Hajriansyah
Penulis Kolom

Penulis Sastra. Meminati seni dan dunia sufi

Ziarah, antara Praktik dan Imajinasi

Kali ini kami menziarahi makam seorang wali yang dalam cerita lokal dianggap sezaman dengan Datu Kalampayan (Syekh Arsyad). Ia adalah murid termuda dari Datu Syuban, yang makamnya akan menjadi destinasi terakir perjalanan ziarah kami hari itu.

Konon ia berasal dari Aceh, pewaris Kitab Barencong yang diterima Datu Syuban dari Datu Nuraya orang Damaskus. Kitab itu sendiri berisi ajaran tasawuf tentang ketuhanan yang dekat dengan paham Wahdatul Wujud.

Saya pernah sekali ikut pengajian Kitab Barencong ini di Pesantren Ushuluddin Tambak Anyar, kabupaten Banjar, oleh Tuan Guru Juhran Erfan Ali. Seingat saya tulisannya menggunakan huruf Arab Melayu, dan yang dibagikan kepada jemaah berbentuk lembaran fotokopian.

Datu Sanggul dalam cerita rakyat konon mendapatkan sobekan Kitab Barencong yang membicarakan paham ketuhanan, sedangkan sobekan lainnya yang berisi pelajaran fikih menjadi milik Datu Kalampayan. Kitab itu sendiri, katanya, awalnya utuh, yang oleh Datu Syuban dipotong barincung (dipotong diagonal miring). Ini satu versi dari tradisi lisan tentang Kitab Barincung (dalam dialek Banjar Hulu), sedangkan versi lain menyebut Barencong karena asalnya dari Tanah Rencong Aceh. Komplek makam Datu Sanggul sendiri relatif besar, lebih besar dari makam Datu Nuraya dan guru Datu Sanggul sendiri, yaitu Datu Syuban.

Dari makam terakhir ini kami menuju ke jalan raya lagi, lalu menuju arah ke Hulu Sungai tapi tak sampai Kandangan. Masih di kabupaten Tapin. Dari jalan raya membelok ke sisi seberang arah masuk makam sebelumnya. Konon makam Datu Syuban bukanlah tempat jasad sang datu disemayamkan. Kubah itu hanya penanda, bahwa di situ Datu Syuban pernah berkata pada murid-muridnya, “jika ajaranku benar (haqq), maka tubuhku nanti akan hilang di atas batu ini.”

Baca juga:  Masjid Wadi Al Husein, Saksi Islamisasi di Thailand

Ya, Datu Syuban dianggap “moksa”. Ruhnya menarik jasadnya yang suci lesap menuju pangkuan Rabbul ‘Izzati.

Begitulah makam-makam wali, adalah tempat berkumpul segala harap akan barokah. Kecuali pada makam Habib Hamid dan Guru Sekumpul, di sana ada pengemis, penjual kembang, orang-orang yang bernazar; orang-orang papa dan berpengharapan yang, menurut Chambert-Loir dan Guillot, merasa mendapat tempat akan kesucian yang berpadu dengan kecenderungan ritus tertentu karena malas sembahyang.

Pendapat terakhir bisa jadi disimpulkan editor buku Ziarah dari para pengkritik ziarah kubur. Menurut saya tak tepat betul begitu. Jemaah yang saya kenal umumnya adalah pengurus langgar atau masjid, juga ibu-ibu Yasinan, yang saya kira rajin salat dan rutin mengikuti majelis taklim. Mereka orang-orang yang (berusaha) taat kepada Tuhan dan tuan guru (sebagai pewaris Nabi). Mereka bukan tipe abangan seperti di Jawa.

Kalaupun ada yang setipe dengan abangan di Jawa, saya kira jumlahnya di Kalimantan Selatan sangatlah kecil. Jemaah semacam ini tidak mendapat ruang yang cukup luas untuk melakukan praktiknya, atau paling tidak tak berani terang-terangan.

Ya, saya pernah pula ikut ziarah tengah malam. Ziarah semacam ini biasanya lebih bernuansa kebatinan. Di makam Datu Abulung, wali yang dianggap mirip Syekh Siti Jenar atau al-Hallaj, sesudah mengucap salam, bertahlil serta berdoa, kami duduk di amben depan makam. Seorang yang tampak seperti juru kunci menyediakan kopi untuk para peziarah. Melihat rombongan kami yang lebih tipikal santri (dengan sarung dan baju takwa), ia tak melanjutkan pembicaraannya kepada beberapa orang yang sebelumnya terdengar bernuansa kebatinan.

Baca juga:  Perjalananku ke Muktamar Tarekat

Syekh Abdul Qadir al-Jilani dalam al-Ghunyah bab Adab, terkait adab di pemakaman, menyatakan bahwa terlarang meletakkan tangan di atas makam dan menciuminya, juga rebahan dan berlaku tidak sopan lainnya. Hendaklah (bagi si peziarah) bersikap hormat, katanya, seolah-olah (yang berkubur) masih hidup.

Ritus ziarah memang macam-macam, tapi umumnya yang saya tahu adalah dimulai dengan mengucap salam. Salam kepada para wali di tanah Banjar rata-rata sudah ditulis atau berbentuk kopian yang dilaminasi dan digantung di sisi makam. Dan salamnya rata-rata seragam. Saya tak tahu pasti sumber pasti salam yang dimulai dari kalimat Salamullah Ya Saadah (keselamatan dari Allah untukmu, wahai Tuan) ini, tapi saya menemukannya (beserta terjemahnya) dalam buku kecil Sabil ash-Shalihin fi Tartib Ziyarah al-Qubur yang disusun Husin Nabil (hal. 156-161).

Sesudah salam yang disyairkan itu biasanya pemimpin ziarah mengambil posisi duduk, yang diikuti jemaah. Jika waktunya panjang begitu, lalu dilanjut membaca Yasin dan tahlil serta doa. Jika hanya sebentar langsung membaca ‘Fatehah Empat’ (surah al-Fatihah plus al-Iklas, al-Falaq dan an-Nas) lalu doa sambil berdiri saja.

Para wali atau tuan guru yang telah lama meninggal umumnya disebut Datu (tidak pakai “k”, tapi melafalkannya sama saja dengan “datuk”). Sebutan ini bagi masyarakat Banjar tidak hanya untuk para tuan guru, tapi juga untuk menyebut roh halus atau leluhur yang dianggap meninggali tempat-tempat tertentu. Maka tak heran, jika ada orang yang akan kencing di tempat sepi atau di pinggir sungai yang gelap kemudian mengucap, “Datu, Datu, ulun (saya) minta ijin kencing.”

Baca juga:  Jejak-Jejak Yahudi di Negeri Syiah

Perjalanan ziarah hari itu, sampai ke Datu Syuban, makan waktu dari pagi sampai malam menjelang Isya. Pada beberapa makam dipakai ritual yang panjang, sedangkan pada sebagian besar cukup dengan salam, fatehah empat dan doa. Sebenarnya makam wali di tanah Banjar masih terbentang hingga ke kabupaten Tabalong (di sini ada makam Datu atau Syekh Nafis al-Banjari) dan ke ujung lainnya Pagatan dan Kotabaru. Yang kami kunjungi hanya sebagian kecil saja, dan itu adalah rute umum yang lazim diziarahi orang Banjar secara berurutan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top