Jelang makan malam, santapan telah terhidang di atas meja. Lauknya lengkap, tumis sayur, tempe, sambal, kerupuk, dan dua gelas berisi air putih dan teh hangat tanpa gula.
Sejurus kemudian. Sang Kiai masuk ke ruang makan, mengenakan pakaian rapi, lengkap dengan serban mengitari pundaknya, berkopiah, takzim berdiam di atas kepala beliau. Tampilannya macam hendak kenduri. Sudah menjadi tradisi Pak Kiai, selalu tampil rampak dan wangi, tiap kali bersantap malam. Tak peduli di griya wedana, maupun di pondoknya sendiri.
Dua menit berlalu. Makan malam pun sudah dimulai. Seorang santri datang membawa buah-buahan ranum, yang baru dipetik petang tadi. Sesisir pisang, tiga buah pauh mana lagi, dan sekeranjang jambu air. Kali ini suguhan penutup diantar oleh seorang santri.
Meski suasana makan itu lumrah, santri tadi merasa aneh. Terbesit tanya dalam dirinya, mengapa kiaiku selalu rapi setiap kali waktu makan tiba. Apa perlunya dandan bagai mau ke kondangan, padahal hanya makan malam khas pondokan? Namun apalah nyali seorang santri? Maka tanya pun dipendam dalam hati.
Lumrah bagi tiap seorang santri, tak berani ungkapkan tanya, dan hanya menyimpannya dalam hati. Meski pertanyaan itu sudah disusun rapi, semua diksi hanya tercekat tanpa bunyi. Siapa berani tak sopan pada Pak Kiai?
Namun malam yang berbeda itu tiba. Santri muda ini memberanikan diri. Sambil mengusung suguhan penutup, ia lontarkan tanya tanpa gugup.
“Pak Kiai, kiranya saya diajari cara makan yang benar,” santri muda memohon.
Sorot mata Kiai langsung tertuju pada santri nekat itu. Sambil tersenyum, kiai menjelaskan.
“Saya tidak sedang menghormati hidangan-hidangan ini, meski mereka telah membuat perutku kenyang. Makanan-makanan ini hanya makhluk. Nasi dan kerupuk hanyalah syarat, buah dan air pun hanyalah makhluk pengantar kenyang. Kita dan seisi meja makan, hanya makhluk Allah yang tidak berdaya. Yang Maha Mengenyangkan hanya Allah.”
Santri muda mengangguk-angguk. Usianya belum mampu arif dan mengerti secara mutlak.
“Yang saya lakukan ini, adalah sebentuk penghormatan pada proses panjang yang mengantarkan hidangan ini sampai di meja makan. Ribuan, bahkan jutaan orang terlibat dalam proses ini,” bijak Pak Kiai menerangkan.
“Berapa banyak orang terlibat dalam mengolah sawah, hingga menghasilkan beras? Sebelum sampai ke pasar, beras itu dibersihkan, dikemas, lalu dijual. Proses ini juga berlaku pada sayur, kerupuk, dan sederet santapan yang tiap hari berjejer di meja saya. Bahkan kendi tempat air yang kita minum ini,” jelas Pak Kiai.
“Maka,” lanjut Pak Kiai, “saya tidak hanya memakan semua hidangan yang telah masuk ke piring saya. Bahkan tak sebutir nasi pun kusisakan. Semua akan kuhabiskan dengan bersih. Inilah arti menghormati proses yang dilakukan banyak manusia lain, sehingga perut kita bisa kenyang.”
Tertunduk wajah sang santri. Kini ia pahami. Santri muda itu bernama Habib Luthfi bin Yahya.
Kisah yang beliau sampaikan dalam suatu majlis ilmu, nyata terjadi saat dirinya mondok di sebuah pesantren.
Para Bocah yang Tidur dengan Perut Lapar
Banyak hikmah yang bisa kita petik dari sekelumit adegan di ruang makan itu. Meski sederhana, kita sulit mengelak pada kenyataan bahwa persoalan “makan” tidak pernah mudah diselesaikan. Di lain sisi, betapa tertinggalnya kita dalam memahami hikmah-hikmah lokal, yang sebenarnya bersifat universal.
Di sana ada lapar, di tempat lain berlangsung akses pangan yang timpang. Berita bocah-bocah kelaparan di perkotaan, kerap membuat kita terhenyak heran. Isu lama mengglobal, tak henti dibincangkan, meski tak juga jadi viral.
Menengok data di bisnis.com, di Indonesia ada sekitar 19,4 juta orang menderita kurang gizi dan tidur dalam keadaan lapar. Lebih perih lagi, bahwa 1 dari 3 anak Indonesia menderita stunting, kurang gizi tahap akut. Kita yang mungkin berperut tambun, pernahkah mengingat bocah-bocah kerdil karena tubuh enggan bertumbuh?
Ala bisa karena biasa, mencampakkan makanan menjadi kebiasaan. Dan lihatlah dampaknya: Indeks kelaparan global (Global Hunger Index) Indonesia berada pada angka 21,9%, sedikit lebih tinggi dari Laos. Ironisnya, rata-rata satu orang di Indonesia membuang 300 kg makanan setiap tahun.
Bukan prestasi membanggakan, namun nyata: Indonesia bertengger di posisi kedua sebagai negara pembuang makanan terbesar di dunia, setelah Saudi Arabia. Food waste, membuang-buang makanan, tak sekedar mencatat tingkat mubazir dan kerugian. Ia berdampak besar pula terhadap ketahanan pangan global.
Dengarkan kata Profesir Riccardo Valentini dari Università della Tuscia Italia, bahwa global warming akan berkontribusi pada kenaikan harga pangan global. Angkanya mengerikan, antara 3 hingga 84 persen pada tahun 2050. Padahal kini, lebih dari 800 juta orang menderita kekurangan gizi akut di seantero dunia. Dan mereka yang meninggal karena kekurangan pangan, sekitar 36 juta. (Republika.com)
Pangan dunia sungguh tak aman. Tantangan paling alot, adalah menangani masalah kelaparan ini. Distribusi makanan yang tak merata dan nafsu membeli tanpa memperhitungkan kebutuhan, disebut banyak menyumbang terjadinya hal ini. Harga makanan pun terus meroket akibat biaya produksi yang kian tinggi.
Sebutir nasi punya dampak yang begitu besar. Bisa kita bayangkan, 40 persen lahan kita pergunakan untuk keperluan agrikultur, dengan mengonsumsi 70 persen kebutuhan air yang kita pakai. Bijak bersikap pada makanan, tak hanya sebentuk kepedulian pada jutaan perut yang keroncongan, tapi juga mengurangi beban pada bumi yang semakin tercemar.