Pertanyaan itu jelas mengandaikan Gus Dur terpisah dengan umat Islam, memposisikan bahwa Gus Dur dan umat Islam berbeda, persis seperti perbedaan “meja dan kursi”. Tetapi memang, tahun-tahun 1990an, narasi yang menyatakan Gus Dur dan umat Islam beroposisi dihembuskan begitu ramai:
“Gus Dur lebih dekat dengan nonmuslim”, “Gus Dur rajin datang ke gereja”, “Gus Dur tidak membela umat Islam”, “Gus Dur antek Yahudi”, “Gus Dur berteman dengan PKI”. Narasi-narasi seperti ini bahkan sudah sejak tahun 1980an.
Tahun-tahun itu, utamanya setelah Gus Dur terpilih kembali sebagai Ketua Umum PBNU di Muktamar Krapyak 1989, media cetak berbasis Islam, koran-koran dan majalah-majalah, yang umumnya marak beredar di kota-kota besar, hampir tidak pernah sepi membicarakan Gus Dur secara negatif, setidaknya menanyakan komitmen keislamannya. Puncak dari narasi-narasi kebencian kepada Gus Dur ini terjadi selang waktu 20 Oktober 1999 hingga 23 Oktober 2002, yaitu ketika Gus Dur menyandang predikat Presiden Republik Indonesia ke-4. Ketika zaman online tiba, narasi itu juga berubah bentuk, dari cetak menjadi virtual. Sampai tahun 2013 ketika mengetik kata kunci Gus Dur, maka yang muncul adalah narasi kebencian. Alhamdulillah, sekarang ini, berkat kerja keras netizen santri, narasi Gus Dur yang positif lebih banyak.
Berbeda dengan pemimpin-pemimpin yang biasa berbahagia setelah periode kedua, Gus Dur justru dihujani ujian dan tantangan yang bertubu-tubi. Misalnya, tidak lama setelah muktamar Krapyak, guru tercintanya Kiai Ali Maksum, yang selama ini selalu memberi pengayoman, wafat. Tidak lama kemudian Kiai Achmad Shiddiq menyusul, lalu ibundanya sendiri, Nyai Sholichah wafat, Oktober 1994, beberapa bulan sebelum muktamar NU yang memberatkan di Cipasung, Desember 1994.
Narasi-narasi kebencian pada Gus Dur, bagi orang-orang yang menciptakannya, bukanlah tanpa dasar. Mereka menunjukkan “bukti-bukti” yang seakan-akan benar, Gus Dur memang ke gereja, sering runtang-runtung dengan tokoh-tokoh agama, mengganti salam dengan selamat pagi, membela Arswendo Atmowiloto, mengunjungi Israel, membela perkawinan Konghucu, dan masih banyak lagi. Tidak sedikit para kiai, internal NU ikut hanyut dengan narasi-narasi yang sebagian besar datang dari luar komunitas NU itu. Sebagian kiai-kiai NU meminta tabayun, sebagian yang reaktif langsung ikut menghakimi Gus Dur. Suasana kontroversi Gus Dur terekam dalam sebuah buku berjudul “Gus Dur Diadili Kiai-Kiai” (Jawa Pos, 1989) terbit menjelang muktamar Krapyak, 1989.
Meskipun demikian, pertanyaan di atas tidak melulu keliru dalam artian bagaimana Gus Dur memposisikan dirinya di tengah-tengah umat Islam, bahkan di lingkungan Nahdliyin atau pesantren. Tidak sedikit opini Gus Dur, baik dalam kesempatan berceramah ataupun di dalam tulisan-tulisannya, sengaja mengambil jarak, antara dirinya dengan umat Islam, termasuk lingkungannya sendiri. Semisal mengganti ucapan salam dengan selamat pagi, selamat siang, dan seterusnya. Ini yang membuat Kiai As’ad Syamsul Arifin memisahkan diri. Begitu juga istilah “Pribumisasi Islam”, reaksinya lebih-lebih. Lalu Gus Dur menolak adanya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, dengan alasan organ baru yang dibidangi Habibie (kala itu Menristek) berbau sektarian. Gerakan khittah —NU tidak berpartai— pasca muktamar NU di Situbondo tahun 1984 juga memicu sinisme dari para politisi PPP, yang tak lain sebagian besar orang NU.
Namun Gus Dur bergeming. Dia seakan tidak memperhatikan suara-suara tentang dirinya. Pada suatu ketika bahkan Gus Dur melontarkan pernyataaan dengan nada keras. “Jangankan ditinggal satu dua orang, ditinggalkan semua orang NU pun tidak masalah. Saya akan maju terus.,”
Seperti saya singgung di atas bahwa ada forum pengadilan Gus Dur di Pesantren Darut Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat. Hari Jumat pekan kemarin, saya bertemu Kiai Husain Muhammad (di acara Lesbumi) yang menemani Gus Dur di acara tersebut. Saya bertanya suasana saat kiai-kiai “memejahijaukan” Gus Dur.
“Sebelumnya ramai sekali. Gus Dur dihujani pertanyaan-pertanyaan berat-berat seputar ceramah di gereja, dan lain-lain. Tapi Gus Dur mampu menjawab semuanya dengan baik. Dan rasa-rasanya tidak ada kiai yang kecewa,” terang Kiai Husain.
Lalu untuk apa Gus Dur ngotot begitu?
Pertama, Gus Dur menggulirkan wacana pembaruan dalam Islam. Ijtihad, kalau dalam bahasa ushul fikih. Gus Dur bicara pribumisasi Islam, wacana pemimpin perempuan, tafsir, fikih, budaya, dialog antaragama, dan lain sebagainya. Dalam soal ini Gus Dur ngotot sekali. Tetapi argumentasinya kuat dan sistematis. Juga bisa diruntut dari akar tradisi intelektual Islam.
Kedua, Gus Dur menunjukkan dan sekaligus mendidik umat Islam, umat Islam dewasa, dan warga negara Indonesia secara umum, bahwa berbeda dan perbedaan adalah hal yang wajar saja, tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Itu semua sah dalam Islam.
”Saya ingin kaum muslimin ini mendewasakan diri dalam pandangan agama mereka sendiri,” demikian Gus Dur menjawab pertanyaan wartawan Editor terkait keributan majalah Monitor dan Arswendo Atmowiloto.
Dalam konteks sosial politik Orde Baru, yang dibungkam, diseragamkan, bahkan direpresi, Gus Dur mendorong demokratisasi. Tidak kalah ketika melontarkan diskursus Islam, Gus Dur juga ngotot dalam soal demokrasi ini.
Ketiga, Gus Dur juga punya pandangan bahwa masyarakat Islam, termasuk NU, harus independen, mandiri, dan punya daya tahan. Bahkan wacana masyarakat sipil itu dilontarkan Gus Dur saat jadi presiden, dengan membubarkan departemen penerangan dan departemen sosial. Gus Dur berkeyakinan bahwa penerangan dan sosial itu ranahnya masyarakat. Jika ditangani pemerintah akan mudah terjadi penyelewengan.
Dalam sebuah tulisan untuk memberi kata pengantar buku berjudul Kitab Kuning karya Martin van Bruinessen (1994), Gus Dur menyinggung soal “daya tahan umat”. Di sinilah saya memahami posisi Gus Dur. Saya kutipkan kalimatnya:
“….saya rasa betapa penting peranan kajian yang dilakukan oleh para pakar, semisal Martin van Bruinessen, dalam menggugah daya tahan umat Islam dari gempuran internal dan eksternal.”
Kalimat di atas saya pahami sebagai ungkapan rasa sayang dan sebentuk perhatian Gus Dur pada agamanya sendiri, pada Islam dan umatnya, dengan cara mendidik, bukan membela, tetapi kosong belaka.
5 Desember
Tambun-Solo