Merupakan utopisme, ketika hati kecil ini berharap “santri (sebagai) pahlawan negeri”. Tapi bukan artinya orang yang sedang utopis ia sedang dihantui delusi. Utopia adalah optimisme pada masa depan, sekaligus pesimisme pada yang sedang dilaluinya. Dan dunia memberikan ruang tempat untuk itu dengan skala kemungkinan—dapat terjadinya—yang berbeda: 1 banding 10, 100, 1000, hingga tidak terbatas. Jadi utopia, tidaklah mustahil. Masih tersisa ruang untuk “mungkin”, kendati entah 1 banding berapa.
Dulu, santri pahlawan ialah yang berani mempertaruhkan nyawanya demi NKRI. Mereka berjalan berkilo-kilo, bersenjatakan sekenanya—mujur bila punya senjata api—tanpa seragam resmi, membawa perbekalan yang sejatinya tidak cukup atau tidak apapun, berkelompok-kelopok kecil, menyusun rencana, lalu bergerak mengendap-endap: gerililiya. Upaya mereka seringkali berhasil, begitu pula seringkali harus menelan nyawa. Mati terkapar asal tempat tak terhiraukan.
Satu kali, Kiai Tuan Basyir, pengasuh Latee, bercerita pada kami di musala. Ia dan ayahnya, Kiai Abdullah Sajjad Syarqawi yang sekligus pemimpin pasukan, pada masa-masa yang pelik dan tidak aman bagi Indonesia, keduanya adalah pejuang dan griliyawan yang gigih. Tapi itu tidak bertahan lama, Kiai Sajjad dikhianati oleh rekannya, lalu dijebak, disergap, dan dieksekusi tembak mati tepat pada mulutnya seusai salat dua rakaat di depan tentara Belanda. Darahnya berceceran ke tanah harum semerbak. Itu terjadi pada tanggal 21 Januari 1974. Tidak hanya Kiai Sajjad yang terjerat nasib tragis itu. Ada banyak kiai-kiai lain di lain tempat, bahkan hingga ada yang dipenggal oleh tentara Jepang. Mereka semua adalah santri pahlawan negeri.
Di waktu yang lain, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dimintai segera agar memastikan jawaban atas pertanyaan yang menentukan nasib Surabaya—dan Indonesia secara keseluruhan: bagaimana hukum membela negara? 17 Agustus 1945, Sukarno membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka 22 Oktober Kiai Hasyim juga membacakan proklamasi (Resolusi Jihad, red):
- Hukum memerangi orang kafir yang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardu a’in bagi tiap-tiap orang Islam yang mungkin meskipun orang faqir.
- Hukum orang yang meninggal dalm peperangan melawan Nica serta komplotan-komplotannya, adalah mati syahid.
- Hukum orang yang memecahkan persatuan kita sekarang ini wajib dibunuh.
Proklamasi itu menggerakkan masyarakat muslim yang banyak, terkhusus santri-santri dan kiai. Semuanya menuju Surabaya. Ditambah pidato Bung Tomo itu dan beberapa persiapan sebelumnya, meletuslah 10 Nopember yang bergelora itu.
Para santri yang tumbang di masa lalu, adalah para pahlawan, meskipun tidak tercatat dalam sejarah. Kiai Sajjad, Kiai Hasyim, dan yang tidak dapat saya sebutkan merupakan contoh. Dari mereka ada banyak yang harus kita—santri kini—teladani: bahwa menjadi muslim tidak hanya terbatas pada ibadah normatif, tapi juga ada yang lain, mengabdi pada negeri yang artinya pada kemanusiaan (humanisme) yang juga sama saja artinya mengabdi pada agama, pada Allah.
Semangat humanisme itu memang sudah ada pada Islam sejak mjulanya. Seperti perkataan Kanjeng Nabi, ini kutipan al-Ghazali dalam Adabu-s-Suhbah wal Mu’asyarah (Etika Berteman dan Bersosial), “Seorang tidak akan dianggap beriman hingga ia mencintai saudaranya serupa ia mencintai dirinya.” Nabi mengaitkan humanisme dengan iman sebagai satu kesatuan mutlak. Secara eksplisit, Islam adalah agama humanis, dan memanafistesikan bahwa beragama menampik segalanya demi Tuhan: membabibuta—tapi antara teosentris dan antroposentris sejatinya seimbang dan bersintesis menjadi Islam. Qur’an berfirman: “Jangan lupa bagianmu (tanggung jawab) di dunia.”
Ibnu Hajar al-Asqalani sepakat dengan al-Ghazali dalam hal ini. Ia menulis di bukunya, Al-Munabbihat ala-l-Isti’dad li Yaumi-l-Ma’ad (Peringatan untuk Bersiap Menuju Hari Akhir), sebuah dialog singkat antara Nabi dan sahabat. “Yang masuk surga, hanyalah orang yang welas asih,” kata Nabi. “Wahai Rasul, bukan kami golongan orang yang pengasih,” sergah Sahabat. Nabi menerangkan, “Yang hanya mengasihi temannya bukanlah welas asih. Karena pada sejatinya welas asih adalah yang mengasihi semua manusia.” Meneruskan dari itu, al-Asqalani menambahkan bahwa kita harus mengasihi makhluk secara mutlak, karena kesemua mereka adalah hamba Allah sekalipun bermaksiat.
Semangat humanisme Islam itu harus terus diregenarisi: dibingkai dalam setiap diri santri generasi ke generasinya. Karena jiwa patriotik atau kepahlawanan tidak mungkin akan muncul sebelum mekarnya humanisme. Dulu, melalui bedil, pistol, bambu runcing dan semacamnya humanisme itu ditegakkan. Sedang kini, tantangannya berbeda, maka cara-caranya pun berbeda pula. Contoh sederhananya, ke medan pertempuran yang dulunya membawa pedang, kini dengan bolpen dan kertas; dari peranti biologis ke intelektualitas dan psikologis; dari perjuangan ala militer ke ekonomi dan pendidikan.
Maka dalam pandangan saya, Gus Dur merupakan manifestasi dari santri pahlawan negeri kini atau neo-patriotik. Apa yang ia wariskan pada kita benar-benar yang dibutuhkan Indonesia kini. Ia mengangkat derajat orang-orang yang ditindas, dieksplotasi, dan dikafirkan tanpa memperdulikan perbedaan-perbedaan, bahkan beda agama. Ada yang berkata, begitulah sosok ulama sejati atau waliyullah: yandzuru al-ummah bi aini-r-rahmah; memandang manusia dengan tatapan welas asih.
Sayangnya, menjadi—serupa—Gus Dur tidaklah mudah. Selain orang-orang yang merindukan keharinya, di sisi lain dia banya ditolak karena pernyataan-pernyataannya dianggap menyimpang dari Islam. Misalnya Gus Dur membela Ahmadiyah, meresmikan Konghuchu sebagai agama yang diakui oleh negara, membenarkan mereka yang pindah agama: dari Islam ke…, dan lain-lain. Jika kita melihat hari pemakamannya, ada lautan manusia lintas ras dan agama hadir berduka atas kehilangan dan mendoakan demi keselamatan, bahkah sampai kini ia tetap dikenang dan pemikirannya mengilhami banyak orang sesudahnya. Gus Dur menyebut dirinya sebagai: The Humanist Died Here—berkhidmat pada kemanusiaan hingga akhir hayat. Begitulah santri seharusnya.