Memperbincangkan persoalan seni rupa sebenarnya adalah suatu hal yang sangat membosankan. Berbeda dengan bentuk kesenian lainnya dimana “kota kebanggaan” yang dirasa telah membesarkan para senimannya seolah menjadi ukuran “kebesaran” mereka di masa kini—yang tentu saja dengan kerangka angan masa silam—tak menjadi sesuatu yang mutlak. Taruhlah pada bidang kesenian wayang dimana “kota kebanggaan” itu tak terkesan seperti halnya masjidil haram ataupun al-Azhar, tempat dimana segala pandangan keagamaan seolah tak terbantahkan.
Memang, pernah ada masanya ketika Jogja ataupun Bandung dan Jakarta seolah menjadi masjidil haram atau bahkan al-Azharnya seni rupa Indonesia. Namun ketika melihatnya dari sisi politik diskursus, hal itu sungguh patut diperdebatkan. Dalam bidang sejarah, pada dasarnya tak dapat dipungkiri bahwa penafian potongan-potongan peristiwa sejarah yang dianggap kecil dan pinggiran adalah hal yang tak dapat dihindari ketika ingin menghadirkan sebuah narasi agung.
Seorang perupa adalah laiknya “Dipanegara” yang konstruksi tentangnya seolah dapat lepas dari, seumpamanya, Kyai Abdarrauf di Gunungpring atau bahkan Gus Miek sesudahnya yang pernah menarasikan bahwa ketika para wali di Jawa akan bersidang, Pangeran Dipanegara memimpin rombongan wali lainnya dari situs Gunungpring menuju Ampel di Surabaya.
Ketika melihat dari perspektif politik diskursus, maka “Jogja” dalam narasi seorang Dipanegara tak lagi bersifat absolut. Sebab, Kyai Abdurrauf adalah salah satu senapati sang pangeran di Karisedenan Kedu yang tak pernah tercatat dalam sejarah besar Dipanegara. Adapun Gus Miek adalah seorang kyai kembara asal Kediri yang kentara tak jenak untuk membuat pusat—justru, ia terkenal dengan rangkulannya pada sesuatu yang kecil dan pinggiran. Bahkan, dengan berbagai bukti peninggalan yang ada, perhatian Gus Miek adalah justru pada anak keturunan Kyai Abdarrauf dan para pekatik mantan anggota laskar Dipanegara di Makam Tambak Kediri yang tak pernah terekam dalam kitab-kitab sejarah resmi—yang biasanya acap dibanggakan dengan klaim ilmiahnya.
Menilik polemik seni rupa yang disodorkan oleh tim BWCF, saya pribadi sebenarnya agak geli ketika mencoba untuk mengikuti perdebatan yang klasik itu. Kenapa polemik seperti itu tak terjadi di dunia kesenian lainnya, di bidang seni pertunjukan semacam wayang maupun musik? Apakah di hari ini para seniman seni rupa sedang merasa kehilangan pamornya dan mencoba “caper” dengan harapan siapa tahu mereka akan kembali menjadi para “Dipanegara”?
Saya kira tak demikian adanya mengingat para “Begawan” yang terlibat dalam polemik seni rupa itu sudah sukses menyisihkan nafsu mereka di sekitar perut (aluamah) dan mata yang ingin menjadi selebritis dengan segala keistimewaannya (supiyah). Justru, karena secara sukarela mau-maunya berpolemik itu, seakan nafsu muthmainah-lah yang mereka kedepankan. Maka, tak salah ketika saya menyebut orang yang mau-maunya memikirkan hal yang sebenarnya tak primer itu sebagai para “Begawan.”
Kebosanan saya pada dinamika seni rupa Indonesia pada dasarnya berkaitan dengan sesuatu yang berulang-ulang, yang demikian-demikian saja. Untuk menjawab pertanyaan dari mana dan akan kemana seni rupa Indonesia, tak perlu rasanya saya menghadirkan kembali polemik klasik antara dua jargon kesenian dan kebudayaan yang pernah bertanding dan tanpa ada yang menang. Polemik klasik itu adalah laksana kematian seorang Adipati Karna yang sedikit pun tak mengubah jumlah Pandawa. Seandainya pun dalam lakon Karna Tandhing itu Arjuna yang gugur, Pandawa tetaplah berlima karena Karna pastilah akan menggantikan peran Arjuna.
Tak perlu pula rasanya saya ikut berpolemik soal kedudukan dan fungsi “diskursus” dalam dunia seni rupa Indonesia yang sempat membuat para kurator dianggap mengebiri dan memakan jatah ketenaran dan kegemerlapan para senimannya. Sebab, pada dasarnya, dua dunia itu, dunia seniman dan dunia kurator, adalah dua dunia yang dapat dipilah. Demam cultural studies yang pernah melanda dunia kebudayaan Indonesia pada umumnya, dengan konsep-konsepnya yang barangkali dapat membikin muntah, memang seolah menggeser peran seni rupa dan para senimannya dari singgasananya.
Tak dapat dipungkiri, bagi saya, peran seorang kurator dengan segala diskursusnya yang barangkali dapat membuat muntah cukuplah problematis. Mereka seolah ingin berposisi laiknya Derrida ataupun Deleuze, yang sebenarnya merupakan pemikir lintas-bidang yang memiliki dunia sendiri untuk hidup dan terus berkembang. Sedangkan para kurator yang acap mabuk konsep dan bertingkah laiknya pemikir itu, yang konon berbayar cukup tinggi hanya untuk melambungkan sebuah karya seni yang sering diniatkan “sekedar merupa saja” oleh para senimannya, sama sekali tak memiliki tanggungjawab keilmuan di balik segala diskursus yang dikotbahkan. Maka, ketika para senimannya mengatakan “Ja Basta!” pada mereka, para kurator yang bergaya laiknya pemikir itu pun habis sudah—atau minimal tak lagi menjadi para selebritis yang sampai mengungguli para senimannya.
Satu hal yang perlu saya ketengahkan untuk ikut nimbrung dalam polemik seni rupa yang membosankan ini, kenapa di antara kesenian-kesenian yang ada kegelisahan seolah cukup parah dirasakan oleh para pekerja seni rupa adalah karena seni rupa Indonesia berkembang tanpa hirau pada apa yang saya sebut sebagai autochthony. Secara sederhana, autochthony ini dapat dirasakan dalam ungkapan keseharian tentang fenomena “Londo Jowo,” dimana seorang yang berkulit sawo matang atau hitam sekalian dan sekedar seorang tambal ban misalnya, berambut pirang.
“Londo Jowo” dalam perjalanan seni rupa Indonesia adalah ketika, seumpamanya, mempahlawankan Kurawa atau karakter-karakter yang dikenal antagonistik sebagai representasi kelas yang tertindas. Pilihan ini memang pernah menjadi pilihan estetis para seniman yang berafiliasi ke Lekra. Demikian pula, penghadiran pahlawan-pahlawan Barat sejenis Sisifus yang absurd bin suwung yang sampai kini masih menjadi pilihan para seniman yang kecipatran humanisme universal ala Manikebu. Padahal, bagi yang benar-benar paham pewayangan, justru Pandawa-lah yang merupakan kelas tertindas dan di Jawa absurditas dan kesuwungan itu justru dianggap memiliki makna yang agung lagi ilahiah ketika dikaitkan dengan istilah “sunyata.”
Dengan demikian, saya kira, sengkarut seni rupa di Indonesia yang acap berlangsung laiknya pertengkaran antara seorang suami dan isteri itu tak perlu sampai harus mengundang pertanyaan eksistensial yang agung, dari mana dan akan ke mana ia. Cukuplah dinamika di dalamnya disikapi seperti melihat sesosok Goenawan Mohamad (mantan Manikebuis) yang ngopi pagi semeja dengan Budiman Sudjatmiko dan Andi Arief (mantan turunan Lekrawan) menjelang penangkapan mereka atas peristiwa Kudatuli. Artinya apa, segala pertentangan itu, polemik itu, pada dasarnya berlangsung di atas satu episteme yang sama.