Sedang Membaca
Geliat Urban Sufisme: Suasana Ramadan di Desa Mantingan, Ngawi
Fahrul Anam
Penulis Kolom

Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta

Geliat Urban Sufisme: Suasana Ramadan di Desa Mantingan, Ngawi

Masjid

Ramadan. Ia adalah bulan penuh berkah nan berkat yang identik dengan ibadah puasa dan salat tarawih. Yang mana setiap umat Nabi Muhammad Saw diwajibkan buat berpuasa pada pagi hingga tergelincirnya matahari, dan malamnya, kita dianjurkan untuk menjalankan ibadah qiyamullail: salat tarawih, tadarus, dan lain sebagainya.

Di negeri yang kita cintai ini, bulan Ramadan tak hanya soal peribadatan vertikal, namun juga horizontal. Yaitu, dengan diadakannya tradisi-tradisi khas yang diselenggarakan saat Ramadan tiba, sebut saja Megengan. Sebagian besar, masyarakat yang mukim di desa lah yang mengadakan Megengan di bulan Ramadan. Tapi, di Desa Mantingan, Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur masih menyelenggarakan tradisi Megengan. Padahal Desa Mantingan itu bisa disebut kota.

Secara geografis, Desa Mantingan merupakan desa yang menjadi bagian Kecamatan Mantingan, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Desa yang berjarak kurang lebih 36 Km. dari pusat kota Ngawi ini, menjadi gerbang masuk Jawa Timur, mengingat di sebelah barat Desa Mantingan berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah yang ditandai dengan Candi Kembar dan Tugu Perbatasan Jawa Timur-Jawa Tengah sebagai maskotnya. Maka, boleh lah kita menyebut Desa Mantingan sebagai “ujung barat Jawa Timur.”

Desa rasa kota ini, mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan ekosistemnya, yaitu NU, Muhammadiyah, MTA, LDII. Meski di satu pihak lebih besar kekuatan NU-nya secara kultural karena besar masyarakat yang masih menjaga dan melaksanakan kegiatan-kegiatan kultural, sebut saja tadi ada Megengan, nyekar, Yasin-tahlil rutin, dan tradisi lainnya.

Baca juga:  Menyimpan Kata Kafir, Kunci Perdamaian di Pantura Subang

Laku Sufisme Perkotaan di Desa Mantingan

Memasuki bulan Ramadan, masyarakat Desa Mantingan masih eksis menunaikan tradisi-tradisi di atas. Tradisi-tradisi yang bernuansa sufistik itu, dilaksanakan sebagai sarana pemenuhan nutrisi-nutrisi batiniah. Sebagaimana menurut Harun Nasution (2001) menyatakan, manusia agar rohnya tetap suci, maka manusia harus senantiasa berbuat baik. Usaha yang manusia tempuh untuk mencapai kebaikan tersebut termanifestasikan dalam bentuk ibadah-ibadah, misalnya salat, puasa, zakat, haji, dan ajaran-ajaran yang berkenaan dengan moral atau akhlak Islam. Nabi Muhammad SAW mengatakan bahwa beliau diutus oleh Allah untuk menyempurnakan budi pekerti luhur.

Tentunya, ada segolongan umat Islam yang merasa tidak puas dengan model ibadah formal. Dengan kata lain, kepuasan spiritual yang didapat dari ibadah formal belum cukup. Maka, mereka menempuh jalan spiritual agar merasa lebih dekat kepada Allah. Sehingga, mereka dapat merasakan kehadiran Allah melalui hati-sanubari dan bahkan dapat bersatu dengan Allah. Dalam agama Islam, ajaran yang bersifat mistik tersebut terdapat dalam ajaran-ajaran tasawuf (Islamic mysticism).

Laku-laku tasawuf umumnya dilaksanakan dalam bentuk ibadah-ibadah yang memerlukan konsentrasi ekstra dengan mengikuti atau berguru dalam suatu lingkaran tarekat. Namun, hal itu tampaknya sulit dilakukan oleh masyarakat perkotaan. Sama hal nya dengan masyarakat Desa Mantingan yang memiliki mobilitas tinggi karena pekerjaannya yang heterogen. Karenanya, geliat urban sufisme di Desa Mantingan sangat kentara.

Baca juga:  Komunikasi Masyarakat Arab Klasik: Estetis juga Tragis

Urban sufisme (tasawuf perkotaan) merupakan fenomena awam yang terjadi pada masyarakat kota. M. Afif Anshori dalam Peran Tasawuf Perkotaan (Urban Sufisme): Studi Kasus Pada Kaum Eksekutif Di Bandar Lampung (2015) menyatakan bahwa dalam pengertiannya urban sufisme digunakan dalam pengertiannya yang longgar, sehingga mencakup berbagai fenomena gerakan spiritual yang muncul di tengah masyarakat perkotaan.

Di satu ujung, urban sufisme tidak bisa dipahami menggeser popularitas tarekat konvensional, namun ujung lain tarekat konvensional tetap bisa berkembang di masyarakat perkotaan meski nampaknya skalanya kecil. Laku tasawuf paling mudah kita pahami dengan kegiatan-kegiatan penyucian hati dengan berdzikir.

Nah, di bulan Ramadan ini, terlebih kita telah menapaki sepuluh hari terakhir yang mana kita berlomba-lomba buat menggapai malam mulia yang ganjarannya setara seribu bulan yakni Lailatul Qodar. Di Desa Mantingan, di surau-surau yang terdapat di berbagai dusunnya, masif kita jumpai orang-orang beriktikaf.

Iktikaf sebagai ritual yang identik dengan sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan menjadi kegiatan masyarakat Muslim di Desa Mantingan. Meskipun sesekali terdapat kebisingan kendaraan yang melintasi Jalan Raya Solo-Ngawi Km. 15 Mantingan, mereka tetap berkonsentrasi dalam bermunajat kepada Allah Swt dan Nabi Muhammad Saw. juga ibadah lainnya seperti membaca Alquran dan salat-salat sunah yang dilaksanakan pada malam-malam ganjil sebagai iktikad dalam meneguk sepuas-puasnya malam Lailatul Qodar.

Baca juga:  Lomban Kupatan, Tradisi Lebaran Warga Pantura

Begitu, laku sufisme perkotaan di Desa Mantingan di bulan Ramadan. Bahwa kita sebagai masyarakat Desa Mantingan yang beraroma kota juga mempunyai titik jenuh akan hal-hal keduniawian: pekerjaan, kekayaan, dan lainnya. Sehingga, masyarakat Muslim kota perlu menyucikan pikiran dan hati sebagai sarana healing dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top