Sedang Membaca
Makna Relasi Tuhan dan Insan dalam Sebilah Pusaka
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Makna Relasi Tuhan dan Insan dalam Sebilah Pusaka

Dalam khazanah budaya Jawa terdapat beberapa syarat kelengkapan seorang lelaki Jawa: garwa (isteri), wisma (rumah), turangga (kuda), kukila (burung), dan curiga (keris). Syarat kelengkapan seorang lelaki Jawa ini tentu saja berhubungan dengan apa yang disebut sebagai kelangenan: sesuatu yang dianggap berharga.

Perempuan dalam khazanah budaya Jawa kerap dianggap sebagai bagian dari kelangenan. Karena itu terdapat beberapa karakteristik perempuan beserta kualitas-kualitas yang dimilikinya. Hal ini disebut sebagai katuranggan. Misalnya,  perempuan itu berkulit hitam manis diyakini bersifat judes dan tega terhadap suaminya sendiri. Jika kulitnya kuning langsat, ia seorang pemboros. Tidak semua citra itu buruk, ada juga sisi baiknya.

Katuranggan  juga melekat pada syarat-syarat kelengkapan lelaki lainnya. Semisal keris yang memiliki dhapur singobarong akan terasa cocok dikenakan oleh para pemimpin. Pun keris dhapur tilam yang konon dapat membawa ketenteraman, cocok bagi petani. Dalam hal ini, keris dapat menunjukkan status sosial seseorang.

Tapi saya tak akan membahas keris pada wilayah teknis semacam ini. Bagi saya, khazanah budaya Jawa klasik beserta pasemon-nya senantiasa menarik untuk ditelaah.

Secara jamak ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menimbang sebilah keris: sepuh-wutuh-tangguh. Sepuh berkaitan dengan kualitas dalam keris (saya tak akan mengartikannya sebagai perkiraan usia keris), wutuh dengan bentuk atau kondisi fisik keris yang sebaiknya tak cacat, dan tangguh berkaitan dengan perkiraan zaman keris itu dibuat.

Tentang tiga hal yang umumnya digunakan untuk menimbang sebilah keris ini saya kira tak ada parameter yang pasti. Seperti halnya keris dengan dhapur sengkelat, ada versi bahwa ia mesti memiliki luk 13. Sementara versi lain ia dapat pula sebilah keris dengan luk 11, seperti halnya sabuk inten yang tak ber-pamor (keleng).

Seandainya ber-dhapur naga, ia pun disebut sebagai keris nagasasra. Perbedaan versi ini merupakan kelumrahan dalam estetika Jawa klasik yang lebih menitikberatkan pada instrumen rasa untuk menimbang segala sesuatunya (Kisah Semar dan Syaikh Subakir di Belukar Tidar, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id/read/hs/kisah-semar-dan-syaikh-subakir-di-belukar-tidar-b220995p/). 

Tentang asal-usul keris ada satu versi yang mengatakan bahwa ia merupakan simbolisasi lingga dan yoni. Konon di peradaban pra-Islam, di mana lazimnya keris dari periode ini disebut sebagai keris kabuddhan, salah satu tosan aji ini merupakan salah satu piranti untuk melakukan pemujaan.

Baca juga:  Menikmati Arsitektur “Arwana” Masjid Hati Beriman Salatiga

Dalam mitologi klasik simbolisasi perpaduan lingga dan yoni adalah simbolisasi tentang kemakmuran. Maka dapat dikatakan bahwa fungsi utama keris pada periode awal adalah menjadi bagian dari pemujaan dan bukannya sebagai alat untuk berperang.

Legenda tentang bethok—yang konon merupakan evolusi awal bentuk keris—yang berfungsi sebagai keris tindhih atau keris yang dapat menetralisir atau meredam energi keris-keris brangasan era sesudahnya telah menjelaskan bahwa pada periode awal fungsi keris lebih bersifat simbolis-spiritual.

Dalam khazanah filsafat Jawa terdapat ungkapan curiga manjing warangka dan warangka manjing curiga, yang penyatuan kedua ungkapan itu disebut sebagai keris. Secara teknis ada dua cara untuk menghunus dan memasukkan bilah keris ke rangkanya di mana dua cara itu menyangkut pula perbedaan filosofinya.

Pertama, bilah keris dimasukkan ke dalam rangka. Secara filosofis, cara ini merupakan perlambang tentang apa yang dalam dunia tasawuf disebut sebagai peristiwa hulul. Maestro konsep hulul ini adalah seorang sufi-martir yang dieksekusi secara keji di Baghdad: Abu Abdullah Husain bin Mansur al-Hallaj.

Kedua, memasukkan rangka ke bilah kerisnya. Cara ini secara filosofis berkaitan pula dengan paham wihdatul wujud yang dalam dunia tasawuf dibabarkan oleh seorang filosof-sufi yang pernah dikafirkan oleh golongannya sendiri: Abu Abdullah Muhammad bin Ali bin Muhammad bin ‘Arabi al-Hatimi al-Ta’i.

Membersihkan pusaka

Baik al-Hallaj maupun Ibn ‘Arabi sebenarnya hanya ingin menjelaskan relasi antara Khalik dan makhluk di mana dalam khazanah budaya Jawa disebut sebagai Gusti dan kawula. Keduanya bersepakat bahwa kedua hal itu sebenarnya tak terceraikan. Artinya, ketika satu dan lainnya lepas atau dilepaskan, maka segala sesuatunya akan menjadi tak terpahami. Perbedaan di antara keduanya adalah pada bagaimana kemudian kedua hal itu terangkai—atau yang dalam bahasa mereka akrab disebut sebagai ittihad (manunggal).

Secara logis sesungguhnya para penganut Islam yang terlalu berorientasi syariah, tak memahami baik konsep hulul maupun wihdatul wujud hingga timbullah pengkafiran dan pembunuhan. Berbicara logika adalah berbicara tentang bagaimana sesuatu itu dapat dipahami. Seperti halnya filsafat organismenya Alfred North Whitehead yang andaikata satu unsur diceraikan akan runtuhlah kejelasan atau sistem logis jagad raya. Meski dikenal juga sebagai seorang matematikawan yang menopangkan hidupnya pada nalar semata, Whitehead tetap membawa Tuhan dalam filsafatnya.

Di sinilah kemudian timbul perdebatan klasik antara iman dan nalar. Pada filsafat organismenya Whitehead, orang mengenal yang namanya paham panenteisme yang merupakan tambal-sulam atas teisme dan panteisme. Teisme, sebagaimana yang diketahui, terlalu menekankan pada transendensi Tuhan hingga seolah Ia tampak sebagai sosok yang jauh dan tak berbelas-kasih. Sedangkan pantheisme justru lebih menekankan pada imanensi Tuhan hingga Ia tampak seperti halnya manusia (antropomorfisme).

Baca juga:  Kiai Masjkur, Sebelum Berjuang di Medan Perang, Menampa Dirinya dengan Ilmu

Bentuk ekstrim dari teisme tersebut sangat kentara dalam ekspresi-ekspresi radikalisme keagamaan. Pada orang-orang radikal siapa pun yang nalarnya normal akan merasakan representasi Tuhan yang maha kejam. Secara teologis kadar keagunganNya terlalu dimutlakkan hingga menutupi kadar keindahanNya. Tuhan tampak seperti seorang hakim yang mesti melihat segala sesuatunya secara hitam-putih.

Di lapangan, pemutlakan aspek keagungan Tuhan ini sangat tampak ketika orang-orang dengan mudahnya memvonis orang lainnya sebagai kafir dan berbagai aksi intoleran serta terorisme yang dilambari dengan pekik takbir. Radikalisme dan terorisme tak ayal lagi adalah konsekuensi logis dari paham teisme yang ekstrim tersebut.

Tapi panteisme memiliki pula sisi ekstrimnya. Aspek keindahan Tuhan, yang secara asosiatif berkaitan dengan kelembutan, lebih dititikberatkan hingga menutupi kadar keagunganNya. Orang akan merasakan representasi Tuhan yang permisif di sini hingga seakan, karena permisifitas itu, Ia pun dapat diperlakukan secara sekenanya dan seenaknya.

Secara psikologis, representasi Tuhan semacam ini akan menggiring manusia pada keengganan untuk merasa bersalah, tanggung-jawab, dan tumbuhnya rasa malu hingga ia akan selalu mengulangi kesalahan yang sama.

Tak sebagaimana yang dibayangkan, seorang Jacques Derrida sekali pun, ketika mendekonstruksi konsep pemaafan (forgiveness), menyiratkan bahwa pemaafan itu adalah sesuatu yang mustahil. Sebab sudah dengan sendirinya pemaafan itu tak pernah berlangsung tanpa syarat.

Secara umum orang menganggap bahwa konsep pemaafan dan tindakan memberi maaf itu dapat terjadi dengan mudahnya dan seolah terjadi tanpa syarat. Padahal dalam praktiknya selalu saja pemaafan itu menuntut adanya sebentuk kesanggupan untuk tak mengulangi kesalahan.

Maka dapat dikatakan bahwa keikhlasan dalam memberi maaf itu tak pernah ada. Ia selalu saja menuntut adanya syarat. Andaikata pemaafan sebagaimana yang diyakini banyak orang itu ada, ia adalah sesuatu yang outside of the text. Dan tentang segala sesuatu yang beyond atau outside of the text, Derrida hanya memberi satu sikap: “différance yang secara sederhana memuat pengertian membeda, memilah, dan menunda.

Baca juga:  Inilah Sejarah Muhammadiyah dalam Keindonesiaan

Dengan melihat keris, baik dari perspektif curiga manjing warangka (hulul) maupun warangka manjing curiga (wihdatul wujud), maka dapat dikatakan bahwa baik al-Hallaj maupun Ibn ‘Arabi bukanlah penganut teisme maupun panteisme, tapi panenteisme. Banyak orang mengatakan bahwa al-Hallaj terpengaruh oleh konsepsi Hindu tentang reinkarnasi (penitisan) dan konsepsi Katolik tentang Yesus sebagai Tuhan yang menjelma menjadi manusia.

Tapi andaikata tinjauan ini benar, bagaimana lalu memahami interpretasi al-Hallaj tentang iblis sebagai penganut tauhid par excellence, di mana hal ini menunjukkan transendensi mutlak Tuhan yang enggan bagi iblis untuk menyembah Adam laiknya para malaikat? Juga tentang relasi antara dimensi lahut dan nasut pada diri manusia?

Demikian pula Ibn Arabi. Andaikata sufi asal Spanyol ini dianggap sebagai orang yang memutlakkan imanensi Tuhan seperti halnya al-Hallaj, bagaimana kemudian memaknai metafora tentang lautan dan ombaknya yang ternyata tak hanya lautan yang berombak, melainkan juga rambut?

Artinya, ittihad—baik melalui jalur hulul maupun wihdatul wujud—tak pernah meletakkan Tuhan secara sepadan dengan insan. Kesatuan di antara keduanya bukanlah kesatuan yang meleburkan satu sama lain sehingga identitas masing-masing tak lagi dikenali. Memang benar bahwa lautan mestilah berombak, tapi akan sesat pikir ketika menyimpulkan bahwa hanya lautanlah yang berombak.

Dalam kisah pewayangan orang mengenal yang namanya Kresna dan Bima. Kresna yang dipercaya sebagai titisan Wisnu adalah lambang peristiwa hulul (curiga manjing warangka). Sedangkan Bima yang mampu bertemu dan manjing ke Dewa Ruci adalah lambang wihdatul wujud (warangka manjing curiga).

Pada kedua peristiwa itu memang benar bahwa Kresna tak dapat diceraikan dengan Wisnu atau Bima dengan Dewa Ruci. Tapi tak selamanya bahwa baik Kresna maupun Bima identik dengan Wisnu dan Dewa Ruci. Sebab, ternyata tak hanya Kresna yang merupakan titisan Wisnu, baik Rama maupun Buddha juga dipercaya sebagai titisannya.

Kresna pun, pada akhirnya, tak pula bisa mengelak dari karmapala laiknya para dewa, ia mati dalam kesepian setelah wangsanya dilanda perang saudara dan kerajaannya tenggelam ke dalam lautan.

Demikianlah keris yang merupakan perpaduan antara curiga dan warangka, pasemon tentang relasi antara Tuhan dan insan, Gusti dan kawula, yang karenanya, barangkali, layak disebut sebagai pusaka. (SI)  

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top