Sedang Membaca
Tesis Kemunduran dan Kemandekan Islam
Erry Ike Setiawan
Penulis Kolom

Alumnus Ilmu Politik Universitas Brawijaya.

Tesis Kemunduran dan Kemandekan Islam

Eqnh7iwuuaazbhq

Barangkali kita patut mengajukan pertanyaan, kenapa Islam mengalami kemunduran dan kemandekan? Padahal, secara historis, Islam pernah mengalami masa kemajuan, khususnya, dalam bidang pengetahuan dan sains. Lantas apa yang mendasari kemunduran Islam itu? Ahmed T. Kuru dalam bukunya, Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan, mengajukan suatu tesis atas pertanyaan tersebut, yakni: persekutuan ulama-negara.

Dengan analisis historis-komparatif, Kuru membabarkan analisis kemunduran Islam dengan mengacu rentang perbandingan zaman dan wilayah tertentu dan kondisi sosioekonomi dan politik. Pada abad 7 sampai abad 11, Islam pernah mengalami kejayaan dalam bidang ilmu pengetahuan, filsafat, dan sains.

Jika merujuk pada rentang waktu yang sama, Eropa Barat masih berada dalam kubangan ketertinggalan akibat dominasi gereja. Meski begitu, pada abad 12, terjadi proses pembalikan dan pada puncaknya, abad 18, Eropa Barat secara signifikan melampaui Islam berkat faktor multidimensional seperti pencerahan, revolusi industri, revolusi Amerika dan Perancis, reformasi gereja, print capitalism, sedangkan Islam sendiri mengalami ketertinggalan disertai konflik internal.

Islam telah melahirkan banyak filsuf dan temuan sains yang turut mendompleng sosioekonomi muslim dan kebutuhan dalam peribadatan, misalnya. Torehan atas capaian ini karena negara tidak terlalu mengontrol para intelektual muslim dan adanya sikap para intelektual muslim yang enggan dekat dengan penguasa atau otoritas politik negara; mereka menganggap patronase semacam itu adalah merusak.

Ketercapaian sains dan pengetahuan pada waktu itu justru mereka dapatkan karena kedekatan dengan para pedagang atau borjuis yang mendanainya secara swasta. Kedekatan para pedagang dengan para intelektual muslim dipicu karena atensi mereka terhadap matematika yang membantu dalam kegiatan perniagaan; dan mereka pulalah yang terlibat sebagai peserta dalam pembelajaran agama (hal. 140). Bisa dikatakan bahwa hubungan antara keduanya dapat dianggap saling menguntungkan. Para pedagang muslim kemudian menempati struktur sosial yang penting.

Baca juga:  At-Tabyinul Ajla wal Ahla: Tafsir Alquran Sunda oleh KH. R. Ahmad Dimyati Sukamiskin (1931)

Dengan iklim politik yang masih terbuka dan dukungan dana kaum borjuis muslim telah menghasilkan kebebasan dan kemerdekaan berpikir para intelektual muslim. Bahkan cenderung merebakkan pandangan yang heterodoks. Dengan kata lain, relasi di antara kelas sosial ini tidak sampai melahirkan sebuah ortodoksi agama mau pun monopoli atas tasfir apa pun.

Keberadaan pedagang dan intelektual muslim yang menunjukkan signifikansi kemajuan Islam perlahan mengalami pengekangan dan marjinalisasi. Hal ini disebabkan karena kondisi politik dan kebijakan penguasa yang berubah disertai serangan para ulama terhadap para filsuf dan kelompok Islam liyan.

Kuru menjelaskan bahwa kemunduran Islam bisa dilacak sebabnya karena sistem iqta. Dampaknya adalah hak kepemilikan tanah yang awalnya bagi warga sipil diambilalih oleh pejabat negara terutama militer. Sebagian pajak pertanian pun didistribusikan kepada para militer. Sistem ini memicu adanya pembatasan atas kepemilikan tanah dan kewirausahawan dan dengan demikian mengurangi kreativitas pertanian (hal. 172-173). Tak hayal militerisasi tanah mendorong sistem ekonomi negara yang lebih memperhatikan perang dan penaklukan.

Pemberlakuan dan transformasi kebijakan atas tanah ini disebut sebagai respon sumber keuangan negara yang merosot. Untuk itu, penaklukan demi penaklukan oleh militer dilakukan dengan mengambil harta rampasan di wilayah taklukan (hal. 174). Struktur negara pun menjelma menjadi negara militer. Dampak lain sistem iqta adalah melemahkan peran pedagang dan intelektual muslim sehingga mereka cenderung menerima tawaran bekerja dengan penguasa atau negara (hal. 176).

Baca juga:  Meneladani Pesan Cinta Mbah Moen

Persekutuan ulama-negara mulai tercipta. Lembaga madrasah, misalnya madrasah Nizhamiyah di Kesultanan Seljuk, didirikan dengan dukungan ulama dan kepentingan penguasa sekaligus memengaruhi pendidikan ulama baru. Bagi penguasa, pendirian madrasah adalah alat untuk mengendalikan atau mengawasi lingkungan religius (hal. 178). Kendati demikian, bagi Kuru, pendirian madrasah bukanlah faktor independen kemunduran Islam mengingat masih adanya perkembangan filsafat dan karya ilmiah walau melambat (hal. 183).

Peran ulama semakin menancapkan pengaruhnya dalam setiap keputusan yang diambil penguasa dan membentuk “Ortodoksi Sunni”. Asumsi bahwa Ghazali adalah sosok yang berpengaruh dalam kemunduran Islam dianggap Kuru sebagai pandangan yang lemah. Bagi Kuru, sumbangsih teoretis Ghazali berkontribusi bagi persekutuan ulama-negara dalam pembentukan “Ortodoksi Sunni”. Gagasan Ghazali telah melegitimasi pandangan ortodoks ulama dan penguasa (hal. 192).

Dapat dikatakan bahwa gagasan Ghazali justru menjadi legitimasi persekutuan ulama-negara yang semakin terkonsolidasi dan menegaskan ortodoksi. Penegasan tersebut memungkinkan penguasa akan bertindak  bagi siapa pun yang berpandangan heterodoks akan terpinggirkan.

Gagasannya tentang memperbolehkan vonis hukuman mati bagi mereka yang berpandangan heterodoks karena dianggap murtad (hal. 193); agama dan negara adalah saudara kembar (hal. 196); pelarangan perdagangan melintasi lautan kecuali untuk urusan haji dan jihad (hal. 322) adalah sebagaian pandangan yang melegitimasi kepentingan penguasa dan ulama menunjukkan sikap antipatinya terhadap sains dan filsafat, menyingkirkan kelompok Islam liyan, mmbentuk persekutuan ulama-negara, dan menyempitkan peran pedagang.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (12): Prosa Sufi Lujainud Dani

Kendati demikian, menurut Kuru, Ghazali adalah sosok yang rumit dan inkonsisten dalam hubungannya dengan penguasa. Namun, gagasannya tetap mendasari bagi terbentuknya aliansi ulama-negara. Gagasan Ghazali tentang relasi agama dan negara adalah saudara kembar, misalnya, banyak dicuplik oleg penguasa dan ulama yang sebenernya bermuara dari pandangan politik Sasaniyah.

Jauh sebelum Ghazali berpendapat bahwa agama dan negara adalah saudara kembar, pondasi politik Sasaniyah sudah terlebih dahulu mengatakan itu dengan rujukan hadis palsu. Jadi, Ghazali mereproduksi gagasan politik tersebut. Merujuk pada tradisi pemikiran politik Sasaniyah, yang pada puncaknya dilegitimasi bersamaan dengan transformasi sosial dan politik muslim abad 11 telah menciptakan persekutuan ulama-negara.

 

Judul: Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan

Penulis: Ahmet T. Kuru

Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia

Cetakan: Ketiga, Juni 2021

ISBN: 978-602-481-517-2

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top