalah informasi?

Dalam spiritualitas, entah yang berbasis agama maupun budaya, ternyata kerinduan pada sesuatu yang purba, atau kerap diungkapkan dengan “surga yang hilang,” merupakan hal yang bersifat innate serupa bayi yang secara instingtif mencari-cari puting susu ibunya. Perasaan akan surga yang hilang ini secara agama dan kebudayaan tercermin pada perasaan yang mencuat di saat momen idul fitri tiba.

Hommy” adalah ekspresi yang barangkali dapat menggambarkan perasaan kita di saat apa yang dalam bahasa agama sering diungkapkan dengan istilah “hari kemenangan” itu tiba. Apalagi di pedesaan, berbagai praktik kultural dan suasana yang melingkupinya sangat terasa. Kita seperti digiring pada kesilaman yang terkadang begitu manis—meskipun, barangkali, kesilaman itu terasa pahit ketika dialami.

Baca juga:  Hikayat Hari

Sejak sore hari suasana megengan sudah menghadirkan sepotong kesilaman yang tak lekang dalam ingatan. Para ibu-ibu mempersiapkan ambeng atau hidangan sebagai sebentuk syukuran yang akan digelar secara bersama di masjid ataupun langgar. Para lelaki berlalu-lalang untuk pergi ke makam keluarga dan leluhurnya untuk membersihkannya dari ilalang. Dan seusai berbuka puasa untuk terakhir kalinya, takbir pun dikumandangkan yang menambah suasananya menjadi lebih regeng. Setelah isya’, tahlilan dilanggamkan dalam barisan sebagai sebentuk puji syukur pada Tuhan melalui berbagai wasilahnya, orang-orang sholeh dan para leluhur. Di sinilah sejarah sebagai sebentuk laku atau dalam ilmu pedalangan disebut sebagai “mahyang” mendapatkan momentumnya (Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang, Heru Harjo Hutomo, CV. Kekata Group, Surakarta, 2020).

Tatkala subuh berlabuh kesilaman menjelang lebaran itu seakan menyembul dengan begitu kongkritnya. Pada titik inilah seolah-olah ungkapan latin “mysterium tremendum et fascinosum” juga terbentuk dengan begitu dekatnya. Di saat gelap belum betul-betul lenyap dan iringan takbir berkumandang di toa-toa masjid dan langgar, belasan atau bahkan puluhan orang beringsut ke makam dengan menenteng air dan kembang boreh, dengan sesekali menaburkan kembang itu di perempatan-perempatan jalan, berharap orang-orang yang melewatinya akan membawanya pada keluarga atau leluhurnya yang berada di tempat yang jauh dan tak dapat digayuh. Mereka berziarah, bersejarah dan menambatkan kerinduannya pada para leluhurnya. Makam di saat-saat itu seolah menjadi terminal bagi hilir-mudik kenangan dan harapan pada yang fana sekaligus yang baka. Dengan makam orang menjadi tahu betapa fananya kehidupan ini. Dan dengan mengunjungi makam pula orang menjadi tahu betapa bakanya hal-hal yang fana itu.

Baca juga:  Marxisme dan Wayang Purwa

Saya tak tahu pasti awal-mula al-Ghazali mewariskan wiridan yang mengagungkan waktu subuh dalam Ihya’-nya yang terkenal itu dengan suasana subuh yang berlabuh di kala lebaran. Yang jelas, apa yang digambarkan dalam wiridan itu adalah juga suasana yang serasa dengan apa yang diungkapkan dengan istilah “mysterium tremendum et fascinosum.” Inikah yang dimaksud sebagai surga yang hilang itu, sepotong suasana yang terbenam dan dibenamkan oleh rutinitas harian dan terwariskan melalui berbagai perlambang?

Lewat penelitiannya selama puluhan tahun, Prof. Santos merujuk surga yang hilang dalam kitab-kitab suci itu sebagai Atlantis yang musnah ditelan oleh berbagai dekadensi moral, letupan gunung berapi dan tsunami. Memori-memori kolektif atasnya, catatnya, mengendapi berbagai bentuk tilaran bangunan-bangunan yang berbentuk piramida ataupun kerucut yang menyebar mulai dari Nusantara, Mesir, India hingga suku Maya di benua Amerika. Dahulu kala, di saat ritual megengan menjelang lebaran, orang-orang Nusantara menyajikan ambeng dengan bentuk piramid atau kerucut seperti halnya candi Borobudur. Di samping itu, para leluhur nusantara mewariskan pula selembar kayon yang berbentuk kerucut dan memainkannya pada sehelai kelir sebagai sebentuk cara mengingat kesilaman yang paling purba. Para sufi menamakannya sebagai “sajaratul yaqin.”

Ada pohon tegak menyendiri

Baca juga:  Menguak Keistimewaan Nabi Khidhir dan Semar: Sosok Pendheman Par Excellence

Pohon jagat bercabang empat

Berdaun mega-mega

Bersemi menaungi

Langitnya samudera berbintang

Cahaya dan kilat

Buahnya mentari dan rembulan

Cipratannya embun dan hujan

Berpuncak angkasa berdasar bumi

Berakar angin ribut

Menjejak Keprak, Heru Harjo Hutomo.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top