Kiai Dim Seorang Ayah, Guru dan Pembimbing Umat (Kabeh Wes Ono Tulisane), buku biografi KH. Dimyati Romly yang ditulis oleh putrinya sendiri, Soraya Dimyati. Buku ini merupakan ungkapan kerinduan dan kekaguman seoarang anak kepada ayahnya.
Di dalamnya memuat kumpulan deskripsi dari Soraya tentang ayahnya. Mulai dari tutur katanya, kebiasaannya dan celoteh-celoteh beliau kepada anak dan para santri. Kata-kata asli dari Kiai Dim dituliskan menggunakan bahasa aslinya (Jawa) kemudian dijelaskan oleh Soraya dengan konteks keilmuan dari apa yang dibicarakan.
Buku ini saya peroleh dari H. Muhsisin Fauzi pada 21 Oktober dalam acara diskusi dan bedah buku yang diselenggarakan oleh UNISNU Jepara. Kiai Dim bernama lengkap KH. A. Dimyati Romly dilahirkan di Rejoso pada 3 Mei 1944, dari pasangan KH. Romly Bin Tamim Bin Irsyad (1888-1958) dan Nyai Hj. Khodijah binti Lukman.
Kiai Dim adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Karier beliau dalam bidang agama sebagai pimpinan Ponpes Darul Ulum, dalam bidang pendidikan sebagai wakil Rektor di Jombang dan dosen PNS IAIN Surabaya serta pernah menjabat sebagai Dekan. Dalam bidang politik sebagai anggota DPRD, dan dalam bidang tasawuf menjadi Mursyid tarekat.
Kepribadian Kiai Dim dikenal sebagai orang yang sederhana dan berpenampilan tradisional, dengan hanya mengenakan baju koko dan sarung kemana-mana. Beliau juga berjiwa humoris dan santun, pernah suatu ketika beliau mengajari salah satu muridnya untuk membaca surah Al-Quraish, murid tersebut selalu menghidupkan huruf yang terahir meskipun ada tanda waqaf. Contoh: Rihlata as- syitaai wa-asshoifi sudah ditegur tetap diulang seperti itu.
Sampai beberapa kali akhirnya murid tersebut disuruh maju untuk medekat pada Kiai dan disuruh mengulangi bacaan tersebut, ketika membaca asshoif mulut tersebut dipegang oleh Kiai agar tidak ada bunyi i lagi. Hal tersebut salah satu sikap yang dicontohkan oleh Kiai Dim. Dalam bertutur katapun banyak kalimat yang penuh dengan makna.
Nasihat dan dawuh Kiai Dim di antaranya yaitu, “Aku tidak butuh santri sing pinter, aku butuh santri sing ngerti”, “Kabeh wes ono tulisane”, “Lek subuhe apik kabeh bakal apik”, “Ngaji iku gak popo turu asal gak ngomong”, “Manungso iku derajate iso luweh duwur dari Malaikat nanging iso luweh rendah dari hewan”, “Dadi wong apik iku kumpulano kabeh ojo piih-pilih“, “Kudu luweh patuh nang kiai atau guru katimbang nang wong tuane”, “Akih guyu iso metengno lan ngatosno ati obatano karo zikir”, “Biasakno zikir Laa ilaha Illallah ben lek ape mati kulino”, “Nek duwe hajat selawatana ping 1.000 ben dinone cek digampangke”.
“Dadi wong apik iku kumpulano kabeh ojo piih-pilih”, kalimat ini mengandung semangat humanisme, yaitu memanusiakan manusia. Dalam berteman hendaknya tidak usah pilih-pilih, karena semua manusia pada hakikatnya sama.
Ajaran humanisme telah diajarkan oleh Nabi Muhammad pada Abad ke-7 M sedangkan di Barat ajaran ini baru muncul pada abad ke-16 M setelah masa Renaissance (masa keluar dari kungkungan Gereja). Humanisme Islam bertolak dari nilai Universalitas Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, penghargaan setinggi-tingginya terhadap kehidupan sosial manusia.
Humanisme dalam Islam menyerukan ketertundukan kepada Tuhan, karena kepatuhan dan ketertundukan kepada Tuhan merupakan asas paling tinggi dalam humanisme. Bertolak pada dalil Innii jaa’ilun fil ardhi kholiifah bahwa manusia sebagai pemimpin di atas muka bumi ini, yang pada konsekuensinya harus menjaga alam semesta, terutama manusia.
Humanisme di barat yang berkembang setelah masa Renaissance terpusat pada pengkajian bahwa manusia pada intinya adalah sebagai subjek bukan objek. Dilthey berpendapat bahwa gejala manusia adalah unik dengan tidak berhingga, sehingga tidak dapat disejajarkan begitu saja dengan gejala-gejala alam yang lain. Manusia adalah subyek, bukan obyek. Sosiologi Humanistik Max Webber, tidak lalu menghilangkan peran statistik.
Demikian pula dengan Psikologi Humanistik Abraham Maslow yang tidak mengabaikan arti pentingnya Behaviorisme dan Psikoanalisa. Satu hal yang tampaknya menjadi trade mark mereka bahwa manusia yang menjadi “obyek” telaah ilmu-ilmu mereka, diperlakukan secara hormat sebagai “subyek”. Ilmu humanistik sebagai ilmu yang menempatkan manusia sebagai subyek, sedemikian rupa sehingga manusia tetap dijunjung tinggi nilai dan martabat kemanusiaannya.
Nasihat Kiai Dim, “Kabeh wes ono tulisane”, menjelaskan bahwa segala apa yang ada dan terjadi ini sungguh telah ada dalam pengetahuan Allah. Kepercayaan awal bahwa kesadaran diri manusia diyakini sebagai manifestasi Ruh/Tuhan (G. W. F. Hegel), sehingga keberadaan diri manusia tak ubahnya wayang.
Agustinus diganti dengan wahyu Tuhan sesuai dengan citra manusia itu sendiri yang mencitrakan sifat ilahi (imago dei). Bagi Augustinus, sifat rasio pada dasarnya adalah mendua dan terbagi-bagi, dan kabur. Karena itu, manusia memerlukan terang (lumen) khusus dari Ilahi (ilumination). Berbeda dari Augustinus, Thomas Aquinas tetap menilai tinggi akal budi (untuk pengetahuan alamiah) tetapi memang perlu dibimbing dan diterangi oleh rahmat (wahyu) ilahi (untuk pengetahuan adikodrati).
Dari Uraian di atas, nasihat-nasihat Kiai Dimyati Romly masih relevan sampai sekarang ini, nilai-nilai moral yang beliau praktikkan dan tuturkan sebagai gambaran rule model patut untuk di contoh. Kata-katanya ringan dan penuh makna. Pemilihan diksi dan gaya bahasa yang enak didengar dan mudah diingat, sehingga memudahkan untuk diingat. Meskipun ada beberpa nasihatnya yang masih ambigu dan perlu penjelasan lebih.