Heru Harjo Hutomo
Penulis Kolom

Penulis lepas. Mengembangkan cross-cultural journalism, menulis, menggambar, dan bermusik

Kalacakra dan Penghayatan Waktu Orang Jawa

Kembang Tepus, 60x100 Cm, Kapur Di Atas Papan, Heru Harjo Hutomo, 2020.

Di kerajaan Alengka terdapat seorang putri yang mau menikah hanya dengan orang yang sanggup dan bisa mewedarkan sastrajendra hayuningrat pangruwating diyu. Syahdan, Prabu Danaraja dari kerajaan Lokapala meminta ayahnya, Begawan Rsi Wisrawa, untuk mengikuti sayembara. Penyelenggara sayembara adalah Prabu Sumali, ayah Dewi Sukesi, perempuan pinunjul yang tergila-gila pada misteri kehidupan.

Konon, barang siapa mendapatkan wejangan perihal sastrajendra, seandainya jin akan menjadi manusia dan manusia akan menjadi dewa. Sastrajendra merupakan tembung garba: sastra + harja + endra, pengetahuan tentang keselamatan dan keindahan. Adapun hayuningrat pangruwating diyu merupakan ketertiban dunia dan penyembuh segala mala.

Rsi Wisrawa, yang sedang mengemban amanat anaknya, berupaya memenuhi syarat Dewi Sukesi. Sebagaimana lelaki pada umumnya, berada berdua di ruang sunyi membuat Wisrawa tak kuasa menahan gelegak kejantanannya. Maklum, dalam kultur kasepuhan Jawa, proses pewedaran misteri kehidupan tak boleh diungkapkan sembarangan.

Melihat perempuan muda nan molek, apalagi yang berahi pada ngelmu, membuat Wisrawa lupa akan jejer-nya sebagai seorang Begawan yang telah mundur dari segala gemerlap dunia sekaligus amanat anaknya, Prabu Danaraja. Mereka berdua pun melakukan hal yang tak pantas, berlindung di balik dalih guru dan murid.

Sebagai bentuk bendu (baca: kualat) karena perbuatan tak senonoh itu, konon mereka berdua dikaruniai anak yang salah kedaden atau efek samping yang kelak akan menjadi representasi kejahatan dan kebengisan sekaligus penawarnya.

Anak pertama terlahir dari telinga, berwarna merah menyala, berkepala sepuluh dan bertaring, bernama Rahwana atau Dasamuka. Anak yang kedua terlahir dari mulut, berwarna hitam legam, bertubuh raksasa, bernama Kumbakarna. Anak yang ketiga terlahir dari mata, berwarna kuning, berwujud perempuan buruk rupa, bernama Sarpakenaka.

Adapun yang bungsu adalah satu-satunya anak yang terlahir sebagaimana mestinya, sesuai dengan harapan, yang kelak akan menjadi penolong di hari akhir, dan jangkep atau lengkap sebagai manusia, bernama Gunawan Wibisana.

Baca juga:  Obituari: Ki Enthus dan Dua Wajah Keislaman Lupit-Slenteng

Mengingat rumus “Jawa nggone semu” (Jawa tempatnya pasemon), kisah sastrajendra tersebut tak sekedar sepenggal kisah belaka. Saya kira kisah sastrajendra hanyalah simbolisasi konsep waktu sekaligus penghayatan orang Jawa atasnya di masa purba.

Meskipun kisah ini dapat berdiri sendiri dan dapat dinilai ataupun diolah berdasarkan parameter ilmu sastra, tapi karakter orang Jawa di masa purba yang suka mempersonalisasikan hal-hal yang sifatnya impersonal menjadikan misteri kehidupan serupa mutiara yang terselip di dalam tiram.

Taruhlah kehidupan seorang petani tradisional di pelosok desa ataupun pada masyarakat-masyarakat adat di pulau Jawa. Bagi orang-orang seperti kita yang tumbuh dengan rutinitas dan paradigma Barat modern tentu akan menimbulkan keheranan ketika mencoba berpikir tentangnya.

Bagaimana mungkin seorang yang semata mengandalkan alam dapat hidup laiknya manusia pada umumnya, tanpa perlu waktu yang dilaluinya sehari-hari terjadwal rapi dengan segala target yang mesti dipenuhi? Atau, bagaimana mungkin seorang abdi dalem di keraton dan khadam (santri pelayan kiai dan keluarganya) di pesantren dapat memenuhi kehidupan sehari-harinya dan menyekolahkan serta menikahkan anak-anaknya?

Secara sufistik, semua itu dapat dimengerti dengan teori barakah atau berkah, ketika restu dan doa sang raja atau kiai dipercaya dapat melempangkan jalan atau membuka pintu dunia yang entah darimana datangnya. Sulit dipercaya, tapi memang begitulah kenyataannya.

Seperti halnya ketika pulau Jawa dijajah oleh Belanda dan Jepang selama sekian tahun, yang untuk ukuran nalar Barat modern adalah suatu hal yang tak tertanggungkan dan tak gampang untuk dijelaskan. Sampai hari ini tak ada teori yang dapat mengungkapkan secara memuaskan tentang daya tahan orang-orang Jawa di masa purba dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup.

Baca juga:  Islam Moderat di Era Post Truth

Saya kira rahasia tentang itu semua terletak pada konsep waktu sekaligus bentuk penghayatan orang-orang Jawa atasnya. Kisah sastrajendra pada dasarnya adalah kisah tentang waktu. Tak sebagaimana Newton dan Einstein yang berbicara tentang waktu obyektif (meskipun pada kasus Einstein konsep waktunya bersifat melar dan menciut, tapi tetap saja hal itu diturunkan dari konsep waktu obyektif), kisah sastrajendra berkaitan dengan waktu subjektif.

Itulah salah satu penjelasan kenapa para peneliti Barat sampai hari ini tak ada yang dapat menjelaskan rahasia daya tahan orang-orang Jawa karena mendasarkan tilikannya pada waktu obyektif. Sementara orang-orang Jawa di masa purba melalui penjajahan yang sekian lama dengan ukuran waktu subyektif—3,5 tahun serasa seusia tanaman jagung pada kasus Ronggawarsita (Demi Masa: Menelisik “Pandom Lonthe” Pada Masa Kini, https://alif.id).

Keempat anak Wisrawa dan Sukesi dalam kisah sastrajendra merupakan lambang dari pintu waktu obyektif: telinga, mulut, mata dan hidung. Telinga berkaitan dengan daya kehidupan yang identik dengan marah. Tanpa daya ini tak mungkin manusia membentur batas, seperti api yang melalap dinding kayu.

Telinga bersambung dengan organ dalam, empedu, dimana ketika marah dan membuang energi yang terlampau banyak ulu hati akan terasa sesak. Mulut berkaitan dengan daya rakus atau tamak yang bermuara pada perut. Tanpa daya ini tak mungkin tubuh manusia bergerak dan ketika telah melampaui batas akan berujung malas, seolah gelap ketika mata terlelap.

Mata berkaitan dengan dorongan berahi, daya untuk berkembang biak, yang berkaitan dengan cinta dan asmara dimana organ mata ini bersambung dengan alat kelamin. Seandainya telah melampaui batas, maka seolah akan silau akan kemilau emas. Adapun yang terakhir adalah hidung yang merupakan daya kebaikan dan ketenteraman yang berhubungan dengan ketiga pintu waktu lainnya.

Baca juga:  Kidung Jawa: Catatan Santri Tahun 1809

Sesuai dengan wataknya, hidung hanya menyukai hal-hal yang wangi dan menenteramkan. Tak ada orang yang tak menutup hidung ketika menghidu tinja atau bangkai. Secara neurologis hanya hidung yang bersambung pada kelenjar pineal yang menghasilkan hormon melatonin. Itulah kenapa berbagai agama dan spiritualitas menganjurkan untuk memakai parfum atau dupa yang asapnya membumbung ke angkasa ketika berpuja.

Dari keempat anak Wisrawa dan Sukesi, hanya Gunawan Wibisana yang menjadi pintu pembuka sekaligus penutup waktu. Sementara Rahwana, Kumbakarna, dan Sarpakenaka sekadar membuka dan membiarkannya agar kita terjerembab di dalamnya, menjadi manusia yang lengkap dengan segala suka dan dukanya, mulia dan hinanya, kalah dan menangnya, asa dan sesalnya, seperti yang dialami oleh Wisrawa-Sukesi sendiri ketika sunyi telah melenakan mereka berdua.

Pemahaman waktu berdasarkan kisah sastrajendra tersebut dikenal sebagai konsep kalacakra atau roda kehidupan. Dalam pengertian kalacakra, kehidupan dengan sendirinya berarti waktu. Ketika terjerembab pada waktu, terjerat oleh dinamikanya, maka manusia akan mengalami pasang-surut nasib.  Adakalanya mereka di atas, adakalanya di bawah.

Dengan demikian, berdasarkan konsep waktu orang-orang Jawa di masa purba, nasib pada dasarnya hanya dikenal di dunia fana yang ditandai oleh berbagai kondisi. Kondisi yang merupakan efek dari kemarahan, ketamakan, keterpikatan, dan juga kebaikan yang dapat mengurangi atau bahkan menutup ketiganya. Ini sebagaimana Gunawan Wibisana yang di penghabisan kisahnya dapat menolong atau menyempurnakan Kumbakarna.

Dari kisah sastrajendra ini pula konsep sedulur papat lima pancer dalam kebudayaan Jawa menemukan babon atau induknya. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top