Sedang Membaca
“Dhewek” dan Teologi Ketakmanjaan Jawa
Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

“Dhewek” dan Teologi Ketakmanjaan Jawa

Dalam kebudayaan Jawa terdapat apa yang saya sebut sebagai personifikasi dari sesuatu yang pada dasarnya impersonal. Andaikata di masa Yunani purba logos hadir untuk menggantikan peran mitos, sebagaimana kisah lahirnya ilmu filsafat yang tak puas atas penjelasan mitologis, di Jawa sejak awal-mula tak terjadi adanya diskontinuitas semacam itu.

Bukan hanya karena bahwa di Jawa aktivitas berpikir tak ada kaitannya dengan logika, yang sejatinya merupakan singkatan dari ilmu tentang proposisi (logike episteme), tapi bahwa kebijaksaan hidup orang-orang Jawa di masa silam bersandar pada cara berpikir antroposentrik dengan manusia menjadi pusat orientasinya.

Bagaimana pun segala sesuatu yang tergelar di jagat raya pada akhirnya akan berpulang pada manusia itu sendiri. Di sinilah apa yang lazim disebut sebagai kawruh kamanungsan merupakan pengetahuan eksperiental yang tak sekedar berisikan hakikat manusia, tapi juga ketuhanan maupun alam semesta.

Saya mengistilahkan orientasi cara berpikir seperti ini sebagai sebentuk antropomorfisme-transendental untuk menghindari konotasi negatif antropomorfisme selama ini.

Karena hal itu, banyak pengkaji budaya Jawa yang kemudian menilainya sebagai sebentuk panteisme atau bahkan sebentuk ateisme, seperti penilaian seorang jurnalis sekaligus spiritualis Jawa kenamaan, Bratakesawa, atas Serat Bayanulah yang ditulis oleh R.P. Natarata atau yang tenar dengan nama pena Sasrawijaya.

Padahal, sendainya menyimak cara berpikir Sasrawijayan, ia hanya menghadirkan diskursus ketuhanan dengan pendekatan via negativa (Natarata: Kembara Sang Sufi Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id).

Dalam teologi sufistik apa yang dilakukan oleh Sasrawijaya lazim didasarkan pada prinsip yang digaungkan oleh seorang sufi, Abdul Karim al-Jilli: “Sing sapa gambuh marang pribadine bakal gambuh marang Gustine (Al-insanu sirri wa ana sirruhu).” Inilah yang saya kira juga menjadi dasar dari tradisi ruwatan dengan cara menggelar lakon wayang Murwakala.

Konsep ruwatan pada dasarnya berangkat dari prinsip etis bahwa kesialan dan keberuntungan seorang manusia tergantung pada dirinya sendiri. Sebab, konsep lakon Murwakala pada dasarnya adalah konsep waktu yang dipahami oleh orang Jawa yang dipersonalisasikan oleh sosok Bathara Kala.

Baca juga:  Menyelami Dering Keheningan

Waktu tersebut selalu terkait dengan dunia madya atau alam manusia. Karena itulah dalam filosofi sangkan-paraning dumadi dunia dan kehidupannya adalah tempat dimana awal dan akhirnya mesti diketahui agar tak senantiasa terombang-ambing oleh keadaan yang memang telah menjadi pembawaannya.

Sebagaimana dalam lakon wayang Sastrajendra yang mengisahkan seluk-beluk dunia dan kehidupannya yang lazim disebut sebagai kalacakra, lakon Murwakala pun sebenarnya tak jauh beda dalam menggambarkan manusia yang terjerat oleh waktu dengan indikasi seperti tertimpa kesialan dan keberuntungan, kesusahan dan kebahagiaan (Kalacakra dan Penghayatan Waktu Orang Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Orang yang nandhang sukerta pada dasarnya adalah orang yang telah terjerat atau dimakan oleh sang waktu sehingga kehidupannya serasa penuh kesialan, kegagalan ataupun serba berkesulitan. Dengan menggelar ruwatan mereka berharap bahwa segala sukerta tersebut—kesrimpet, kesandhung, kepalu, ketutu—akan luwar atau terurai.

Dan saya kira kunci dalam mengurai segala sukerta pada akhirnya adalah berpulang pada yang bersangkutan sendiri. Prosesi ruwatan dengan menggelar lakon wayang Murwakala dalam hal ini hanyalah semacam pembuka atau pemetaan konsep waktu dan kehidupan yang bersifat semu yang diharapkan para penandang sukerta akan memperbarui konsepsinya tentang waktu dan kehidupannya seusai prosesi itu.

Itulah kenapa rajah kalacakra dikisahkan tertoreh di tubuh Bathara Kala dimana ia sering digambarkan pada senjata cakra yang merupakan pusaka khas para titisan Dewa Wisnu, sang penyelaras kehidupan.

Baca juga:  Sejarah Kejayaan Islam, Pesantren, dan Teknologi

Dengan kata lain, para penandang sukerta merupakan orang-orang yang konsepsi waktu dan kehidupannya sedang tak selaras. Rajah kalacakra sendiri berjumlah 16 gatra yang tertoreh di lingkaran yang bersudut 8 yang merupakan representasi penjuru mata angin yang dalam kawruh kamanungsan dilambangkan dengan istilah sedulur 8: 4 sedulur njaba dan 4 sedulur njero.

Kepercayaan akan kekuatan diri sendiri tak urung akan melahirkan filosofi Jawa tentang “pribadi.” Dalam dialek Banyumasan terdapat istilah “dhewek” yang berarti sendiri. Berbeda dengan pandangan umum atas kebudayaan Jawa yang menyatakannya bercirikan komunalitas yang kental. Bahkan untuk menyebut istilah “aku” pun mesti serendah tanah, dengan istilah “kula” atau “kawula” yang secara harfiah berarti hamba. Istilah “dhewek” atau “pribadi” merepresentasikan corak pandangan lainnya atas manusia.

Dengan kata lain, kebudayaan Jawa mengenal pula dua macam pandangan spiritual atas manusia yang dalam khazanah sufisme dikenal sebagai pandangan ahlus sunah (tasawuf akhlaqi) dan wujudiyah (tasawuf filsafati).

Tak jamak diketahui bahwa kebudayaan Jawa pun tak semata mengenal komunalisme yang seolah meleburkan individualisme dimana ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia lainnya dianggap mencirikan kebudayaannya.

Budaya gotong-royong merupakan salah satu manifestasi pandangan semacam itu. Tapi, ternyata tak demikian adanya. Saya menemukan ekspresi pandangan lain yang mencirikan individualisme—meskipun pada tataran spiritual.

Istilah “dhewek,” yang berkembang pada corak masyarakat bawah dan jauh dari keraton, merupakan sebentuk kultur tandingan atas basa-basi kerendahan yang berkembang dari keraton. Sebab, orang-orang Banyumasan ketika memakai istilah “dhewek” ternyata secara spiritual sepadan dengan istilah “inyong” yang berarti “ingsun” ataupun “ingwang.”

Baca juga:  Posisi NU dan Muhammadiyah di Era Priayisasi Islam

Barangkali, dari sudut pandang sufisme yang bercorak ahlus sunah, pandangan demikian secara sekilas menandakan sebentuk kesombongan karena tak menempatkan Tuhan di atas segala-galanya.

Padahal jelas, melalui jalan Ibn ‘Arabi (yang menurun ke Syekh Abdulrauf kemudian Syekh Abdul Muhyi), tujuan diciptakannya manusia, pertama-tama, adalah untuk mengenal dan mengetahuinya—yang berbeda dengan jalan Syekh Abdul Qadir al-Jilani dan Jalaluddin Rumi (Nusantara dan Batas Imajinasi Sebuah Bangsa, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Bahwa pada dasarnya tak ada satu pun mata yang mampu melihat matahari secara langsung. Manusia hanya dapat melihatnya pada bayangannya di telaga atau pada pasak yang berpernis halus sebagaimana yang pernah saya saksikan dalam suasana keseharian. Satu pasak di rumah saya memiliki dua macam bayangan: bayangan putih yang merupakan pantulan sinar lampu sekaligus bayangan hitam yang terjadi karena sinar lampu terhalang oleh pasak.

Saya kira demikianlah kita mesti memahami filosofi “dhewek” atau “pribadi” yang merupakan antitesa dari komunalisme Jawa yang sebagian sampai harus meleburkan individualitas, bahkan pun terkait dengan spiritualitas dan ketuhanan.

Terkait dengan keyakinan akan kekuatan diri sendiri, khususnya dalam hal nandhang sukerta, masing-masing orang telah kadunungan dua hal yang saling kontras: bungah-susah, beja-cilaka, suwarga-neraka.

Bagaimana kita tahu bahwa Tuhan ridha pada kita sebagaimana yang menjadi harapan kita sehari-hari dalam hidup dan beragama? Apakah yang menjadi ukurannya?

Pada akhirnya di situlah letak misteri istilah “dhewek” dalam dialek Banyumasan yang dapat mengimbangi kejenakaan, kegelisahan, kecerdasan, dan kemanjaan seorang Abu Nawas dalam Al-I’tiraaf. (SI)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top