Sedang Membaca
Hazairin: Sang Pembaharu Hukum Islam di Indonesia
Fahrul Anam
Penulis Kolom

Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Hazairin: Sang Pembaharu Hukum Islam di Indonesia

Whatsapp Image 2022 09 18 At 06.05.16

Hukum Islam—atau pada orang awam biasa dibilang syariah—merupakan hasil atau produk hukum yang berlandaskan Alquran dan hadis. Tentunya, dalam proses pembentukan hukum Islam, melewati banyak seleksi dari para perumusnya (mujtahid) yang biasanya berwatak subyektif atau kolektif. Sehingga, tidak jarang kekuatan hukumnya, hanya berlaku untuk pengikutnya.

Sebut saja, para penganut mazhab yang menaati setiap hukum yang berasal dari ulama-ulama mereka. Disamping itu, hukum tersebut hanya berlaku pada soal-soal praktis-ibadah saja, dan belum menyentuh sendi-sendi kehidupan secara mendalam serta pembangunan nasional. Terlebih lagi, hanya berakhir kepada kaidah yang itu menimbulkan pertentangan antar penganut mazhab, mengingat perbedaan zaman dan watak taqlid.

Soal itu, kita membaca buku garapan Muhamad Taufik Kustiawan yang berjudul Politik Hukum Pidana Islam: Membaca Reaktualisasi Pemikiran Hazairin (1906-1975) terbitan Diomedia (2022). Buku yang beranjak dari skripsi penulis tersebut, menyingkap pemikiran politik hukum pidana Islam Hazairin dan lebih luasnya, mengulas pembaharuan hukum Islam di Indonesia.

Hazirin, seorang tokoh pembaharu hukum pidana Islam, kelahiran 28 November 1906 di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia lahir dari keluarga Zainul Bahari dan Nurkemala. Kakekanya bernama Ahmad Bakar, seorang mubaligh terkenal pada masanya. Ia adalah keturunan Syekh Burhanuddin, seorang ulama yang menetap di Bengkulu dan berasal dari Timur Tengah. Saat masa Hazairin belia, sistem pendidikan dari keluarganya sudah menekankan pelajaran akidah dan akhlak menurut ajaran Islam.

Hal ini membuat Hazairin tumbuh menjadi cendikiawan muslim yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dalam bersosial. Pendidikan dari masa kecilnya sampai dewasa, telah memberikan pengaruh besar terhadap pemikirannya sebagai pelopor gerakan pembaharuan hukum Islam di Indonesia. (hlm. 25)

Baca juga:  Hikayat Buku dalam Peradaban Islam

Negara Tanpa Penjara

Masihkah kita ingat Setya Novanto? Benar, ia adalah pelaku tindak pidana korupsi pengadaaan proyek e-KTP yang merugikan negara senilai Rp. 2,3 triliun pada 2017 silam. Karena kasus tersebut, ia dihukum 15 tahun penjara dan diwajibkan membayar denda Rp. 500 juta subsider tiga bulan kurungan. Juga, ia diwajibkan membayar uang pengganti 7,3 juta dollar AS dikurangi Rp. 5 miliar yang dititipkan kepada penyidik.  (Kompas.com, 29 Agustus 2019)

Kini, ia dikurung di Lapas Sukamiskin. Namun, satu hal yang membuat khalayak tercengang adalah sel-nya yang sangat mewah. Sebagaimana dikutip dari Detiknews.com, (2 Maret 2022), bahwa di dalam sel Novanto ada exhaust fan dan lemari seperti kitchen set masih menempel di dinding. Selain itu, ada juga meja persegi dengan tiga kursi. Untuk kamar mandi, toilet berbentuk toilet duduk. Serta shower yang terlihat dibungkus plastik hitam.

Dari kelicikan Setya Novanto yang memperoleh fasilitas mewah di penjara, Hazairin menyatakan bahwa negara perlu memikirkan tentang peran penjara sebagai imbalan atas pelanggaran tindak pidana. Menurutnya, negara ini sebenarnya perlu memikirkan ulang untuk menerapkan pidana penjara. Ada beberapa alasan masuk akal mengapa penjara tiada perlu diadakan, yaitu:

Pertama, tidak membuat seorang pelaku jera. Ancaman pidana penjara, sebagaimana termaktub dalam pasal 12 KUHP terdiri atas pidana penjara seumur hidup dan pidana sementara waktu, maksimal adalah 15 tahun. Ancaman itu dapat berkurang sekiranya ia mendapatkan grasi. Penjara dalam kurun waktu itu tidak terbukti membuat seseorang jera melakukan tindak pidana.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (46): Al-Istilah, dari Pendidikan Pra Nikah hingga Pendidikan Seks ala Pesantren

Kedua, sekolah kejahatan. Seseorang dapat belajar dari orang lain manakala ia berada hotel rodeo tentang bagaimana melakukan kejahatan yang aman dan berhasil. Bukannya menjadi lebih baik, seseorang yang dipenjara malah bertambah pintar dalam melakukan kejahatan. Maka, setelah ia keluar dari jeruji besi, ia akan mempraktekkan ilmunya untuk melakukan tindak pidana.

Ketiga, menguras kas negara. Biaya untuk operasional dan administrasi penjara cukup besar dan itu berasal dari uang negara (uang rakyat). Ini sama saja dengan negara memberi makan dan kehidupan bagi penjahat. Terlebih lagi seseorang yang dikenai pidana penjara seumur hidup, maka selama itu pula negara harus membiayainya. Sementara, ia tidak memberi kontribusi apa pun kepada bangsa dan negara. Benar-benar membuang uang negara.

Keempat, penjara menyiksa mental dan menjadikan seseorang penyakitan, menghukum boleh tidak menyiksa. Menyiksa berarti menyakiti sedikit demi sedikit, itu tiada dibenarkan. Itu sebabnya kalau ingin memotong ayam, pisaunya harus tajam agar ayamnya tidak tersiksa karena mati kepayahan. Ayam saja dihargai, tentu manusia tidak boleh disiksa. (hlm. 99-100)

Dari agenda Hazairin di atas, tentang “negara tanpa penjara” merupakan pembaruan Hazairin akan pentingnya memikirkan kembali nasib hukum pidana di Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Belanda. Sedari itu, Hazirin mencetuskan mazhab Indonesia sebagai landasan hukum di Indonesia.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (53): Qashash al-Anbiya`, Kitab Kisah Para Nabi

Menyudahi Taqlid

Sebagai seorang mujtahid, Hazairin sudah barang tentu memiliki pandangan dalam merumuskan hukum. Ia adalah orang pertama di bangsa ini, yang menggemakan akan perlunya mazhab fikih yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam hematnya, Hazairin menganggap kajian fikih di Indonesia masih berpegang teguh pada taqlid terhadap kitab-kitab fikih karangan ulama terdahulu.

Oleh dari sebab di atas, umat Islam Indonesia sudah waktunya untuk berijtihad menuju pembentukan mazhab Indonesia seperti yang digagas Hazairin. Pemikiran metode ijtihad tersebut dapat dilakukan dengan sempurna tatkala mempertautkan hukum adat dengan kehendak Ilahi (hukum Islam) dapat selaras. Maka, di sinilah perlu adanya kajian ulang terhadap kajian fikih yang ada, sebagai pedoman kajian pembaharuan ilmu-ilmu fikih sesuai dengan kemaslahatan hukum umat Islam. (hlm. 30)

Begitulah, apa yang dicanangkan Hazairin terkait pembaharuan hukum Islam di Indonesia patut kita pikirkan kembali, mengingat kemajuan teknologi dan perubahan zaman sehingga hukum Islam harus menyesuaikan kebutuhan kehidupan masyarakat dewasa ini. Buku gubahan Taufik ini, sangatlah pantas diapresiasi. Dengan bahasanya yang renyah dan esai, membuat pembaca mudah menyerapnya, disamping anggapan bahwa bahasa-bahasa hukum itu kaku. Demikian.

 

Judul               : Politik Hukum Pidana Islam: Membaca Reaktualisasi Pemikiran Hazairin (1906-1975)

Penulis             : Muhamad Taufik Kustiawan

Halaman          : xxiv+123

Penerbit           : Diomedia

Cetakan           : Pertama, Agustus 2022

ISBN               : 978-623-5518-47-3

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
3
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top