Sedang Membaca
Ekologi, Perubahan Sosial, dan Hukum Islam
Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Tinggal di Yogyakarta.

Ekologi, Perubahan Sosial, dan Hukum Islam

Ekologi Lingkungan

Perbincangan tentang ekologi mengenai kerusakan alam menjadi topik yang sangat hangat didiskusikan bersama-sama dewasa ini. Hal itu dapat kita lihat bagaimana antusiasme masyarakat Indonesia membincang ihwal krisis lingkungan yang akan mengancam kelestarian alam, seperti terjadinya bencana, ekploitasi alam, penimbunan sampah, dan sebagainya yang diakibatkan oleh perlakuan buruk masyarakat.

Mulai dari diadakannya acara-acara diskusi seperti seminar atau komunitas peduli lingkungan yang perlu kita apresiasi secara lebih. Hal tersebut menunjukkan bahwa “alam sedang demam”. Karena kurangnya kesadaran kolektif manusia dalam melestarikan lingkungan.

Ada banyak faktor yang menyebabkan rusaknya ligkungan. Secara umum, kerusakan lingkungan diakibatkan oleh dua faktor, yang pertama kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh alam itu sendiri. Dengan kata lain, bencana alam yang manusia sendiri tidak memiliki kuasa atasnya, seperti gunung meletus dan tsunami. Kedua, kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh perbuatan manusia, seperti mengekploitasi alam secara berlebihan, penimbunan sampah plastik dan kurangnya kesadaran masyarakat sendiri dalam merawat alam.

Kerusakan ini juga diakibatkan oleh perubahan sosial masyarakat modern yang cenderung materialistis dan mengedepankan gaya hidup tanpa memikirkan apa dampak yang akan terjadi kepada alam. Seperti meningkatnya penggunaan limbah makanan plastik, yang mana Indonesia termasuk negara ke 3 penghasil limbah plastik terbesar di dunia. Dan pengeksploitasian alam yang berlebihan, seperti tambang fosfat (Contohnya di Daerah Madura) yang itu akan mengakibatkan krisis air bagi masyarakat luas jika terus dibiarkan.

Dengan begitu, perubahan sosial masyarakat modern telah memaksa kita untuk menanamkan kesadaran bahwa pentingnya melestarikan alam tempat kita hidup. Membiarkannya berarti kita sedang merusak diri sendiri. Karena alam sebenarnya bagian dari umat manusia. Ia adalah sesuatu yang hidup, yang bernyawa, bukan benda mati seperti yang kita ketahui selama ini.

Baca juga:  Sebuah Ikhtiar Mencegah Radikalisme di Masjid

Pohon, mata air, batu, tanah, itu adalah saudara kita yang selama ini berfungsi sebagai kelangsuungan kehidupan kita. Dan mirisnya, kebanyakan masyarakat menganggap bahwa alam adalah sesuatu yang eksternal, bukan bagian dari kita. Dengan paradigma itulah kemudian yang menjadikan masyarakat menjadi sangat gampang untuk mengeksploitasi dan mengeruk alam secara berlebihan. Dan tanpa menyadari manusia tidak akan bisa hidup tanpa menghirup oksigen dari alam.

Dari dulu kita selalu dihadapkan oleh penyampaian-penyampaian keagamaan yang berpusat kepada Tuhan (teosentris) dan kehidupan sosial manusia (antroposentris). Beberapa tahun belakangan baru bermunculan istilah selain teo-antroposentris yaitu ekosentris (alam sebagai pusat) yang disampaikan melalui diskusi maupun buku. Hal ini telah menunjukkan adanya kesadaran—setidaknya para akademisi–dalam melihat alam saat ini. Tanpa menyadari ayat-ayat keagamaan yang menganjurkan pada pelestarian lingkungan sebenarnya sudah terdapat dalam Al-Quran dan Hadits Nabi.

Dalam Al-Quran Allah berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 56: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Sampai diperkuat oleh Hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim tentang menanam pohon dan sedekah yang agak jarang terdengar itu: “Tidaklah seorang muslim menanam tanaman, kemudian tanaman itu dimakan oleh burung, manusia, ataupun hewan, kecuali baginya dengan tanaman itu adalah sedekah”. Maka, dengan adanya dalil keagamaan tersebut sangatlah cukup bagi umat muslim untuk ikut andil dalam merawat lingkungan.

Baca juga:  Pendidikan Pesantren (5): Konsep Keteladanan dalam Pesantren

Dengan berdasar pada dalil paling utama (fundamental dogmatic) umat muslim yaitu Al-Quran dan Hadits itulah sebagai umat muslim yang baik seharusnya menerapkan apa yang telah diajarkan di dalamnya.

Perubahan Sosial Ditinjau Dari Sosio-Antropologi

Jika ditinjau dari aspek sosiologi, masyarakat modern lebih bersifat materialistik dan individualistik. Tak dapat dipungkiri hal tersebut diakibatkan oleh kemajuan teknologi digital yang membuat mereka tenggelam ke dunia maya, lantas kurang perhatian pada kehidupan nyata. Alih-alih perhatian pada kerusakan lingkungan, masyarakat saat ini lebih mengutamakan gawai daripada berinteraksi dengan manusia lain secara langsung.

Berbeda dengan masyarakat zaman dulu yang lebih banyak berinteraksi dengan manusia lainnya secara langsung dan penghormatan kepada alam yang begitu kuat, seperti pemberian sesajen kepada pohon besar yang berumur ratusan tahun, petik laut, selamatan padi sebelum panen dan sebagainya. Berbeda dengan saat ini, jiwa sosial masyarakat mulai terkikis digantikan dengan kehidupan sosial di dunia maya. Maksudnya adalah kesalahan bukan terletak pada kemajuan teknologinya, melainkan pada terenggutnya kesadaran kita kepada kehidupan sosial dan alam.

Begitupun dari aspek antropologi, jika manusia dulu kebudayaannya lebih bersifat pada kesenian dan tradisi yang ada di dalam masyarakat, seperti wayang misalnya. Meskipun ada beberapa tradisi yang masih lestari sampai saat ini. Tapi kekhawatiran itu akan terus tumbuh selama zaman terus bergerak maju, sementara kesadaran kita kepada alam semakin memburuk. Di zaman modern ini kebudayaan masyarakat beralih ke dalam gawai, termasuk viralitas yang menjadi unsur  utama mengapa masyarakat modern lebih cenderung eksis di media sosial.

Baca juga:  Menemukan Keagamaan dan Kemanusiaan di Tengah Kecepatan

Dari aspek sosio-antropologi itu kita dapat kembali membaca bahwa masyarakat telah mengalami perubahan sosial yang tidak dapat kita cegah, alih-alih menolaknya. Tugas masyarakat sekarang adalah bagaimana mengikuti dinamika kehidupan beserta permasalahannya tanpa tenggelam ke lubang yang membuat kita lupa akan pentingnya menjaga relasi baik kepada alam sekitar, hewan dan tentu saja manusia. Dan sebagai umat muslim, bagaimana hukum Islam dapat membumi ke segala lapisan masyarakat mengenai ekologi, sehingga pengetahuan tentang kerusakan lingkungan mudah diterima. Indonesia merupakan negara yang penganut keagamaannya begitu kuat, dan oleh sebab itu peran agama dalam menyelesaikan masalah ekologi sangat baik untuk dilakukan.

Masalah ekologi dan perubahan sosial memang tidak dapat dihindarkan. Seperti waktu ia terus bergerak maju. Dan Islam sebagaimana ajarannya dalam Al-Quran selalu relevan sepanjang zaman dalam merespon segala permasalahan yang dihadapi umat. Islam memiliki peluang yang sangat signifikan dalam menyelesaikan permasalahan ekologi ini. Tergantung sejauh mana dalil-dalil keislaman mengenai ekologi itu membumi ke segala lapisan masyarakat, sehingga semua orang dapat ikut andil dalam merawat alam. Ketika hal itu berhasil diterapkan oleh semua kalangan masyarakat, Islam semakin menunjukkan kemaslahatannya. Dan karena itu, Islam memang agama yang rahmatan lil ‘alamin.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top