
Anthony Reid wafat pada 8 Juni 2025. Di kota-kota kecil di pesisir utara Jawa, hujan pertama turun sehari sebelumnya. Orang-orang menutup jendela. Anak-anak yang belum belajar sejarah bermain di teras rumah, menengadah ke langit. Sementara di tempat lain, di lorong-lorong perpustakaan yang sunyi, buku-buku karya Reid mungkin sedang dibaca untuk kesekian kalinya oleh seseorang yang tidak mengenal wajahnya, tapi memahami caranya mencintai tanah ini.
Kepergian Reid tak datang seperti ledakan berita. Ia datang seperti kabar dari angin yang pelan. Mungkin seperti itu juga cara ia menulis sejarah: tidak tergesa, tidak gaduh, tapi perlahan dan menyusup dalam. Seperti ombak kecil yang tidak tampak memecah batu karang, tapi melakukannya juga.
Saya pertama kali mengenal nama Anthony Reid bukan dari bangku kuliah sejarah, melainkan dari kutipan di buku yang tidak lagi saya ingat judulnya. Tapi kalimat itu melekat: bahwa sejarah Asia Tenggara tidak dapat dipahami tanpa memahami peran perdagangan, laut, dan cuaca. Itu kalimat yang tampak sederhana, tapi menjungkirbalikkan cara orang memandang sejarah yang biasanya dipenuhi nama-nama raja dan jenderal. Di tangan Reid, sejarah bukan soal kekuasaan, tapi soal gerak. Gerak manusia, barang, dan ide. Gerak yang kadang tak terdengar, tapi menyusun ulang dunia.
Ia lahir di Wellington, Selandia Baru, pada 1939. Sebagai anak dari dunia yang jauh, ia bisa saja memilih menulis sejarah Inggris, atau revolusi Perancis, atau perang saudara Amerika, seperti kebanyakan koleganya. Tapi Reid justru menoleh ke arah yang dianggap pinggiran. Ia datang ke Asia Tenggara tidak sebagai penakluk intelektual, melainkan sebagai pendengar. Dan mungkin itulah yang membedakannya. Ia datang untuk belajar.
Dari Aceh, ia menemukan bahan untuk menulis disertasinya. Tapi yang ia temukan lebih dari itu: ia menemukan dunia yang hidup. Aceh baginya bukan hanya soal perlawanan terhadap kolonialisme, tapi tentang cara satu masyarakat memahami dirinya dalam gelombang sejarah global. Ia menulis tentang revolusi Indonesia, bukan sebagai kronologi elite, tapi sebagai letupan dari bawah — dari desa-desa, dari lorong, dari rapat malam yang tak dicatat siapa pun.
Membaca buku-buku Reid seperti diajak berjalan kaki di pelabuhan tua: kita akan mencium bau garam, mendengar teriakan anak buah kapal, dan melihat dengan mata sendiri bagaimana sejarah tidak lahir dari pidato, melainkan dari barang-barang yang diturunkan dari perahu, dari rempah-rempah, dari upah, dari cemas dan harapan. Karyanya Southeast Asia in the Age of Commerce tak hanya penting karena datanya, tapi karena nyawanya. Ia mengembalikan kehidupan ke dalam sejarah.
Dari sekian banyak karyanya, Southeast Asia in the Age of Commerce mungkin adalah yang paling acap disebut. Buku dua jilid ini bukan hanya menjadi bacaan wajib di banyak kampus, tapi juga menjadi semacam kerangka besar bagi siapa pun yang ingin memahami Asia Tenggara sebagai wilayah yang tidak pasif, tidak menunggu kolonialisme untuk “dibangkitkan.” Reid menunjukkan bahwa Asia Tenggara sejak abad ke-15 telah menjadi simpul penting dalam jaringan perdagangan dunia, dan masyarakatnya telah menjalani kehidupan yang kompleks—dengan sistem ekonomi, kepercayaan, dan politik yang tidak kalah rumit dibanding dunia Barat. Ia menyusun narasi itu tidak dengan sikap pengamat jauh, tetapi dengan kedekatan yang nyaris afektif.
Buku An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra adalah bentuk kecintaan yang lain. Dalam buku ini, Reid menelisik Aceh sebagai wilayah yang penuh ketegangan sejarah—antara pusat dan pinggiran, antara Islam dan lokalitas, antara kolonialisme dan perlawanan. Ia memperlihatkan bahwa sejarah Aceh bukan hanya tentang perang dan perlawanan, tetapi tentang dinamika budaya, tentang manusia-manusia yang hidup di antara identitas yang terus dinegosiasikan. Buku ini, bagi banyak orang Aceh, bukan hanya sumber pengetahuan, tapi juga cermin yang membantu mereka memahami diri sendiri.
To Nation by Revolution menjadi penting karena menempatkan Revolusi Indonesia ke dalam bingkai global. Reid tidak menulis revolusi sebagai peristiwa dalam ruang hampa, melainkan sebagai bagian dari gelombang sejarah dunia yang lebih besar: pembubaran kekaisaran, perang dunia, munculnya negara-bangsa, dan antikolonialisme. Ia menjelaskan bagaimana Indonesia—dengan segala kerumitannya—membentuk dirinya melalui jalan revolusi, dan bagaimana jalan itu penuh tikungan, konflik internal, dan pertarungan narasi. Banyak penulis Indonesia hari ini—baik sejarawan maupun penulis sastra—secara sadar atau tidak, dipengaruhi oleh pendekatan Reid dalam melihat sejarah sebagai medan tafsir, bukan sekadar urutan peristiwa.
Karya-karya Reid juga memberi ruang bagi sejarawan muda Indonesia untuk percaya diri menulis dari sudut pandang lokal, tanpa harus mengekor pada kerangka besar Eropa-Amerika. Dalam banyak kuliah umum dan tulisannya, ia menekankan pentingnya riset arsip lokal, sejarah lisan, dan pengalaman-pengalaman marjinal. Ia membuka ruang bagi pendekatan yang lebih kontekstual, dan mendorong pemikiran lintas disiplin—antara sejarah, antropologi, ekonomi, dan sastra. Bukan kebetulan jika banyak murid dan pengagumnya datang dari latar belakang yang beragam, dari peneliti pesantren di Cirebon sampai pengkaji migrasi di Davao.
Yang paling menginspirasi dari Reid barangkali bukan hanya buku-bukunya, tetapi cara ia melihat Asia Tenggara: sebagai rumah. Bukan tempat eksotis untuk diamati dari kejauhan, tapi wilayah yang hidup, penuh dinamika, dan layak dihormati dengan serius. Ia mengembalikan martabat sejarah Asia Tenggara, bukan dengan retorika besar, tapi dengan kerja ilmiah yang tekun, jernih, dan penuh kasih. Dan karena itulah, ketika ia wafat, kita merasa kehilangan bukan hanya seorang sejarawan, tapi seorang sahabat yang memahami kita lebih dari yang kita sangka.
Kematian memang datang pada semua orang, tapi tidak semua orang meninggalkan jejak yang seperti ini: sunyi tapi dalam. Hari ini, jika kita membaca kembali The Indonesian National Revolution atau To Nation by Revolution, kita akan merasa bahwa sejarah Indonesia adalah bagian dari sejarah dunia, dan sebaliknya. Bahwa kita tak kecil, hanya sering dilupakan.
Reid mengajarkan cara membaca sejarah tanpa kemarahan, tapi juga tanpa kehilangan keberpihakan pada yang tertindas. Ia menulis tanpa jargon, tapi tidak pernah meremehkan intelegensi pembacanya. Ia bersahaja dalam wawancara, tidak suka tampil di layar, dan lebih suka melihat murid-muridnya tumbuh ketimbang tampil di panggung akademik.
Mungkin karena ia tahu, sejarah yang baik tidak butuh panggung. Sejarah yang baik, seperti hujan pertama, cukup turun dan menyuburkan.
Kini, ia telah pergi. Tapi saya kira, kepergiannya tidak final. Ia akan tetap tinggal dalam cara kita menulis sejarah hari ini, dalam cara kita membaca masa lalu dengan empati, dan dalam keyakinan diam-diam bahwa Asia Tenggara bukan kutipan kaki, melainkan halaman utama.
Dan jika kelak seseorang menulis sejarah tentang sejarawan, saya harap Anthony Reid ada di sana — duduk tenang, dengan catatan kecil di tangannya, dan angin laut yang masih berhembus pelan di antara kalimat-kalimatnya.
Selamat jalan, Pak Tony.