Sedang Membaca
Catatan Bedah Buku: Merusak Bumi dari Meja Makan
Faris Ahmad Toyyib
Penulis Kolom

Santri PP. Annuqayah Latee. Mahasiswa Tasawuf dan Psikoterapi di Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA).

Catatan Bedah Buku: Merusak Bumi dari Meja Makan

keterangan foto: pembanding, Habibullah (kiri) dan pembedah, K.M. Faizi

Saya awali tulisan ini dengan sebuah cerita yang diriwayatkan dari Bpk. Panji Taufiq kepada K.M. Faizi, lalu kepada saya. K.H. Ahmad Basyir AS,  Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Latee, suatu waktu berkeluh pada Pak Panji. “Kalau santri dulu, ketika iqamah dan saya sudah masuk ke musala, santri itu langsung diam, tapi jika santri sekarang terus ramai, padahal kegiatan kesehariannya sama, sekolahnya sama, diniyahnya sama?”

“Tidak tahu tahu,” jawab Pak Panji sopan yang juga kebingungan.

“Barangkali, di rumah masing-masing mereka tidak mendapat makanan yang kehalalannya sama.”

Dari cerita tadi, makanan tidak hanya menjadi kebutuhan biologis manusia atau berdampak pada perkara fisik belaka. Ia juga mempengaruhi dimensi-dimensi lain: psikologi, sosial, dan spiritualitas. Oleh sebab itu ada ulama-ulama yang tidak mau makan kecuali ia tahu dari mana asal-usulnya secara konkrit: halal-haram dan suci-najis. Itulah yang disebut wara’ dalam tasawuf, tarku-s-syubhati, atau sederhananya hati-hati.

Di kesempatan lain pun, saya pernah mendapat cerita afirmatif terhadap pernyataan K. Basyir itu. Cerita ini pengalaman pribadi guru saya. Katanya waktu jadi santri di Pondok Pesantren Annuqayah Latee, ia selalu kesulitan dalam memahami ilmu, khususnya dalam menghafal. Dalam prasangkanya, ia khawatir jangan-jangan uang yang diberikan oleh kedua orang tuanya tidaklah halal. Walhasil, singkat cerita, kekhawatirannya adalah benar.

“Bu, Pak, mulai sejak sekarang saya tidak usah dikirim uang lagi. Saya sudah bisa cari sendiri. lebih baik, uang itu digunakan keperluan di rumah,” kira-kira begitu yang dikatakan guru saya. Kedua orang tuanya mengiyakan karena perekonomian sedang surut. Setelah itu guru saya berjuang hingga akhirnya mampu menghidupi dirinya sendiri. Dalam belajar ia berkembang pesat, bahkan oleh teman, guru-guru, termasuk oleh K. Basyir dianggap cerdas.

Baca juga:  Di Kuburan: Cerita dan Berita

Sebuah hadis berbunyi bahwa paling baiknya pekerjaan (produksi) seseorang adalah pekerjaan yang dilakukan oleh diri sendiri. Barangkali, Nabi berkata demikian, sebab dengan begitu  orang dapat mengetahui status kehalalan dan keharaman dengan pasti. Itu relasi tak terdeteksi pertama manusia dan makanan. Istilahnya “relasi fiqhiyyah”.

Kedua, selain mengetahui status fikih makan, seorang juga memperhatikan etika makan atau “relasi akhlaqiyah”. Dalam kitab-kitab pesantren sudah banyak dijelaskan mengenai etika tersebut. Salah satunya, Perkataan Nabi: “Habiskanlah (sampai bersih) makan karena kita tidak tahu barokahnya ada di mana.” Misalnya pada sebuah tempe, mungkin barokahnya ada di tengah, di ujung bawah-kanan, di pojok kiri-kiri, dst; dan dalam sepiring nasi mungkin saja ada di sisa-sisa yang tidak kita makan. Untuk itu, Nabi mensunnahkan menjilati jari jemari setelah makan.

K.M. Faizi punya pesan yang ia ingat sejak kecil ketika makanan di depannya tidak ia habiskan. Si Mbahnya menegur, “Nak, kalau makan dihabiskan hingga tuntas. Kasihan, mereka (sisa-sisa yang tidak dihabiskan itu) menangis.” Waktu timbul pertanyaan dalam diri K.M. Faizi, bagaimana mungkin makanan menangis?

Selang beberapa tahun kemudian ia mendapat jawaban dari K. Ashim Ilyas bahwa sebutir nasi untuk sampai ke meja makan harus melalui proses amat panjang: dari ditanam ladang, diangkut mobil, di kemas di pabrik, disebar ke pasar, ditanak di dapur, akhirnya dihidangkan ke meja makan. Petani pun mengolah sawahnya tidak satu hari-dua hari, tetapi berbulan-bulan. Sungguh ironi bila sebuah makan terbuang sia-sia.

Baca juga:  Membedah Fiqih Sirah Nabawiyah Karya Said Ramadhan al-Buthi

Apalagi melihat kebudayaan makan orang-orang sekarang yang tampaknya cuma untuk gaya-gayaan. Sering ditemui di restoran makanan dicicipi, lalu ditinggal. Tidak mungkin makanan itu akan dihidangkan kembali oleh pelayan. Jelas, nasibnya adalah tempat sampah. Padahal, di luar sana ada banyak orang kelaparan hingga terkadang mati terkapar karena berhari-berhari tak menemukan apa yang mungkin dimakan.

Tahun 2018, diberitakan Lokadata.id, 26 Nopember 2020, 690 juta jiwa di dunia mengalami krisis kelaparan diperkirakan setiap 1 dari 10 orang di dunia. Dilanjutkan CNN Indonesia, 12 Februari 2021, di tahun 2019 dipaparkan bahwa ada 821 juta orang di dunia kekurangan cadangan makanan. Di tahun 2020, terjadi kelaparan krisis menimpa 149 jiwa di dunia. Itu terjadi khususnya di Yaman, Kongo, Afghanistan, Venezuela, Ethiopia, Sudan, Sudan Timur, Haiti.

Dengan menyia-nyiakan makanan, sejatinya telah membunuh jutaan orang. Kita jadi pembunuh tanpa sadar. Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata, “Seandainya setiap orang mencukupkan dengan sepotong roti, niscaya tidak akan ada kelaparan. Terjadinya kelaparan akibat manusia rakus.” Karena rakus itu sebuah perkataan Romawi muncul: “Manusia adalah serigala bagi manusia lain.”

Nah, agar tidak rakus, Nabi berpesan agar makan sebelum lapar dan berhenti sebelum kenyang. Alasannya, ini saya sepakat dengan bintang binaragawan, Ade Rai, bahwa seorang yang makan ketika lapar, ia akan makan secara emosional atau rakus, sementara makan sebelum lapar, orang akan rasional atau makan secara teratur dan etis. Misalnya, menurut seorang peneliti dari Jepang, mengunyah makan berkali-kali hingga halus dapat menghasilkan enzim, yaitu senyawa organik yang dapat mempercepat reaksi kimia dalam metabolisme tubuh. Sederhananya, menyehatkan. Dan ini tidak mungkin dilakukan saat makan secara emosional.

Baca juga:  Masjid Tempat Peradaban: Belajar dari Rasulullah dan Imam Besar Masjid Istiqlal

Dari sini, anggapan makanan sebagai kebutuhan biologis belaka amatlah salah fatal. Abraham Maslow, seorang bapak mazhab psikologi humanistik, menempatkan makan sebagai kebutuhan fisiologis atau hal yang harus dipenuhi sebelum aktivitas lainnya dan memang aktivitas lain tidak mungkin terwujud karena bergantung padanya.

Tafsir saya, maksud Maslow tidak hanya dimaknai sebagai penyuplai tenaga fisik, tetapi juga tolok-ukur perwujudan eksistensi manusia. Ia bukan lagi hal remeh-temeh. Dari aspek fikih dan etikanya sangat perlu diperhatikan. Ada banyak destruksi darinya secara tanpa sadar baik pada diri sendiri atau liyan.

Akhirnya, bila Aristoteles ketika ditanya bagaimana ia menilai seseorang, ia menjawabnya dari apa yang ia baca; sedangkan menurut saya dari apa yang ia makan. Selamat makan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Scroll To Top