Sedang Membaca
Solo Trip: Ngaji dan Ngopi di Solo

Alumni UIN Sunan Ampel. Sekarang tinggal di Tangsel.

Solo Trip: Ngaji dan Ngopi di Solo

Ngaji

Di tengah konflik nasab Ba’alawy dan haba’ib, saya memilih untuk tidak memedulikan isu tersebut. Saya pernah ikut nimbrung di kolom-kolom medsos, namun isinya kebanyakan adu domba, cacian, dan berbau rasis. Setelah menyelesaikan beberapa keperluan, menyiapkan bekal, dan menggali informasi dari kawan—saya segera melakukan perjalanan ke Solo: salah satu kota tempat para haba’ib bermukim.

Entah mengapa saya ingin ke Solo. Mungkin karena salawat-salawat yang dilantunkan Habib Syekh menyembulkan rasa nyaman (sebuah alasan klise), kebutuhan untuk merasakan suasana dan pengetahuan baru, atau jeda dari penat? sebagai bentuk syukur atas kesempatan waktu, bekal, dan Kesehatan—saya menuliskan perjalanan ini.

Siang itu, di dalam kereta ekonomi—yang lutut dengan lutut saling beradu, saya berbincang dengan dua orang ibu. Percakapan kami berkisar pada bagaimana mereka menghadapi kedukaan ketika orang terkasih pergi. Dalam momen itu, saya merasa tidak sendirian. Namun, saya tidak bercerita apa-apa, hanya mendengarkan dan memberikan validasi emosi mereka. Dan seperti biasa, di dalam kereta: makan, ngobrol, tidur, menonton jendela dan menonton video.

Malam  pukul 21.00, saya tiba di Solo Jebres. Hujan membasahi kota dengan lembut. Perutku keroncongan, jadi aku memutuskan untuk mengisi perut dengan nasi pecel ayam. Ups, ternyata aku lupa membawa uang tunai! Dengan panik, aku menggali isi ransel besarku dan menemukan recehan—benar-benar recehan dua ratus dan lima ratus rupiah, hingga terkumpul tiga belas ribu rupiah. Ibu pemilik warung, yang mungkin membaca raut wajahku, berkata, “Mboten nopo-nopo, kalau bayarnya besok saja, Mbak.” Aku menyerahkan koin-koin itu sambil meminta maaf karena hanya membawa recehan, dan kami saling mengucapkan terima kasih dengan tulus.

Orang-orang di Solo memang sangat sabar. Bapak Grab, misalnya, tetap ramah meski saya salah memasukkan titik jemput. Beliau bahkan menenangkan saya. Namun, bagi orang yang menyukai ritme yang serba cepat, mungkin kehidupan di sini terasa cukup lambat.

Majelis Ar-Raudhah

Aroma kopi jahe menguap memenuhi ruangan. Gelas-gelas kecil diedarkan ke puluhan jamaah yang duduk siap bermajelis. Bagunan ini begitu indah, dengan pintu pintu besar terbuka yang melengkung mirip Majidil Haram. Terdapat layer tv besar di tengah ruangan, agar jamaah dapat fokus melihat dan mendengar apa yang disampaikan sang guru. Majelis Ar-Raudhah di Jalan Dewutan, sebagai markas Habib Novel berdakwah—tempat ilmu dan zikir digaungkan ini, sengaja dibuat sebagus-bagusnya secara visual, soundsystem, dan sajiannya.

Baca juga:  Perempuan-perempuan Bercadar itu.. (1)

Ku seruput cairan hitam itu, dan “argh.. alhamdulillah”. Dan sebuah potong kue kukus yang diproduksi oleh Alibaba miliki keluarga Habib Novel sendiri, dibagikan pada para jama’ah, menambah manisnya momen ini. Di sampingku, duduk gadis dua puluh empat tahun yang amat ceria. Khas guru anak-anak. Vibesnya membuatku tersenyum lebar. Dia dari Sragen, hadir ke majelis bersama kakak lelakinya. Kami bertukar nomor WA.

Setelah melantunkan bacaan-bacaan yang cukup panjang, Habib Novel tiba menempati mimbarnya.

Hikmah ke-3

Sawabiq al-himami, laa takhriqu aswaar al-aqdaar

سَـوَ ابِـقُ الْهِمَمِ لاَ تَخـْرِقُ أَسْوَارَ اْلأَقْدَارِ

“Semangat yang tinggi tidak mampu menembus benteng-benteng takdir”.

Kitab Al-Hikam, karya monumental Ibn ‘Athaillah as-Sakandari, mengajarkan kita untuk meniadakan ego dan mengakui bahwa hanya Allah yang memiliki kekuasaan mutlak, sekaligus menjadi sebab dari segala sebab. Pesan mendalam ini disampaikan oleh Habib Novel dengan cara yang unik, penuh semangat dan berapi-api, sehingga mampu menggugah hati dan memotivasi para pendengarnya untuk memahami dan mengamalkan hikmah tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Semangat itu kendaraan mukmin. Habib Novel menerangkan, petani tidak pernah tahu apakah ia akan berhasil panen atau tidak, tetapi tetap bertahan. Gagal panen itu sering terjadi, namun pernahkah ada petani yang berkata, “Daripada gagal panen, lebih baik saya berhenti bertani saja”? Tidak ada. Petani tetap berangkat ke ladang, bekerja keras. Kalau pun hasil panennya gagal, mereka hanya berkata, “Ini memang takdir. Saya harus sabar.” Setelah itu, mereka akan memulai lagi, menanti musim berikutnya dengan semangat baru. Sikap seperti inilah yang luar biasa. Coba kita tiru semangat petani tersebut. Misalnya, ketika hari ini ke pasar dan mendapati suasana sepi, jangan menyerah. Besok ke pasar lagi, meski masih sepi. Lusa pun ke pasar lagi. Dengan semangat yang terus dipelihara, insyaallah Allah akan memberikan rezeki.

Baca juga:  Sajian Khusus: Jejak Dakwah Gus Dur di Eropa

Namun, penting untuk diingat: jangan menjadikan semangat sebagai tuhan. Semangat itu penting, tetapi yang menentukan segalanya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala. Jangan berkata, “Saya sudah bersemangat, pasti berhasil!”

Habib Novel punya seorang teman yang semangat bisnisnya luar biasa. Targetnya tertata jelas, strateginya matang dari A sampai Z, bahkan timnya dibangun dengan sangat baik. Namun, pada akhir bulan, ternyata dia mengalami kerugian. Bingung dan frustasi, ia berkata, “Semua sudah saya jalankan, kenapa hasilnya begini?” Ketika itu, Habib Novel mengingatkan, “Ingat, yang menentukan hasil adalah Allah, bukan usaha kita sendiri.” Kita hanya bisa berusaha dan berdoa, tetapi Tuhanlah yang memutuskan. Saat itulah kita akan melihat bahwa Allah benar-benar ada, dan hanya kepada-Nya kita berserah. Laa ilaaha illallah.

Santri Weekend

Santri Weekend adalah program nyantri intensif selama tiga hari yang diselenggarakan oleh Majelis Ar Raudhah secara gratis tanpa dipungut biaya. Program ini diadakan setiap bulan sekali dan terbuka bagi peserta berusia 18 tahun ke atas. Fasilitas yang disediakan sangat nyaman dan memadai. Peserta akan tinggal di asrama yang dilengkapi dengan puluhan ranjang bertingkat, belasan kamar mandi bersih, ventilasi yang baik, serta kipas angin untuk menjaga kenyamanan selama program berlangsung.

Saya adalah salah satu peserta yang mengikuti program ini untuk pertama kalinya. Sementara itu, ada peserta lain yang sudah mengikuti program ini dua hingga tiga kali, bahkan sampai tujuh kali karena merasa begitu nyaman. Mayoritas peserta terdiri dari mahasiswa, profesional muda, hingga ibu rumah tangga. Semua saling menyapa dengan ramah, menciptakan suasana yang hangat. Di sini, makan dan minum juga disediakan. Kami menikmati makanan tiga kali sehari, dengan satu nampan untuk empat hingga lima orang, menambah keakraban di antara peserta.

Salah satu momen dalam Santri Weekend adalah Ngopi Bareng Eyang, yakni waktu bermajelis bersama Eyang Husein bin Anis bin Alwi Al-Habsyi setelah salat duhur. Dalam majelis tersebut, Eyang memberikan berbagai wejangan penuh hikmah, disertai sesi tanya jawab untuk para santri. Tentu saja, suasana menjadi semakin nyaman dengan suguhan kopi dan kue lezat.

Baca juga:  Meresapi Segarnya Taitung (3): Jejak Takeshi Kaneshiro di Mr. Brown Avenue

Eyang Husein, adik mertua Habib Novel, kini berusia 70-an, namun masih terlihat bugar. Dengan pembawaan yang hangat, ingatan yang tajam, serta kemampuan membahas topik yang relevan dengan zaman. Salah satu wejangan Eyang yang saya catat dengan baik adalah resep hidup sehat. Beliau menekankan pentingnya menjaga pikiran agar tetap bahagia dan positif, mengonsumsi makanan real food, memperbanyak aktivitas fisik, dan selalu berusaha memberikan manfaat kepada orang lain agar hidup terasa lebih bermakna. Sebelum tidur, Eyang juga mengingatkan kami untuk memaafkan orang-orang yang pernah menyakiti hati, agar hidup lebih tenang dan damai.

Hari minggu malam, di kediaman Habib Novel. Di sini banyak sekali zikirnya. Habib dawuh, supaya tidak lalai. Habib mengijazahkan melafal zikir Laa ilaaha illa Allah sebanyak 366 kali. Sekali lagi, ditekankan menyadari bahwa, sebabnya sebab adalah Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dari Allah. Dan untuk menjemput karunia Allah, maka perlu bergerak dengan semangat.

Kucoretkan petuah-petuah tersebut di noteku dengan cepat:

Semangat itu kendaraan mukmin

Bergerak.. Tuhan mencipta semesta dan makhluk untuk bergerak.

Jangan diam.

Obah mamah.

Salat itu berdoa, dan salat itu bergerak.

Dari perjalanan ini saya menyadari, para habaib yang mengisi majelis di sini tidak hanya mengandalkan garis keturunan, tetapi juga memiliki ilmu agama yang mendalam dan akhlak yang mulia. Penyampaian mereka terasa renyah, diselingi canda, namun tetap serius dan terarah saat membahas kitab. Ini mengingatkan saya pada ucapan Gus Baha’: “Saya kalau ceramah, sebentar saja. Tapi kalau ngaji, bisa kuat berjam-jam.” Yang dimaksud dengan ngaji di sini adalah menuntut ilmu dengan panduan kitab, sehingga lebih terarah dan mendalam.

Di Solo, saya tidak melewatkan ngopi latte 15 ribu, ngeteh kembang, nyoto 5 ribu, membelikan diri sendiri serangkai bunga, ziarah ke Ki Ageng Henis, nonton pameran wayang, dan duduk-duduk dari masjid ke masjid. Salah satu rencana saya dalam perjalanan ini adalah menghadiri majelis di Bustanul Asyiqin. Sayangnya, rutinan setiap Rabu malam tersebut, tidak sempat saya hadiri karena kondisi badan yang kurang fit.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top