Edi Wahyu SM
Penulis Kolom

Dosen di sebuah perguruan tinggi di Bandung dan Pendiri dari Radi3kS Institute (lingkar studi pendidikan, kebudayaan, kesehatan dan keadilan sosial). Terkadang mengisi waktu senggangnya dengan bermain sepakbola atau futsal bersama komunitas alumni segenerasinya

Kang Jalal dan Konsep Ulil-Albab: Semacam Catatan Retrospektif

Eugcj8 Uyaezmq7

Saya merasa beruntung menjadi bagian dari generasi bangsa ini yang berkesempatan menyandang status mahasiswa pada peralihan era 1980-an ke 1990-an.

Pada saat itu, suasana yang terjadi di sekitar dan di luar kampus ikut membentuk dan mendorong minat saya kepada berbagai aktivitas di organisasi kemahasiwaan dan belakangan juga di kegiatan keagamaan.

Masa itu rasanya saya masih unyu-unyu dan merasa sangat culun, seorang anak desa dari seputaran kaki Gunung Sindoro-Sumbing yang harus merantau jauh karena diterima di perguruan tinggi negeri di Bandung. Sebelumnya, tak sekali pun saya pernah menginjakkan kaki di kota yang dikenal pula sebagai “Parijs van Java” itu. Tak pula punya sanak saudara di sana yang bisa dihubungi untuk sekadar ditanya-tanya.

Beruntung, Yayasan Pembinaan Masjid (YPM) Salman merelakan salah dua ruangan serbagunanya untuk dipakai sebagai tempat penampungan sementara bagi para mahasiswa yang bernasib seperti saya. Jadi, amanlah saya karena ada tempat berteduh, tidak harus menjadikan langit sebagai atap rumahku dan bumi sebagai lantainya sebagaimana syair lagu yang didendangkan oleh Bang Haji alias Rhoma Irama.

Seusai mendaftar ulang di jalan Tamansari 64 sampai dengan selesainya acara “Penataran P4 Pola Pendukung 100 Jam Bagi Mahasiswa Baru”, saya bersama sekitar 40-an mahasiswa baru lainnya tinggal dan menginap di dua ruangan yang berdekatan dengan Kantin Salman. Bagi kalangan jelata seperti saya, kantin itu merupakan tempat makan legendaris yang bahkan sampai kini pun terkadang masih saya datangi.

Dalam sayup-sayup ingatan saya, selain menu dan rasanya yang berterima di lidah serta harga makanan-minumannya yang lumayan cocok di kantong, ada satu hal yang menakjubkan dari Kantin Salman. Yakni, kecepatan mbak kasirnya dalam menghitung berapa yang harus dibayar untuk setiap antrian piring yang isinya rata-rata sudah mirip dengan replika Gunung Sumbing itu: tinggi-menjulang dengan bagian atasnya sedikit datar walau tetap tidak sama rata. Sebagian kawan lantas berseloroh dan mengatakannya (Kantin Salman) sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia.

Baca juga:  Riwayat Buya Hamka, Ulama Multitalenta

Sebagai anak desa, saya sama sekali awam dalam hal-ihwal keorganisasian. Memang, saat SMA saya ikut tercantum sebagai pengurus OSIS, didapuk sebagai seksi tenis meja dari divisi olahraga. Tapi, seingat saya, tak sekali pun saya pernah diajak ikut rapat OSIS. Pun rasanya saya tak ditanya dulu ketika kemudian namanya diikutsertakan dalam susunan kepengurusan OSIS saat itu.

Tak banyak beda pula halnya dengan kegiatan keagamaan. Tidak ada yang istimewa, karena paling-paling hanya ikutan belajar mengaji di langgar atau masjid dusun. Kadang-kadang, saya menghadiri acara pengajian yang digelar setiap ahad kliwon di masjid desa, Masjid At-Taqwa.

Sesekali, saya ikut numpang baca Al Muslimun, majalah bulanan terbitan Persis-Bangil yang terkadang saya lihat tergeletak di rumah tokoh desa yang juga menjadi pengurus ranting Muhammadiyah.

Saya juga pernah memperkuat PS HW (Persatuan Sepak bola Hizbul Wathan), kesebelasan di bawah naungan Muhammadiyah melalui sayap kepemudaan dan kepanduannya yang bernama Hizbul Wathan.

Dengan latar belakang hanya seperti itu, tak aneh kalo saya sering kaget bercampur kagum saat mendengar isi kultum –aslinya bermakna kuliah tujuh menit tetapi sering berlangsung lebih lama dari itu– yang disampaikan kakak-kakak angkatan. Mereka bergiliran hadir di pagi, sore atau malam hari di RSG Tiga, demikian ruangan di kompleks bangunan Masjid Salman yang disulap menjadi tempat penampungan sementara itu biasa disebut.

Pelan-pelan, saya mulai mengenal istilah-istilah yang erat kaitannya dengan organisasi kemahasiswaan seperti NKK/BKK, dewan mahasiswa, gerakan mahasiswa, atau kebebasan mimbar.

Saya pun saat itu mulai terpapar dengan istilah, gagasan ataupun aktivitas keislaman semisal Studi Islam Intensif (SII), Lembaga Mujahid Dakwah (LMD), Suni-Syiah, kebangkitan Islam, sekularisasi, westernisasi, islamisasi sains, sampai istilah yang di kemudian hari cukup menarik perhatian saya: ulil albab.

Baca juga:  Kisah-Kisah Wali (6): Pertemanan yang Mendalam Kiai As'ad, dari Mahbub Djunaidi hingga LB. Moerdani

Walaupun hanya melalui kultum, yang durasi penyampaiannya jauh lebih sebentar dibandingkan dengan materi penataran P4 pada saat itu,  bagi saya materi-materi kultum tersebut –dan terkadang diskusi-diskusi kecil yang menyertainya– benar-benar meninggalkan kesan cukup dalam.

Berbagai istilah, konsep ataupun aktivitas di atas baru saya dengar dan kenal masa-masa itu berbarengan dengan peralihan status saya menjadi mahasiswa.

Saat masa perkuliahan tiba, seiring dengan berjalannya waktu, muncul niat dan tekad dalam diri saya untuk sebisa mungkin terlibat aktif baik di kegiatan kemahasiswaan maupun keagamaan.

Dengan segala kenaifan dalam hal pengertian dan apalagi pemahamannya, saya merasa kedua ranah aktivitas itu bisa terjembatani oleh konsep tentang ulil albab yang saya ketahui dan pahami kala itu.

Dalam konteks saat itu, istilah ulil albab yang saya dengar dan pahami sering dikaitkan dengan Dr. AM Saefuddin, doktor di bidang ekonomi pertanian lulusan Justus-Liebig-Universität (JLU), Giessen, Jerman.

Mungkin karena Pak AM, demikian beliau biasa dipanggil, di masa-masa itu terlibat aktif dalam pengelolaan pesantren yang diberi nama Ulil Albaab. Pesantren itu sendiri didirikan oleh Pak AM dan kawan-kawan di Bogor pada 15 Juli 1987.

Penelusuran sederhana yang saya lakukan menemukan bahwa sebenarnya beberapa tahun sebelum pesantren Ulil Albaab itu didirikan, istilah ulil albab sudah muncul pada kata pengantar berjudul “Ali Syari’ati: Panggilan untuk Ulil-Albab” yang terdapat di buku Ideologi Kaum Intelektual, buku terjemahan karya Ali Syari’ati yang diterbitkan Mizan pada 1984.

Kata pengantarnya sendiri ditulis oleh Jalaluddin Rakhmat, cendekiawan muslim asli Sunda yang namanya saat itu mulai meroket ke pentas kecendekiawanan nasional.

Di kalangan jamaah pengajian yang dibinanya, beliau biasa dipanggil Pak Jalal, Bapak atau Ustadz Jalal. Media massa dan kalangan lebih luas di era itu lebih mengenal nama Kang Jalal sebagai nama bekennya.

Baca juga:  Ilmuwan Muslim Cum Musisi (4): Menurut Ibnu Sina, Musik adalah Jalan Utama untuk Kesehatan

Ketertarikan akan konsep ulil albab mendorong saya untuk sedikit melakukan penelusuran lebih lanjut. Dorongan itu di antaranya mengantarkan saya menjelajahi isi buku karya Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Buku itu hadir berselang dua tahun setelah buku karya Ali Syari’ati dan diterbitkan oleh penerbit yang sama, Mizan.

Pada buku tersebut, kedua penulis berusaha menampilkan analisis sosial historis perkembangan pemikiran Islam di Indonesia sejak masuknya Islam hingga ke perkembangan mutakhirnya. Mereka kemudian merumuskan adanya empat peta baru yang tengah berkembang kala itu berikut tokoh-tokoh utama di dalamnya.

Keempat peta baru tersebut kemudian dikelompokkan sebagai (1) neo-modernisme Islam, (2) sosialisme-demokrasi Islam, (3) internasionalisme atau universalisme Islam, dan (4) modernisme Islam.

Dalam empat ragam peta rumusan duet alumnus IAIN Jakarta tersebut, gagasan dan pemikiran dari AM. Saefuddin dan Jalaluddin Rakhmat ditempatkan pada kotak yang sama, yakni dalam kategori internasionalisme atau universalisme Islam.

Saya tidak bermaksud melangkah dan membahas lebih jauh akan apa yang dimaksud dengan kategori tersebut. Cukuplah di sini disebutkan bahwa dalam buku itu, Fachry dan Bahtiar sempat menyinggung tentang ulil albab dalam kaitannya dengan pembahasan pemikiran dari Kang Jalal.

Pada saat yang sama, istilah ulil albab tidak ditemukan pada bagian pembahasan untuk peta pemikiran dari Pak AM.

Dus, berangkat dari hal-hal kecil seperti tertulis di atas, saya dengan agak sedikit lancang mencoba menyimpulkan bahwa secara historis, hadirnya konsep ulil albab di dalam wacana keislaman di tanah air lebih dekat dan lebih lekat dengan nama Kang Jalal. Wallahu a’lam bish-shawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top