Sedang Membaca
Imam Al-Ghazali: Esensi Cinta, Klasifikasi, dan Yang Berhak Menerimanya
Sunnatullah
Penulis Kolom

Santri dan pengajar di Pondok Pesantren Al Hikmah Bangkalan.

Imam Al-Ghazali: Esensi Cinta, Klasifikasi, dan Yang Berhak Menerimanya

Sufi menari

Berbicara tentang cinta, artinya berbicara tentang sesuatu yang tidak akan pernah habis untuk dibahas. Bahkan, sejak Nabi Adam ‘alaihissalam ada, sampai kelak hari kiamat datang, pembahasan tentangnya juga tidak akan selesai. Setiap generasi akan mempunyai bahasan menarik dan pelik tentangnya. Tidak nampak adanya, namun sangat membekas dampaknya, tak terlihat bentuknya, namun nyata adanya.

Islam sebagai agama paripurna, juga ikut andil dalam membahas topik yang satu ini, Islam juga mengatur tentang cara bercinta, dan siapa yang memang layak untuk dicinta. Bahkan, tidak jarang kita temukan tentang jargon, “Islam sebagai agama cinta.”

Juga banyak manusia bisa menemukan jati dirinya dan bangkit akhirnya, bahkan menemukan bakat yang selamanya terpendam dalam dirinya disebabkan cinta, meski juga tidak sedikit, dengan cinta seseorang justru kehilangan akal sehat dan melakukan setiap pekerjaan-pekerjaan tidak manusiawi atas nama cinta. Seperti apakah ketentuannya? Mari baca pelan-pelan tulisan ini.

Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dalam kitab monumentalnya, Ihya’ Ulumiddin, menjelaskan satu bab secara khusus tentang cinta (mahabbah). Mulai dari dalil-dalil syariat Islam tentang cinta, hakikat, sebab, sampai yang berhak mendapatkan cinta. Mari kita mulai dari pembahasan yang pertama.

Dalam Al-Qur’an, tidak sedikit ditemukan berbagai ayat yang berbicara tentang cinta, begitu pun dengan hadist Rasulullah e, bahkan keimanan paling sempurna adalah iman yang dilandasi dengan cinta. Tanpa cinta, keimanan hanyalah sebatas nama belaka tanpa makna. Salah satu bukti bahwa Islam juga ikut andil dalam membahas cinta, yaitu dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:

وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبّاً للَّهِ

Artinya, “Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS Al-Baqarah: 165)

Dalam hadist Rasulullah e juga tidak kalah menarik ketika membahanya, salah satu hadistnya, yaitu:

يا رسول الله ما الإيمان قال أن يكون الله ورسوله أحب إليك مما سواهما

Artinya, “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud iman? Rasulullah menjawab, menjadikan Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari selain keduanya.” (HR Ahmad)

Dengan cinta, seseorang akan menjadi istimewa di sisi penciptanya. Tanpa cinta, ia tidak lebih sekadar seorang hamba yang tidak mempunyai nilai lebih di sisi tuhannya. Imam al-Ghazali menulis kalam hikmah yang disampaikan Syekh Sari as-Saqathi, salah satu tokoh sufi pertama di kota Baghdad, bunyi kalam hikmahnya, yaitu:

Baca juga:  Ngaji Rumi: Sastra Qurani dalam Syair-Syair Masnawi

تدعى الأمم يوم القيامة بأنبيائها عليهم السلام فيقال يا أمة موسى ويا أمة عيسى ويا أمة محمد غير المحبين لله تعالى فانهم ينادون يا أولياء الله هلموا إلى الله سبحانه فتكاد قلوبهم تنخلع فرحا

Artinya, “Kelak di hari qiamat, semua umat akan dipanggil (menghadap Allah) sesuai dengan nama nabi mereka, maka dikatakan, ‘wahai umat Nabi Musa, wahai umat Nabi Isa, wahai umat Nabi Muhammad.’ Kecuali para pecinta, mereka akan dipanggil, ‘wahai kekasih Allah, kemarilah menghadap Allah SWT,’ maka seketika hati mereka hampir terceraiberaikan karena bahagia (dengan panggilan itu).” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, [Bairut: Darul Ma’rifah 2010], juz 4, h. 295).

Melihat penjelasan di atas, tentunya cinta menjadi salah satu pokok penting dalam Islam. Dengannya, seorang akan mempunyai nilai keimanan lebih di sisi tuhannya. Seolah, cinta menjadi sebuah kewajiban secara tersirat yang hanya dirasakan oleh orang-orang yang sudah mempunyai keimanan secara mantap. Bagaimana tidak, dengan cinta, nilai ibadah dan ketaatan sesorang akan semakin sempurna, sedangkan ketaatan merupakan salah satu cabang dari cinta itu sendiri.

Tentu, untuk bisa melakukan ketaatan secara sempurna harus melalui cinta terlebih dahulu. Cukup sebagai bukti bahwa cinta adalah segalanya ialah adanya ayat yang telah disebutkan di atas, bahwa orang-orang beriman akan mempunyai cinta luar biasa kepada tuhannya. Lantas apakah yang dimaksud cinta?

Hakikat Cinta dan Klasifikasinya

Menurut Imam al-Ghazali, pokok penting yang perlu dipahami sebelum membahas hakikat cinta lebih dalam adalah pengetahuan dan penemuannya. Menurutnya, cinta tidak akan tergambar, atau minimal tidak akan ada dalam sosok seseorang jika ia tidak mengetahui pada sosok yang ingin dicinta. Oleh karenanya, semua benda padat dan benda mati tidak bisa dikatakan sebagai pecinta, karena keduanya tidak memiliki indra untuk menemukan apa pun yang layak untuk dicinta.

Pengetahuan dan penemuan menjadi sebuah pionir untuk menemukan cinta secara hakiki, tentu nilai cinta tidak akan sama antara yang satu dengan lainnya, semua itu tergantung seberapa besar pengetahuan dan penemuannya dalam pengembaraannya menemukan hakikat cinta dan kepada siapa akan memberikan cinta. Maka rumusnya menurut al-Ghazali, setiap sesuatu yang ketika menemukannya merasa nyaman dan tenang maka ia akan dicinta (mahbub), pun setiap sesuatu ketika menemukannya merasa tersakiti dan bingung maka ia akan dibenci (mabghud), dan setiap sesuatu yang sama sekali tidak berdampak bahagia dan luka, tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang dicinta maupun dibenci. Oleh karenanya, devinisi yang ditawarkan al-Ghazali dalam menyikapi cinta, yaitu:

Baca juga:  Tiga Dimensi Sufisme Menurut Jalaluddin Rumi

الحب عبارة عن ميل الطبع إلى الشيء الملذ

Artinya, “Cinta merupakan sebuah ungkapan dari ketertarikan watak terhadap sesuatu yang dianggap nyaman.” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, 2010, juz 4, h. 296).

Juga penting dipahami ialah, jika kadar cinta sesuai dengan pengetahuan dan penemuannya, tentu akan menjadikan nilai cinta juga berbeda. Misalnya, mata akan senang dengan cara melihat sesuatu yang indah, kuping akan senang ketika mendengar lagu-lagu yang baik, dan irama yang tersusun nan rapi, hidung akan senang ketika mencium bau-bau yang harum, indra perasa akan senang ketika memakan setiap makanan yang enak dan nyaman. Begitulah rumus cinta yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali, beliau seolah hendak mengatakan bahwa cinta itu universal, tidak selalu tentang materi, akan tetapi nilai cinta sesuai dengan posisi masing-masing.

Imam al-Ghazali, memposisikan cinta sebagai sesuatu yang pragmatis, tidak heran jika para pecinta membahasakan cinta sebagai sesuatu yang datang tanpa diundang. Al-Ghazali menyatakan:

ان حب القلب للمحسن اضطرارا لا يستطاع دفعه وهو جبلة وفطرة لا سبيل إلى تغييرها

Artinya, “Sesungguhnya kecintaan hati pada sesuatu yang baik, merupakan sesuatu yang mendesak, tidak bisa ditolak. Ia merupakan watak dan naluri yang tidak ditemukan jalan untuk merubahnya.” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, 2010, juz 4, h. 298).

Imam al-Ghazali membagi cinta menjadi beberapa bagian, yaitu, pertama, cinta seseorang pada dirinya, kesempurnaan dan keberadaannya. Kedua, cinta pada setiap orang yang berbuat baik kepadanya. Ketiga, cinta pada orang-orang yang selalu berbuat baik pada orang lain, meski kebaikan itu tidak diperbuat untuknya. Keempat, cinta pada setiap sesuatu secara materi, seperti kecantikan, tampan, etika baik, ucapan lemah lembut dan lainnya, baik keduanya dinilai secara nampak atau secara bathin. Kelima, kecintaan yang disebabkan satu frekuensi yang terjalin dalam dirinya masing-masing.

Baca juga:  Guru Mursyid (2): Ciri-Ciri Guru Mursyid Sejati

5 pembagian di atas, merupakan beberapa sebab-sebab cinta yang kerap kali terjadi pada diri manusia menurut al-Ghazali, tentu jika 5 sebab di atas bisa dimiliki oleh seseorang, maka secara pasti akan menjadi orang yang sangat dicinta. Contohnya, jika seorang mempunyai anak dengan wajah tampan/cantik, baik etikanya, sempurna ilmunya, baik perangainya, berbuat baik pada orang lain, dan berlaku baik pada kedua orang tuanya, sudah tentu ia akan menjadi anak yang sangat dicinta oleh kedua orang tuanya.

Yang Berhak Untuk Dicinta

Sebagaimana di sebutkan pada ayat dan hadist di atas, bahwa pokok penting dalam Islam di antaranya adalah cinta, dengan cinta seseorang akan lebih semangat dan ikhlas untuk melakukan setiap sesuatu yang disenangi oleh yang dicinta. Dengannya pula, ia tidak lagi bertanya mengapa dan kenapa, karena semuanya dilakukan atas dasar cinta yang sudah melebihi segalanya. Oleh karenanya, seharusnya cinta diberikan pada yang memang berhak mendapatkan cinta dan layak untuk dicinta. Siapakah dia? Mari baca penjelasan selanjutnya.

Menurut Imam al-Ghazali, yang berhak untuk dicinta tidak ada kecuali Allah SWT. Jika ada seorang hamba meletakkan cintanya pada selain Allah, menunjukkan bahwa semua itu disebabkan kebodohan dan sempitnya pengetahuan pada Allah SWT. Jika ia benar-benar mengetahui sifat-sifat Allah, tentu ia tidak akan memperdulikan manusia, dan fokus pada Dzat Yang Mahakuasa.

Mencintai Allah SWT, artinya juga harus mencintai Rasulullah Saw, ulama, orang-orang taqwa, dan para kekasih Allah. Kenapa demikian? Analoginya menurut al-Ghazali begini,

لأن محبوب المحبوب محبوب ورسول المحبوب محبوب ومحب المحبوب محبوب

Artinya, “Karena mencintai yang dicintai kekasih merupakan bagian dari mencintai kekasih, utusan kekasih berarti dicintai, mencintai yang dicintai berarti mencintai kekasih (Allah).” (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, 2010, juz 4, h. 301).

Melihat analogi di atas, akan kita temukan bahwa tidak ada kekasih pada hakikatnya kecuali Allah bunga, serta tidak ada yang berhak untuk dicinta selain-Nya, serta yang paling layak dan paling sempurna memenuhi 5 kriteria di atas hanyalah Allah semata, bukan yang lainnya, selain Allah mungkin hanya memiliki salah satunya, sedangkan Allah mempunyai keseluruhannya. Tentu, jika masih memberikan cinta pada selain Allah, disebabkan dangkalnya pengetahuan kepada-Nya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top