Hari santri, siapa yang ingat petani? Saya juga tidak ingat! Hanya saja, saya ingat, Hari Santri tahun lalu, 2016, dalam perjalanan menggunakan sepeda motor, Lamongan ke Gresik, saya lewat sawah-sawah yang menghampar, sebagian padinya baru saja dipanen, sebagian baru lagi mulai menguning.
Jadilah saya ingat almarhum bapak yang menghidupi anak-anaknya dengan dunia pertanian. Jadilah ingat, kalau panen halaman Rumah tertutup padi yang sedang dijemur. Jadilah ingat jika sudah masuk kantong-kantong, padi-padi ditumpuk di ruang tamu, singgah sebentar sebelum disusun di rumah bagian belakang. Dapur kami, di kampung, ukurannya cukup besar, yang salah satu fungsinya sebagai lumbung padi. Dari situ, kami keluarga santri hidup.
Sebelum ke Gresik, pada malamnya, malam hari hari santri, malam membaca salawat Nariyah berjamaan, saya berada di Lampongan, tepatnya di pesantren Maslakul Huda.
Pesantren itu, halaman belakangnya bukan kebun, atau lapangan sepak bola, tapi laut Jawa. Tembok pesantren dibelai-belai ombak laut tiada henti, kecuali sedang surut.
Kaum santri yang geografisnya di pinggir lautan, tentu saja hidupnya dengan hasil laut. Sepanjang laut Jawa, yang melintasi banyak kabupaten, jutaan kaum santri berada, utamanya sejak Subang, Indramayu, Cirebon, terus ke Jawa Tengah, Brebes, Tegal, hingga Pati, Rembang, terus hingga jawa Timur, dari Tuban Lambongan, Gresik, Sidoarjo hingga Surabaya.
Bapak-bapak dan ibu-ibu yang keterampilannya berdagang, pasar menjadi tumpuan. Sedikit sekali kaum santri yang menjadi pegawai negeri, dahulu. Lebih khusus masa Orde Baru, 32 tahun lamanya. (Tentu saja, dalam tulisan ini saya menggunakan istilah santri dalam pengertian terbatas: santri tradisional, NU. Bukan santri dalam pengertian tiap orang Muslim yang salat, dll. Orang yang salat, kata Gus Dur, itu santri, tentara sekarang banyak yang santri. Ingat juga Clifford Geertz).
Kaum santri, secara khusus yang berlatar belakang NU, sedikit sekali jadi pegawai di KUA, lebih sedikit jadi kepala KUA. Jadi dekan jadi rektor, mungkin tidak ada, di zaman Orba. Bukan karena masih terngiang fatwa Kiai Abdul Wahab Hasbullah, “Menjadi ‘ambtenaar’ berarti dukung Londo. Jadi ambtenar, antum Fin naar, sampean di neraka.” Ambtenaar, bahasa Belanda, artinya pegawai.
Berpuluh tahun kaum santri bernafas dari hasil bumi, laut, dan perdagangan. Tradisi keislaman, khazanah pesantren, ritual keagamaan dinamis karena sumber-sumber penghidupan hasil laut, hasil bumi, dan berdagangan (di laut, sawah, dan pasar, kaum santri bertemu dengan golongan rakyat lain, yaitu kaum abangan).
Tahlilan gayeng, Manaqiban semangat, Maulidan meriah, semuanya karena bumi, laut, dan pasar. Berangkat ke pesantren bawa beras, sowan Kiai bawa bandeng atau bawang merah, hingga ritual keagamaan yang berlimpah makanan. Bahkan, sistem pembayaran pesantren menggunakan hasil bumi (yang tergambar di film Sang Kiai bagian-bagian awal). Bagaimana hari ini?
Hari ini tentu saja berubah. Sumber penghidupan bermacam-macam. Seribu satu cara ada. Menjadi pegawai negeri biasa. Menjadi dosen, peneliti, penulis bahkan rektor mafhum. Kaum santri pasca orba runtuh memenuhi kursi-kursi empuk duduk di jabatan politis, DPR di semua tingkatan, bupati, gubernur, menteri, hingga presiden pun pernah. Bahkan dalam 10 tahun terakhir ini, bermunculan kaum santri yang menjadi pelukis, desainer, komikus, sutradara, webmaster, pekerjaan-pekerjaan yang tidak terbayang oleh para orangtua mereka.
Semua pekerjaan itu menandakan bahwa kaum santri telah mengalami perubahan besar. Banyak faktor yang bisa disebut, mengapa perubahan terjadi. Tiga faktor penting yang tidak bisa dilupakan adalah, perubahan politik, jalur pendidikan yang makin beragam, dan urbanisasi. Perubahan-perubahan ini dapat dibaca dengan sudut pandang berbeda-beda.
Nah, faktor-faktor inilah, perkara penting yang harus dipikirkan bersama, oleh kaum santri. Setidaknya pertanyaan-pertanyaan sederhana harus kita lontar. Apakah kaum santri sudah merasa menang secara politik dengan menjadi menteri, menjadi pegawai negeri, menjadi bupati, menjadi anggota DPR, menjadi anggota KPU, KPI, KIP, Komnas HAM, Komnas Perempuan, konsultan ini dan konsultan itu, menang dengan ditetapkannya hari santri, bangga dengan kunjungan Presiden Jokowi ke pesantren tiap bulan?
Apakah pesantren sudah merasa sukses dengan adanya sekolah-sekolah, kampus-kampus, dan anak-anaknya sudah berhasil menjadi sarjana hingga tingkat tertinggi, hingga mendapat gelr akademik seperti professor?
Apakah kaum santri sudah terpuaskan dengan keberhasilan urbanisasi, hidup di kota dengan aneka fasilitas dan gaya hidupnya?
Pertanyaan-pertanyaan sederhana itu, sangat sederhana, mungkin bisa kita refleksikan bersama. Sudah serasi atau belum semua pernak-pernik kehidupan santri dengan nilai-nilai yang selama ini menjadi inti dari kaum santri nilai keagamaan, nilai kemasyarakatan, nilai kebangsaan.
Khusus nilai kebangsaan ini, kaum santri harus berpikir keras. Apakah hubbul wathan minal iman yang diterjemahkan oleh Kiai Said Aqil Siroj dengan nasionalisme (bukan cinta tanah air) sebagian dari iman, sudah merasa selesai dengan “mewiridkan” NKRI saban hari di acara-acara, di meme, di media sosial, dan lain-lain? Apakah akan resah dengan kritikan bahwa negeri ini sudah dikuasai korporasi-korporasi, para politisi busuk, kaum birokrat dengan mental Orba, perkembangan pendidikan dan kebudayaan yang terombang-ambing?
Di samping soal nasionalisme itu, ya kita juga perlu refleksi yang kecil-kecil bahwa kaum santri, tidak boleh merasa sukses karena sendiri dengan fasilitas di rumah pepak, semua ada, semua mudah. Kita sebagai pribadi, sebagai keluarga sebagai anggota komunitas di lingkungan masing, masing, sebagai SANTRI ZAMAN NOW, harus tetap melestarikan tradisi lama yang masih baik, dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.
keren banget min