Heri Priyatmoko
Penulis Kolom

Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penulis buku “Keplek Ilat: Wisata Kuliner Solo”

Merekonstruksi Sejarah Ndalem Jayakusuman

Img 20201030 Wa0012

Museum Radya Pustaka yang bercokol di Kota Solo kini genap berusia 130 tahun. Sebuah usia yang cukup matang.

Dalam perayaan itu, saya bersama komunitas sejarah-budaya Solo Societeit menggendong tugas mengajak publik untuk menyuntuki sepenggal sejarah kampung halaman Presiden Joko Widodo.

Kami menghelat jelajah sejarah, salah satu titik yang diampiri adalah ndalem Jayakusuman.

Selama ini, informasi perihal riwayat historis bangunan cagar budaya itu boleh dikatakan keliru.

Beredar di laman internet dan kadung diamini publik bahwa ndalem Jayakusuman merupakan peninggalan era Paku Buwana X (1893-1939) yang diberikan kepada buah hatinya.

Bendara Kanjeng Pangeran Harya (BKPH) Jayakusuma yang namanya dicomot untuk identitas rumah yang luasnya ngoblah-oblah ini hidup semasa kepemimpinan PB X.

Disebutkan pula pemilik pertama adalah BKPH Suryo Broto, putera PB X. Tampaknya pelontar cerita kali pertama terjebak pada fakta kejayaan PB X yang dikenal sebagai penguasa terkaya dan termasyur dalam dinasti Kerajaan Kasunanan.

Saya menemukan data sezaman berupa surat kabar yang memuat kisah kelampauan Ndalem Jayakusuman. Jurnalis koran Bromartani menjelaskan Pangeran Arya Jayakusuma merupakan putra PB VI yang semula bernama Bendara Raden Mas Widayatdi.

Sebelum dibuang ke Ambon dan tutup usia di tahun 1849, PB VI mewariskan rumah itu kepada BPA Jayakusuma. Logis apabila di atas pintu ndalem itu dipergoki angka berhuruf Jawa yang apabila dihitung tahun Masehi 1849.

Baca juga:  Ketika Mark Rutte dan Gus Dur Meminta Maaf: Refleksi atas Permintaan Maaf Belanda kepada Indonesia

Kian kuat argumentasi ndalem itu bukan mahakarya era PB X dengan menilik keterangan redaktur Bromartani (1870). Dengan teliti juru warta mendokumentasikan kepergian BPA Jayakusuma yang sudah tidak berhak lagi menempati rumah luas itu.

Hidup aturan yang diugemi dalam jagad aristokrat klasik, yakni tak selamanya pengeran bersama keturunannya bisa tinggal di sebuah ndalem karena ada pergantian kekuasaan raja.

Dikisahkan, pada hari Rabu tanggal 26 Jumadilawal tahun Dal 1799 (1870 M), Kanjeng Pangeran Arya (KPA) Surya Atmaja diberi sebuah rumah berikut isinya oleh ayahandanya, PB IX (1861-1893). Diketahui, rumah tersebut merupakan ndalem Pangeran Arya Jayakusuma.

Tak sedikit yang berdecak kagum dengan kemewahan ndalem Jayakusuman lantaran perlengkapannya begitu komplit.

Ada pringgitan, pendapa, gandok kiri-kanan, dan beberapa rumah tinggal abdi dalem perempuan. Termasuk pula perlengkapan di pendapa diberikan seluruhnya kepada KPA Surya Atmaja.

Secara konseptual, ndalem Jayakusuman merupakan hunian model community house. Di samping keluarga ningrat, kompleks ini dijumpai magersari yang menumpang hidup dan melayani majikan.

Mengenai denyut kehidupan kaum aristokrat yang bercokol dalam ndalem, dilukiskan sastrawan Suparto Brata dalam novel Generasi Yang Hilang (1981).

Surya Atmaja bersiap pindah ke ndalem Jayakusuman hari Senin tanggal 16 bulan Jumadilakir tahun Dal. Sementara itu, KPA Jayakusuma angkat kaki menuju Mangkubumen luar.

Baca juga:  Proyek Keislaman Zaman Orba, dari Politik Memilih Menteri Agama hingga Rektor IAIN

Anak PB VI ini legawa menempati rumah yang telah dipersiapkan atas dibiayai PB IX. Ia tutup buku kehidupan dalam usia 60 tahun, dan dikubur di Desa Kikang, Wonosari, Klaten.

Minggu pukul 21.00 ada kesibukan luar biasa di dalam kedaton. Sesuai rencana, Surya Atmaja pindahan ke ndalem Jayakusuman mulai malam itu.

Dia mendahulukan anak-anaknya yang masih kecil dan keluarga terdekatnya. Sekeluarnya dari dalam keraton, Surya Atmaja berjalan diikuti barisan pangeran bersama kerabat.

Dibarengi 60 abdi dalem punakawan berbusana kembar memakai sikepan putih dan memegang 20 obor. Pasalnya, listrik baru masuk Solo tahun 1903.

Kegembiraan dan kemeriahan diperoleh lantaran sepanjang jalan peserta ini dihibur musik. Kaki menginjakkan ndalem Jayakusuman pukul 21.30.

Orang-orang yang mengikutinya selepas menikmati makanan yang disuguhkan, maka bergegas pulang.

Senin pukul 11.30, KPA Surya Atmaja memohon pamit kepada PB IX. Setelah raja memberi wejangan secukupnya, kemudian diantar para pangeran lainnya.

Ada pula Kanjeng Pangeran Adipati Anom (kelak menjadi PB X) dalam pesta jamuan di ndalem. Pesta kuliner berlangsung pukul 14.00-16.00.

Lantaran hati dilumuri kegembiraan dan pikiran senang, sebagian tamu masih asyik ngobrol bersama KPA Surya Atmaja sampai pukul 18.00.

Malam harinya, digelar pertunjukan wayang kulit di ndalem Jayakusuman dan berjalan sukses.

Baca juga:  Sejarah Unta di Jazirah Arab

Gema rumah bangsawan ini tidak meredup, tetaplah regeng. Ada peristiwa kebudayaan dan politik yang terjadi di situ.

Ambillah misal, pada 22 Agustus 1938 ndalem Jayakusuman menjadi tuan rumah gelaran rapat Narpawandawa yang dipimpin RT dokter Wedyadiningrat menyoal “dipensi”.

Rombongan intelektual Jawa berkumpul guna merespon kahanan gawat dunia yang bergejolak akibat perang. Mereka memikirkan posisi Keraton Surakarta sebagai pengayom dan menjamin keselamatan nasional.

Inilah potret kesadaran berpolitik para priayi modern istana yang tersembul di ndalem Jayakusuman.

Paparan di muka bukan sekadar meluruskan sejarah, namun hendak memberi pemaknaan pada cagar budaya itu.

Ndalem tersebut bukan ruang kosong tanpa cerita, tapi jejak zaman kerajaan yang patut diuri-uri.

Kini, ndalem tua itu dipakai untuk markas aparat keamanan yang disiapkan untuk mengamankan pertarungan pilkada yang melibatkan buah hati Presiden Jokowi. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top