Sedang Membaca
Retno Marsudi, Palestina, dan Kepemimpinan Perempuan dalam Diplomasi
Gifari Juniatama
Penulis Kolom

Gifari Juniatama adalah penulis lepas dan peneliti independen. Meminati kajian sosial, agama, dan budaya. Saat ini tinggal di Tangerang. Dapat dihubungi melalui akun instagram @gifarijuniatama atau akun facebook Gifari Juniatama.

Retno Marsudi, Palestina, dan Kepemimpinan Perempuan dalam Diplomasi

Img 20241004 Wa0046

Pada sebuah sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan pada Agustus 1947, lima orang lelaki dipotret dalam pose yang ikonik dan gambar itu kemudian menjadi simbol diplomasi Indonesia yang sering dibicarakan. Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Soedjatmoko, Soemitro Djojohadikusumo, dan Charles Tambu adalah lima orang yang ada dalam gambar tersebut. Kuatnya citra foto itu dalam ingatan dan persepsi publik setidaknya menggambarkan adanya sebuah dominasi maskulin dalam wacana diplomasi Indonesia.

Popularitas gambar para diplomat Indonesia itu sering dikaitkan dengan narasi heroisme perjuangan kemerdekaan lewat politik duduk. Namun pada sisi lain, hal ini juga menunjukkan ketiadaan ruang bagi peran perempuan dalam wacana perjuangan diplomasi kemerdekaan. Bukan hanya pada era awal berdirinya negara, dalam episode kekuasaan rezim-rezim selanjutnya, peran perempuan dalam diplomasi tetap minim mendapat tempat.

Dalam literatur sejarah diplomasi Indonesia, posisi kepemimpinan politik luar negeri lebih banyak diisi oleh narasi tentang peran laki-laki, dan ruang bagi perempuan sangat terbatas. Karya yang ditulis oleh Ide Anak Agung Gde Agung (1973), Michael Leifer (1983), atau Kevin Fogg (2015) yang menyoroti diplomasi pada masa awal kemerdekaan tidak memberi cukup tempat bagi peran perempuan dalam perjuangan diplomasi negeri ini. Manuver diplomasi selama era Orde Baru yang ditulis oleh Rizal Sukma (1995), Leo Suryadinata (1998), dan Banyu Perwita (2007) juga menunjukkan hal yang sama.

Wajah diplomasi Indonesia tidak banyak berubah pada masa awal reformasi, kajian politik luar negeri yang ada pada umumnya tidak banyak membicarakan peran perempuan. Bahkan saat Megawati Soekarnoputri menjadi presiden, perempuan tetap tidak banyak mendapat tempat di garis depan kerja diplomasi. Sebagai gambaran tentang masih terbatasnya peran perempuan selama era Megawati, bisa dilihat dari jumlah duta besar perempuan yang hanya sebanyak 7 orang di antara 68 duta besar laki-laki.

Peran diplomasi perempuan nampaknya lebih banyak dilakukan dalam aspek diplomasi kebudayaan dan bukan pada pengambil keputusan penting. Peran sebagai aktor diplomasi kebudayaan ini dijalankan dalam berbagai bentuk seperti agen budaya atau dalam program pertukaran budaya dengan negara-negara mitra Indonesia. Adapun dalam level konferensi internasional, peran diplomatik perempuan Indonesia hanya terlihat dalam gelaran konferensi khusus perempuan seperti Konferensi Perempuan Asia-Afrika atau Konferensi Perempuan Muslim Asia-Afrika.

Baca juga:  Aisyiyah, Pionir Kesadaran Keindonesiaan

Tonggak baru dalam hal peran perempuan dalam politik luar negeri baru terjadi pada tahun 2014. Retno Marsudi kala itu ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri. Proporsi diplomat perempuan yang menempati pos jabatan duta besar juga ikut meningkat selama periode kepemimpinan Retno, meskipun belum sampai titik yang seimbang dari sisi jumlah.

Selama menjadi Menlu, Retno memilih isu Palestina sebagai salah satu prioritas kerja diplomasi Indonesia. Langkah yang membuahkan hasil karena kemudian dirinya mendapat  banyak mendapat apresiasi dalam bentuk penghargaan. Pada awal Oktober lalu misalnya, Menlu Retno menerima penghargaan MUI Diplomacy Mujahidah Award dari Majelis Ulama Indonesia atas jasa-jasanya dalam bidang diplomasi, terutama dalam kasus Palestina.

Retno Marsudi juga mendapat penghargaan “Star of Merit of the Order of the State of Palestine” pada Agustus lalu dari otoritas Palestina atas jasa-jasanya dalam mendukung perjuangan rakyat Palestina. Capaian yang didapat olehnya ini setidaknya menggambarkan bahwa kerja diplomasi yang dilakukannya dalam isu Palestina cukup menonjol dan berdampak besar. Hal ini mungkin bisa membuka diskusi tentang bagaimana karakter luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan perempuan serta apa perbedaannya dibandingkan dengan kepemimpinan laki-laki.

Isu Palestina dalam Satu Dekade Terakhir

Posisi penting isu Palestina dalam periode Retno sudah nampak terlihat sejak awal. Dalam KTT Asia-Afrika 2015 di Jakarta, Indonesia dengan tegas memposisikan diri sebagai negara yang paling depan dalam isu Palestina di regional Asia-Afrika. Konferensi tersebut menghasilkan tiga dokumen penting tentang kerja sama luar negeri negara-negara di Asia dan Afrika, salah satunya adalah “Declaration on Palestine” atau bisa dikatakan sebagai “Deklarasi Kemerdekaan Palestina.” Dalam deklarasi tersebut, terdapat 15 poin penting yang berisi komitmen dukungan dari para pemerintahan di Asia dan Afrika terhadap upaya pemenuhan hak kemanusiaan bangsa Palestina.

Manuver diplomatik yang sama dilakukan dalam KTT OKI di Jakarta pada tahun 2016. Dalam konferensi yang dihadiri oleh 500 delegasi dari 49 negara tersebut Menlu Retno menyatakan, “dalam pertemuan OKI ini kita bersepakat, OKI harus bersatu untuk memberikan dukungan kepada Palestina… dan kita juga bersepakat, kebutuhan atau pentingnya mengembalikan isu Palestina kembali ke dalam radar perhatian internasional.”

Baca juga:  Adil Terhadap Perempuan (1): Sahkan RUU TPKS Segera!

Bukan hanya dalam kerangka diplomasi multilateral, komitmen Indonesia pada Palestina juga ditunjukkan dengan pembukaan Konsul Kehormatan (Konhor) di Ramallah, Palestina pada tahun 2016. Langkah diplomatik tersebut bisa dilihat sebagai bentuk penegasan komitmen dukungan Indonesia kepada Palestina. Keteguhan Retno dalam isu Palestina ini terlihat dalam proses peresmian Konhor yang sulit karena sempat terhadang oleh militer Israel. Dalam peresmian Konhor ini, Retno tidak bisa langsung datang ke Ramallah karena helikopter militer Yordania yang ditumpanginya tidak mendapat izin terbang dari Israel. Sehingga pelantikan dilakukan di Amman, Yordania.

Langkah diplomatik Retno dalam tahun-tahun awal kepemimpinannya di Kementrian Luar Negeri ini nampak hendak menunjukkan intensi politik untuk membangun citra positif Indonesia di mata dunia. Pada sisi lain, dukungan pada Palestina ini memiliki dampak juga pada politik domestik. Karena isu Palestina di Indonesia sering dihubungkan dengan isu agama, maka respons positif atas isu Palestina akan menunjukkan bahwa pemerintah memiliki sikap yang ramah pada isu agama dan perdamaian.

Bukan hanya dalam diplomasi formal di level pemerintahan, Menlu Retno juga aktif dalam praktik diplomasi publik yang salah satunya bisa dilihat pada kehadirannya ikut dalam Aksi Bela Palestina yang diadakan di Monas pada 5 November 2023 lalu. Hal ini semakin menunjukkan sebuah upaya pendekatan yang lebih persuasif dalam isu Palestina dan pemerintah berusaha mengkomunikasikannya kepada masyarakat luas.

Kepemimpinan Perempuan dalam Diplomasi

Kehadiran Retno sebagai seorang pimpinan dalam kerja-kerja diplomatik merupakan terobosan baru dalam politik luar negeri Indonesia. Setelah sebelumnya jabatan menteri luar negeri selalu dijalankan oleh laki-laki, kepemimpinan perempuan dalam perumusan kebijakan luar negeri bisa memberikan nuansa baru dan jika berkaca pada beberapa negara yang menempatkan perempuan sebagai menteri luar negeri, biasanya menghasilkan produk kebijakan yang lebih berperspektif inklusif karena menambahkan sensitivitas gender dan beberapa isu lain yang terabaikan oleh pimpinan laki-laki.

Baca juga:  Perempuan Itu Penulis

Studi yang dilakukan oleh Inter-Parliamentary Union (IPU) pada 2008 menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan dalam merespons isu global cenderung memiliki pendekatan dan prioritas yang berbeda dari kepemimpinan laki-laki. Seorang pimpinan perempuan akan memberikan sudut pandang yang lebih baik dalam memandang kebutuhan perempuan dalam isu sosial maupun pembangunan.

Dalam merespons konflik, kepemimpinan perempuan dalam diplomasi juga memiliki cara yang relatif berbeda dengan apa yang biasanya dirumuskan oleh para lelaki. Anne Marie Goetz dan Anne-Kristin Treiber (2012) menjelaskan bahwa perempuan punya pengalaman yang berbeda dalam merespons konflik. Kepemimpinan perempuan dalam menghadapi konflik memberi cara pandang yang lebih luas dan inklusif terhadap aspek-aspek yang ada dalam sebuah konflik. Pendekatan politik dan ekonomi yang dipilih biasanya lebih mengutamakan tujuan perdamaian.

Dengan adanya kelebihan dalam pengambilan keputusan luar negeri yang dilakukan oleh menteri luar negeri perempuan, maka tidak terlalu mengherankan jika dalam satu dekade belakangan terjadi tren yang cenderung positif dalam hal pemberian ruang bagi perempuan dalam kepemimpinan politik luar negeri. Hal ini juga diikuti oleh semakin banyak negara yang memproduksi kebijakan luar negeri yang lebih sensitif pada isu perempuan.

Menurut Karin Aggestam dan Jacqui True (2020), perkembangan kebijakan luar negeri yang mengikuti norma pro-gender merupakan sebuah kemajuan berarti di tengah situasi “buta gender” dalam bidang diplomasi. Tren ini perlu untuk dilanjutkan karena dalam perumusan kebijakan luar negeri terjadi semacam kontestasi wacana dengan terjadinya tarik menarik isu perempuan dalam prioritas isu global.

Selama periode kepemimpinan Retno di Kementerian Luar Negeri, diplomat karir ini telah memberikan nuansa berbeda pada politik luar negeri Indonesia. Perannya menjadi semakin sentral, karena Presiden Joko Widodo tidak terlalu aktif di panggung politik internasional. Maka tidak berlebihan jika kredit positif diberikan pada Retno atas citra positif Indonesia di pergaulan bangsa-bangsa. Kini, wajah politik luar negeri di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto nampak memiliki agenda dan karakter yang berbeda. Pengaruh perempuan dalam diplomasi sepertinya akan kembali berkurang seperti waktu-waktu yang telah lalu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top