Kalamun nandhing sarira
tinemu beda malah nyulayani
benere dhewe ginunggung
tinampik liyaning lyan
beda kalyan tepa sarira puniku
ika kang den upayaa
tinemu samining sami
—pangkur kebhinekaan
Ada yang menarik dalam kisah pewayangan Jawa, perihal sabrang dan sabrangan. Lazimnya sabrang identik dengan sesuatu yang dapat dihakimi sebagai tak njawani atau ora njawa, yang berkonotasi jahat, buta tatakrama atau “belum dewasa.” Dengan kata lain, “Jawa” adalah idealisasi dari “kedewasaan” dan “kebaikan.”
Pandangan di atas berlaku dalam keseharian orang Jawa. Kerap seseorang yang kasar dan tegas, blak-blakan, akan secepat kilat dihakimi sebagai durung njawa (belum Jawa). Tentu penghakiman semacam ini tak berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah, hanya berdasarkan salah-kaprah soal kisah pewayangan Jawa di atas—salah-kaprah di hari ini identik dengan kebohongan yang terus-menerus direproduksi hingga menjadi sebuah “kebenaran”.
Kebanyakan orang yang mengklaim sebagai Jawa umumnya lupa pada karakter-karakter lain dalam pewayangan yang menunjukkan tabiat tak njawani: Bima, Anantasena, dan Wisanggeni. Toh, mereka tetap dikenal baik dan pinunjul: Bima yang mampu menemukan jatidirinya, serta Anantasena dan Wisanggeni yang memiliki kesaktian setara dewa. Inkonsisten, bukan?
Mereka bisa berdalih, Bima, Anantasena, dan Wisanggeni, masih trah witaradya—masih mewakili orang Jawa. Tapi bagaimana dengan Ekalaya, raja muda Paranggelung, yang notabene berasal dari sabrang? Memang, ia tak menampakkan “cacat moral” sebagaimana standar moral orang Jawa. Tapi tetap, ia bukanlah orang pilihan, ia tak mewakili Jawa, ia bukan orang Jawa. Ditampiklah ia untuk menjadi murid Resi Drona sebagaimana Pandhawa dan Kurawa yang njawani. Ekalaya sekedar liyan ndrayan, bukan pribumi, dan karenanya liyan sepenuhnya.
Tak berhak Ekalaya untuk nggaya (bertingkah) di tanah Jawa. Ia bukan siapa-siapa dan tak bakal menjadi siapa-siapa—tak peduli seberapa hebat dirinya. Soal ketampanan dan kemahiran memanah, tetap Arjuna-lah yang terpilih untuk dielu-elukan, atas nama: “kehendak orang Jawa.” Bahkan soal kesetiaan pada gurunya yang melebihi Arjuna, tetaplah “kehendak orang Jawa” untuk memilih Arjuna.
Dan atas nama “kehendak orang Jawa” yang selalu “dewasa” dan penuh “kebaikan,” maka dipotonglah salah satu jari Ekalaya oleh Drona atas rengekan Arjuna, agar ia tak menjadi batu sandungan sang panengah Pandhawa itu untuk menjadi lelananging jagad (lelakinya dunia). Bahkan atas nama “kehendak orang Jawa” yang “dewasa” dan penuh “kebaikan” itu, dimaafkanlah usaha sang Arjuna untuk melahap sang isteri tercinta, Anggraini, yang lebih memilih bunuh diri mengikuti suaminya yang binasa akibat pemotongan salah satu jarinya tersebut.
“Jawa,” kebengisan apa lagi yang dikandungnya? Apa yang disebut diskriminasi di hari ini ternyata telah terbentuk sejak dalam tata nilai yang dianut oleh sebuah masyarakat. Barangkali, tipikal pemimpin yang dikehendaki oleh “orang Jawa” yang “dewasa” dan penuh “kebaikan” itu hanyalah Soeharto yang mampu memperagakannya.
Berbicara “Jawa” pada akhirnya adalah berbicara satu bentuk tafsir atas “Jawa” yang dalam kenyataan sosiologisnya kompleks dan penuh dengan inkonsistensi. Sebagai orang kelahiran “Jawa” tak bijak rasanya saya melangkah lebih jauh ke Madura atau Makasar untuk sekedar mengkritik diskriminasi kultural-politis di atas—yang ternyata hanyalah warisan dari pandangan yang salah-kaprah. Saya jumput dari khazanah budaya “Jawa” sendiri, seperti yang kemudian saya gubah dalam se-pupuh tembang pangkur di atas.
seandainya membandingkan diri
akan menemukan perbedaan yang memecah-belah
kebenaran sendiri diagungkan
kebhinekaan ditampik
beda dengan tenggang-rasa
persatuan yang diupayakan
teranyamlah kebersamaan
Ada dua bentuk penyikapan terhadap perbedaan ataupun kebhinekaan: nandhing sarira dan tepa sarira. Yang pertama adalah perbandingan, yang berkaitan dengan logika oposisi biner “lebih” dan “kurang” di mana secara otomatis relasi yang terbentuk bersifat hierarkis, satu sisi akan mendominasi sisi lainnya.
Pertemuan antara Arjuna dan Ekalaya adalah sebentuk pertemuan nandhing sarira: Arjuna yang “Jawa” dan Ekalaya yang sabrang. Logika bertanding adalah logika menang dan kalah. Sebab, nilai dari sebuah pertandingan adalah apabila ada yang menang atau kalah. Tentu, tak ada yang namanya itikad baik dalam logika pertandingan.
Apapun alasannya, kelicikan memang sudah menjadi tabiat dari logika pertandingan. Dan tentu saja Arjuna-lah yang “dikehendaki” menjadi sang pemenang dalam lakon wayang Palguna-Palgunadi di atas. Relasi yang seandainya dapat terbentuk pun adalah relasi yang hierarkis dan perih: pemotongan salah satu jari Ekalaya dan upaya pemerkosaan kepada isterinya, Anggraini.
Adapun yang kedua, tepa sarira, berkaitan dengan tenggang-rasa, toleransi (tasamuh). Bentuk lain dari penyikapan terhadap liyan jenis ini bukanlah sebentuk logika pertandingan, tapi logika tepung-dunung tambuh-wanuh, yang sepadan dengan li ta’arafu sebagaimana yang termaktub dalam surat al-Hujarat: 13. Relasi yang pada akhirnya terbentuk pun bukanlah relasi yang hierarkis sebagaimana nandhing sarira, tapi relasi yang penuh dengan kesetaraan.
Celakanya, kembali ke kisah pewayangan, justru Duryudana dan Karna—sebagai kubu yang “dikehendaki” rendah bin bejat—yang menunjukkan relasi yang penuh kesetaraan. Dan “Jawa” pada akhirnya adalah racun sekaligus tonikum.