Sedang Membaca
Mengingat Lagi “Kalondo Lopi” dan “Soji ro Sangga” Masyarakat Bima
Hilful Fudhul
Penulis Kolom

Mahasiswa Manajemen Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Pimpinan Alumni Pondok Pesantren Darul Furqan Kota Bima

Mengingat Lagi “Kalondo Lopi” dan “Soji ro Sangga” Masyarakat Bima

Kalondo Lopi Bima

Dalam catatan perjalanan Tome Pires mengenai Bima, disebutkan bahwa Bima adalah daerah niaga sebagai tempat yang menghubungkan Malaka, Cina, Jawa, dan Maluku. Sebagai daerah dengan kekuatan maritim besar di Timur Indonesia, Bima menjadi tempat yang ramai dilewati oleh berbagai kapal dagang dari berbagai daerah dan mancanegara.

Selain catatan Tome Pires, Negarakartagama dan Pararaton (1365) juga menyebutkan bahwa pelabuhan Bima merupakan pelabuhan yang cukup ramai disinggahi oleh kapal laut dan bahkan kapal perang Jerman dan Austria. Sebagai daerah dengan kekuatan laut yang mumpuni, masyarakat Bima sejak abad ke-14 telah berjaya di laut dengan armada laut yang cukup masyhur.

Dengan armada laut yang kuat itulah Kerajaan Bima mampu menaklukkan banyak daerah seperti Manggarai, Komodo, Pulau Sumbawa, Sawu, Solor, Sumba, Larantuka, dan Ende. Abad ke-14 memanglah abad kejayaan masyarakat maritim di Bima, lengkap dengan pemahaman mengenai laut dan teknologi kapal.

Bima memiliki pelaut-pelaut andal dengan disokong dengan Undang-undang Laut yang diatur oleh kesultanan. Seperti ditulis di dalam catatan BO Sangaji Kai, undang-undang itu mengatur tentang wilayah kekuasaan laut, tentang pajak, dan tentang pembuatan kapal.

Besarnya pengaruh laut dalam sejarah Bima ini membentuk beragam tradisi yang sampai hari ini masih dijaga oleh masyakarat Bima, satu di antaranya adalah Kalondo Lopi atau tradisi menurunkan kapal ke laut. Dalam kepercayaan masyarakat Bima, Kalondo Lopi  ini ibarat upacara mengawinkan kapal dengan laut. Warga mempercayai filosofi bahwa laut dan kapal adalah satu kesatuan, layaknya sepasang kekasih.

Baca juga:  Tahapan Penyucian Diri Manusia dalam Aliran Thariqat Qodirriyah

Sebelum Kalondo Lopi, ada ritual  yang mendahuluinya, yakni sambung kayu dalam pembuatan kapal dan  doa bersama yang dipimpin oleh para sesepuh serta tokoh agama, agar diberi kelancaran. Dalam acara doa atau selamatan, masyarakat dan tuan rumah menyediakan berbagai makanan seperti nasi lemang, sepuluh ekor ayam, dan tembakau.

Selamatan dilakukan dengan memanjatkan doa dan mengucapkan kalimat syahadat beberapa kali. Kemudian saat tokoh adat dan agama menghadap laut, pada saat air pasang, mereka membaca doa dengan menggunakan Bahasa Bima, seperti ini:

Kanikaku ba nahu nggomi samula labo la samola
Kancia-kancia

Artinya kurang-lebih “Kunikahkan engkau laut dengan perahu, kuat dan eratlah kalian’.

Doa usai dan para pembuat kapal pun bekerja, menyelesaikan pembuatan kapal. Kapal siap, dan dimulailah prosesi Kolondo Lopi, yang dilakukan bersama-sama oleh masyarakat setempat.

Sebelum acara puncak Kolondo Lopi, upacara lain telah disiapkan, yakni upacara Soji ro Sangga, yang dimulai dengan penyembelihan ayam sebagai lauk untuk masyarakat sekitar. Kepala dan sayap ayam digantung di anjungan kapal dan di belakang kapal. Di kemudi kapal bagian depan dan belakang  digantung janur kuning yang berisi kepala dan sayap ayam.

Pemasangan janur kuning serta kepala dan sayap ayam itu  dilakukan sambil melantunkan kalimat ‘Bismillahi majreha wa mursaha, inna Rabbi la gafufur rahim’. Upacara ini  bertujuan untuk meminta berkah keselamatan dan pengampunan dari Allah SWT, serta  dijauhkan dari segala musibah dan mara bahaya ketika sedang melaut.

Baca juga:  Sabyan Gambus (1): Musik Islami Populer dan Politik Identitas

Ritual Soji ra Sangga dianalogkan dengan upacara lain dalam sejarah Islam masa lalu ketika Nabi Nuh As membangun kapal besar. Ada ritual yang dilakukan penduduk untuk menjauhkan Kan’an, putera Nabi Nuh, dari kapal. Jika Kan’an naik kapal, bisa jadi ia mendatangkan bahaya saat kapal mengarungi laut. Begitulah Soji ra Sangga.

Soji ra Sangga usai. Tibalah prosesi Kalondo Lopi. Beberapa pemuda bahu-membahu menurunkan perahu, mendorongnya, dengan dipimpin langsung oleh panggita (pemimpin adat/tokoh masyarakat) yang berada di atas kapal. Panggita dengan diikuti warga melantunkan beberapa kalimat dalam bahasa Bima bercampur dengan bahasa Bugis:

Hela-hela mbate (pembuka kalimat)
Ao ….. La hela wela (mari semua)
Ao kabengke mena (ayo pegang erat-erat)
Ao ka hela hinti (ayo tarik semua)
Hinti sama kabengke mena (Tarik sama-sama dengan kuat)

Kalimat di atas adalah kalimat penyemangat dari Sang Panggita yang ditujukan kepada para peserta upacara Kolondo Lopi.. Setelah kapal telah mencapai laut, para tetua yang berada di pantai pun melantunkan beberapa doa dalam Bahasa Bima:

Nggomi aina lao ntoi (Jangan pergi lama-lama)
Nggomi mbali ricu (cepat pulang)
Di dana ra rasa (di kampung halamanmu)

Ritual dan upacara usai. Kapal yang telah didoakan boleh digunakan untuk berlayar ke mana pun dengan diiringi banyak harapan oleh masyarakat setempat. Agar kapal pulang kembali dengan selamat dan membawa hasil laut yang bisa dinikmati bersama. Para awak kapal selamat dan gembira, ikan tangkapan pun segar.

Baca juga:  Diaspora Santri (18): Diplomasi Santri Indonesia di Tiongkok

Prosesi Kolondo Lopi ini adalah bukti lain dari kebudayaan laut yang telah lama mengiringi kehidupan masyarakat Bima, yang mayoritas memang berprofesi sebagai nelayan, selain bercocok-tanam. Namun, kejayaan maritim Bima runtuh akibat adanya penjajahan di berbagai daerah di Indonesia.

Basis kemaritiman dunia yang semula berapa di Bima kemudian beralih,  dengan adanya penjajahan pusat-pusat perniagaan. Berikutnya masyarakat Indonesia disibukkan dengan urusan-urusan agraris.

Ketika terjadi perjanjian Bongaya antara penjajah dengan kesultanan Gowa, yang membuat Raja Gowa tunduk terhadap penjajah,  Bima terkena imbas. Penjajah lantas berkuasa di Bima,  yang merupakan mitra kerajaan Gowa. Begitulah, memang, yang kemudian terjadi. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top