Di muka Balaikota Surakarta yang lapang, malam itu, angin meninju raga tanpa ampun. Mangsa mediding, begitu orang Jawa menyebut peralian musim yang ditandai tiupan kencang angin dingin dan orang gampang ambruk sakit.
Kendati demikian, terasa ada kehangatan menyelimuti ratusan orang yang memadati bekas tempat ngantor Presiden Joko Widodo kala menjadi Walikota Solo itu.
Tepat 17 Juli 2023, dihelat Festival Budaya Spiritual yang dinahkodai Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbudristek RI.
Bak api unggun menghangatkan hati, di atas panggung segelintir perwakilan lembaga plat merah menyerahkan kartu identitas penduduk kepada beberapa penghayat kepercayaan yang sudah diubah identitas agamanya.
“Dalam KTP Elektronik saat ini sudah boleh mencantumkan kepercayaan terhadap Tuhan YME. Dulu agama itu harus 6, saat ini agama sudah boleh mencantumkan kepercayaan terhadap Tuhan YME. Itu kemajuan yang sangat pesat, merupakan salah satu pemenuhan hak konstitusional bagi para penghayat itu,” begitu pidato dari perwakilan pemerintah.
Di samping panggung, air mata ini hampir jatuh tatkala mendapati seorang perempuan penghayat kepercayaan bersama sang bayi mungil turut naik menerima KTP. Inilah momen sentimentil dan indah yang sedari lama dinantikan komunitas religi yang tersebar di Nuswantara.
Merujuk data Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X, di tahun 2022 jumlah penghayat kepercayaan di Jateng sebanyak 9.770 orang. Sementara yang telah mengubah identitas agama di KTP menjadi penghayat kepercayaan sebanyak 2.203 orang.
Apa yang bisa menyatukan sekaligus simbol universal penghayat kepercayaan yang beraneka ragam itu? Salah satunya ialah tumpeng, yang acapkali hadir dalam gelaran ritual budaya sampai acara ulangtahun dewasa ini. Saya kebetulan diminta panitia untuk mendongeng sepotong kisah tumpeng.
Rasanya sangat tepat perhelatan istimewa tersebut diselenggarakan di Solo dengan mengikutsertakan elemen tumpeng. Pasalnya, menilik historisitas berikut makna kuliner khas Indonesia ini diperlukan membuka catatan lawas yang dipacak oleh para pujangga.
Sebut saja serat atau naskah tua yang diproduksi di Kota Bengawan, yakni Serat Centhini (1814-1823) dan Serat Tatacara (1893-1904). Memori kolektif tentang tumpeng dipanggil “pulang” lewat rujukan pustaka Centini dan Tatacara yang mengawetkan serpihan kisah tumpeng untuk sesaji dan hidangan dalam kehidupan masyarakat Jawa tempo dulu.
Harmoni Tumpeng
Pada dasarnya, masyarakat Jawa adalah manusia sejuta ritual dengan aneka sesaji. Tumpeng bukan hidangan semata dan wujud sinkretisme Jawa-Hindu dan nantinya Islam, namun juga simbiosis mutualisme antara kebudayaan dengan “agama luar” untuk menuju sebuah harmoni.
Penghormatan terhadap animisme-dinamisme juga “ditumpengi”. Saya kala kecil masih memergoki simbah sebagai penganut Kajawen kala jelang dan sesudah Ramadan membuat tumpeng untuk dun-dunan (menurunkan) dan ngunggahne (mengembalikan ke atas) ruh leluhur.
Anak-cucu kemudian diminta ngepung (melingkar) melangitkan doa, lalu disudahi dengan menyantap tumpeng itu.
Tumpeng juga disimbolkan gunung Meru, tempat bersemayam para dewa. Ini saya kira terkena pengaruh Hindu-Buddha. Kerucut melambangkan hubungan vertikal manusia dengan Tuhan.
“Tumpeng iku, pasemon jagad sawagung, Dumadining cipta, Kun fayakun saking Gusti”.
Kelompok penghayat kepercayaan tentu mengakrabi tradisi ruwatan, tetapi dimungkinkan sekarang kuping mereka asing dengan jenis tumpeng yang termaktub dalam Serat Centhini ini: tumpêng tutul, tumpêng lugas, tumpêng rajêg dom-wajane, dan tumpêng sêmbur jangkêp nawèki.
Kini, aneka tumpeng tersebut lenyap dari percakapan dan jarang hadir di ruang spiritual.
Yang masih akrab di lidah dan bola mata rakyat Jawa ialah tumpeng robyong. Tumpeng tersebut dihias sayuran mentah seperti kacang panjang, sawi, kangkung, labu siyam dibelah empat, terong dan irisan kecil gorengan tahu, tempe, daging sapi, dan jeroan yang semuanya ditusukkan pada tumpeng dengan tusuk sate.
Tumpeng diwadahi cething, dan dimunculkan semisal saat tingkeban, siraman, tetesan maupun supitan.
Dua setengah abad silam, dalam Serat Centhini dikisahkan bahwa di Mataram ada sesaji siraman, yakni ritual mandi sebelum rangkaian kegiatan pernikahan (ijab) dilakukan. Dengan sesaji tumpeng robyong, tumpeng janganan, gedang ayu dan jajan pasar.
Perlu kiranya membuka halaman demi halaman Serat Tatacara anggitan Ki Padmasusastra. Di situ, tersurat aneka tumpeng yang mengikuti siklus manusia sejak dalam kandungan hingga ajal menjemput dan kematiannya diperingati sampai tiga tahun (nyewu dina).
Teringat dengan salah seorang keturunan Ki Padmasusatra, Marbangun, dalam bukunya Adat Istiadat menerapkan model penulisan sang kakek. Terpacak nama tumpeng tumbuk yang dipakai untuk merayakan ulang tahun, terutama umur 64 tahun alias tumbuk ageng.
Menurut kepercayaan Jawa, angka 8 adalah angka keramat. Jadi, 64 yang notabene merupakan hasil perkalian 8 dan 8 merupakan umur istimewa. Telur berjumlah 64 buah dibagikan kepada orang-orang. Sementara dalam tumbuk alit, jumlah telurnya 32 buah.
Puncak kata, “kekuatan hebat” tumpeng adalah ia hadir di setiap ruang dan waktu, bahkan mampu merobohkan sekat sosial, ekonomi maupun agama. Tumpeng juga lincah masuk dalam tradisi besar dan kecil, laiknya jenang.
Wong Jawa klasik menuturkan kawruh lewat tumpeng. Kita harus kritis ngonceki fakta dibalik mitos, karena leluhur mengajak kita untuk berpikir kritis.
Dedongengan perihal tumpeng di hadapan Wakil Gubernur Jawa Tengah Taj Yasin Maimoen dan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, harapannya adalah pengetahuan yang bertemali dengan aspek spiritual dan kuliner makin mendapat tempat.
Tumpeng sebagai sarana doa yang telah mentradisi selama berabad-abad, maka jangan mudah memberi cap klenik atau musyrik.