Sedang Membaca
Panggung Sapardi
Heri Priyatmoko
Penulis Kolom

Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penulis buku “Keplek Ilat: Wisata Kuliner Solo”

Panggung Sapardi

Img 20230625 Wa0008

Bulan Juni belum tersudahi. Belum lama ini, di media sosial beredar santer isu people power dan rencana ingin “mengacak-acak” Surakarta, kota bekas kerajaan salah satu pewaris dinasti Mataram Islam ini. Diakui, Surakarta merupakan barometer politik nasional.

Sampai lahir adagium lawas di tataran elite pusat: jika ingin menghelat program nasional dan hendak menguasai kota lain di Indonesia, maka musti diujicoba di telatah Solo dulu. Apabila Solo dapat “ditundukkan”, maka kota lainnya tiada soal. 

Tak sedikit “manusia Solo” yang moncer. Selain melahirkan Presiden Indonesia, kota kembar-nya Yogyakarta ini juga tempat brojol banyak pujangga tradisional hingga modern.

Ambillah contoh, Yasadipura, Raden Ngabehi Ranggawarsita, Ki Padmasusastra, Gusti Mangkunegara IV, sampai generasi Sapardi Djoko Damono, Arswendo Atmowiloto, dan Wiji Thukul yang menghilang tak diketahui rimbanya. 

Juni memunculkan ingatan perihal sang penyair Sapardi, kendati alam detik ini menyajikan musim kemarau, tanpa rinai hujan. Di “panggung pujangga” yang tergelar di jalan Singosaren-Ngarsapura, saban Sabtu malam menjadi saksi “people power” meluapkan kegembiraan dan menghidupkan suasana kota.

Nongkrong maupun berekspresi seni dengan membelakangi gambar Sapardi, mereka perlu kiranya mengerti riwayat Sapardi dalam ekologi budaya Solo. 

Rabu Kliwon, tanggal 10 Sapar (20 Maret 1940), pukul 20.00, bayi abang Sapardi lair ceprot di kampung Baturono, jaraknya sepelemparan tombak dari Alun-alun Kidul.

Tradisi dalam keluarga Jawa bahwa bocah yang hendak lahir dari pasangan pengantin muda lumrah ditunggui sang kakek, dan kian bagus tinggal di rumah kakek untuk sementara waktu.

Baca juga:  Ketika Gus Dur Menulis tentang Mesir

Petuah luhung ini bukan isapan jempol tanpa makna. Bukan soal ora tegel alias sampai hati, namun ada spirit orangtua untuk mernahne (menata dan mengajari) anaknya menyambut fase baru.

Setelah Sapardi lahir cenger, pasangan Sadyoko dan Sapariah resmi menjadi bapak dan ibu. Selain itu, kakek tidak kunjung putus merapal doa, bahkan nglakoni supaya cucu pertamanya itu lahir selamat. 

Apa yang dilakukan simbah Sapardi dari jalur bapak merupakan suatu kewajaran, mengingat pula dia adalah abdi dalem Keraton Kasunanan.

Pelayan istana milik Sinuwun Paku Buwana ini mahir menatah wayang kulit. Selain unsur genealogi, habitus kakek memengaruhi Sapardi bisa bermain wayang dan mampu mendedah mitologi wayang menjadi bagian penting dalam roncean kata.

Dorongan lainnya, semasa Sapardi kecil di perkampungan Surakarta acap dihelat pertunjukan wayang kulit. Bahkan, terdapat wayang potehi di muka Klenteng Kali Larangan, juga wayang thengul alias wayang golek di lorong gang kampung.

Sapardi mengaku kepada Bakdi Sumanto (2006), saat usia 3 tahun ia diboyong orangtuanya ke Dawung. Lepas dari kungkungan kakek, sang ayah mengontrak rumah di utara tanggul yang dibangun periode kolonial itu.

Di sinilah, Sapardi kecil menyaksikan kemandirian bapak keluar dari bayang-bayang simbah. Dapur asap keluarga baru ini dipastikan mengepul karena Sadyoko bekerja menjadi pegawai di Jawatan Pekerjaan Umum.

Baca juga:  Haul Nurcholish Madjid (7): Kenangan Pribadi Bersama Cak Nur

Rupanya takdir berbicara lain, pendudukan Jepang mengubah keadaan menjadi kacau balau. Kemlaratan, kelaparan, serta kematian terjadi akibat penjajahan “saudara tua” itu.

Tahun 1945, Sapardi diajak bergeser ke Ngadijayan. Ruang hunian kakek dari garis ibu ini tidak jauh dari rumah sastrawan WS Rendra dan Bakdi Sumanto.

Berkat memiliki pekarangan luas dan kemurahan hati simbah, bocah kecil ini memergoki 20 keluarga magersari. Mereka nunut ngeyup, sedangkan untuk mencukupi kehidupan sehari-hari bekerja sebagai sopir, tukang reparasi sepeda, tukang cukur, binatu, tukang medel, dan lainnya.

Keluarga terperanjat mendapati kakek terjerat hutang dan menggadaikan rumah. Akhirnya, tempat tinggal itu dilelang murah, lantas hasilnya dibagi kepada tiga anaknya, termasuk ibu Sapardi. 

Terpelanting ke pinggiran kota. Uang warisan itu dibelikan rumah di Komplang. Kawasan ndesa ini belum ada listrik, dan dipandang “aneh” oleh Sapardi.

Kahanan ganjil itu menyebabkan dirinya tidak lagi bisa blusukan secara fisik mengitari sudut kota untuk mengunduh inspirasi. Komplang yang gelap dan senyap mendorongnya melakoni pengembaraan imajinatif.

Di sepetak kamar, daya jelajah imajinasinya menguat, emoh terkurung dalam gang-gang kampung. Sapardi menyusup ke sanubarinya sendiri, seraya membongkar-pasang kata, mendengarkan lebih bening dan terang bisikan yang diucapkan kepadanya.

Dalam situasi ini, saya umpamakan Sapardi muda tengah bertapa dalam keheningan layaknya Pangeran Dipanegara bersemedi di goa mencari ilham.

Baca juga:  Dear Milenial, Ada Banyak Jalan untuk Hidup Bahagia: Harta Bukan Jaminan

Sapardi tatkala duduk di bangku SMA Negeri 2 mengendapkan semua bacaan yang disikatnya dari tempat persewaan pustaka yang marak di Solo kala itu. Karangan Karl May, William Saroyan, T.S. Eliot, hingga Rendra yang diperolehnya dari persewaan buku Pak Amir dilahap, dan berdialog dengan dirinya sendiri.

Kaki di kamar, namun pikirannya melayang menyusuri tempat-tempat yang disebutkan dalam karya sastra itu. 

Sportif diakui bahwa ekologi budaya Solo mempengaruhi jalan hidup Sapardi, tanpa kecuali Arswendo, Rendra, Bakdi Sumanto, dan Wiji Tukul. Kota yang berpengalaman melahirkan sederet pujangga ini, termasuk Sapardi, memang “ajaib”.

Di kalangan seniman sering terdengar kelakar bahwa yang hebat bukan orangnya, melainkan kotanya karena mampu mencetak maestro dan seniman terkemuka. Sukar disangkal, dinamika intelektual dan dunia literasi begitu hidup di kota bekas kerajaan itu. 

Kota kapujanggan menempa penghuninya untuk kreatif, ajeg mengasah kedigdayaan, dan tak gampang puas, meski dilambari spirit nguler kambang untuk berkontemplasi.

Bila saja Sapardi tidak didukung ekologi budaya dan keberadaan persewaan buku, nasibnya tentu akan lain. Puncak kata, rombongan sastrawan dan pujangga itu tentunya merasa beruntung dan bersyukur pernah diasuh dalam ekologi budaya Solo.

Dengan kilas balik kisah ini, masyarakat Indonesia tentunya pantas marah apabila Surakarta digoyang dengan isu yang sarat akan perpecahan.

Terlampau sayang tali persaudaraan yang hangat di kota tua ini dirobek-robek oleh orang yang tak bertanggungjawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
0

Mengulas Puisi-Puisi tentang Ibu

Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top