Sedang Membaca
Mendokumentasikan Syair Kuno, Pentingkah?
Avatar
Penulis Kolom

Alumni Jurusan Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir UIN Walisongo Semarang dan alumni Pondok Pesantren Nurul Ikhlas Banyubiru Negara Bali. Saat ini aktif meneliti dan menulis tentang Khazanah Keislaman Bali; Sejarah, Budaya, Agama, dan Relasi Muslim-Hindu Bali.

Mendokumentasikan Syair Kuno, Pentingkah?

Syair Kuno

Proses digitalisasi naskah manuskrip kuno yang diiniasi oleh berbagai lembaga baik dari pemerintah maupun swasta sudah menjadi agenda penting hampir di beberapa negara di dunia, seperti Belanda, Inggris, dan termasuk Indonesia sebagai upaya melestarikan warisan nenek moyang kita. Indonesia (sudah tidak diragukan lagi) memiliki khazanah manuskrip lokal yang sangat melimpah.

Jumlahnya mencapai ribuan dan masih banyak yang belum terdata atau terdigitalisasi dengan baik. Tentu dengan banyaknya kekayaan yang kita miliki, Indonesia harus berupaya menjaganya dan generasi muda memiliki tugas besar agar isi ajaran dari manuskrip-manuskrip tersebut dapat dirasakan secara terus menerus (sustainable) oleh masyarakat.

Pada Desember 2017, Oman Fathurrahman dan Jan Van deer Putten menginisiasi program bersama bernama Digital Repository on Endangered and Affected Manuscripts in Southeast Asia (DREAMSEA) sebagai salah satu upaya untuk melestarikan manuskrip-manuskrip di seluruh wilayah Asia Tenggara agar dapat diakses sepenuhnya dan terbuka secara online. (https://ppim.uinjkt.ac.id/program/dreamsea/).  Hingga saat ini, DREAMSEA sudah berhasil mendigitalisasi 1854 judul naskah yang berasal dari Indonesia dan Laos. (https://www.hmmlcloud.org/dreamsea/index.php)

Dokumentasi tembang macapatan atau syair dari naskah kuno dalam bentuk audio belum banyak dilakukan oleh lembaga atau institusi, (jika ada, kita belum bisa melihat semasif seperti program DREAMSEA). Tentu dari kenyataan tersebut, macapatan dan syair itu akan lebih menarik jika tersedia dalam bentu audio-nya yang bisa diakses secara online. Hal ini tentu sangat mungkin dilakukan. Sebut saja kita bisa menggunakan voice recorder dari smartphone kita untuk merekamnya dan platform Youtube sebagai media publikasinya.

Baca juga:  Corak Musik dalam Islam di Indonesia (2)

Keresahan ini nampaknya sejalan dengan apa yang dirasakan oleh Nur Ahmad. Ia menyampaikan bahwa yang bisa menembangan macapatan dan syair-syair dalam naskah kuno sudah sangat sedikit. Hal ini menjadi PR kita bersama. Kita membutuhkan pula dokumentasi audio agar generasi selanjutnya tidak hanya dapat menikmati naskahnya saja, melainkan dapat mendengarkan lantunan nadanya.

Setidaknya dari temuannya di Perpustakaan Leiden, Belanda, ia menemukan beberapa naskah yang berisi macapatan dan syair seperti: Kidung Rumekso Ing Wengi karya Sunan Kalijaga yang ditulis oleh santri di Jepara pada tahun 1809, Serat Tuhfah yang berasal dari kitab tasawuf berjudul Tuhfatul Mursalah ila an-Nabi yang ditulis oleh Santri Jawa menjadi prosa berbentuk macapatan, Kitab Wulang Haji yang terdiri dari 332 bait syair karya Raden Moehamad Hoesen pada 1873, dan masih banyak naskah macapatan dan syair lainnya. (https://alif.id/read/author/nur-ahmad/)

Penulis menemukan syair kuno yang sudah tercetak dengan rapi dalam aksara pegon berbahasa Melayu. Syair-syair tersebut berisi tentang ajaran nasionalisme, budaya, dan ajaran Islam penting lainnya. (https://alif.id/read/ear/nasionalisme-dalam-kearifan-lokal-syair-nasionalisme-kyai-bali-b237727p/). Namun permasalahannya adalah syair-syair tersebut saat ini sangat jarang dilantunkan dan hanya kalangan tertentu yang dapat melantunkannya. Kenyataan ini tentunya dapat menyebabkan kepunahan jika tidak segera dilakukan dokumentasi. Seseorang yang mengetahui secara utuh akan syair-syair ini hanyalah Hj. Musyarrafah, putri dari pengarang syair tersebut, KHR. Ahmad Al Hadi.

Baca juga:  Bahasa dan Sastra Pesantren (4): Fungsi Sastra Pesantren dalam Sejarahnya

Pada Sabtu 12 November 2022, penulis memutuskan untuk berkunjung ke Pondok Pesantren Manbaul Ulum Jembrana Bali, kediaman Hj. Musyarrafah Ahmad. Perjalanan menuju pondok tertua di Bali itu membutuhkan 3-4 jam menggunakan jalur darat dari Kota Denpasar. Dimulai dari sekitar pukul 08.30 WITA, kami memulai proses perekaman syair-syair tersebut menggunakan alat seadanya dan memakan waktu kurang lebih satu jam. Tentu di usianya saat ini, penulis mengapresiasi semangat Tok Cik (sapaan akrab Hj. Musyarrafah) atas ketersediannya melantunkan syair demi syair.

Kitab berjudul “Kumpulan Sya’ir KHR. Ahmad Al Hadi bin Dahlan Al Falaky (1895-1976) ini berisi 43 syair. Di halaman 65, dijelaskan bahwa syair ini berhasil dirangkum pada Sabtu 25 Agustus 2018/ 13 Dzul Hijjah 1439H. Dari 43 Syair yang tertulis, ada  4 syair yang menurut Tok Cik terdapat kesalahan ataupun beliau sedikit terlupa. Syair-syair tersebut ialah syair ke 13, 23, 28, dan 33. Kami tidak melakukan perekaman syair-syair tersebut. Selain itu, terdapat syair yang seharusnya menjadi satu namun dalam penulisan terpisah, syair ke 29 dan 30, 31 dan 32, dan 37 dan 38. Hanya syair ke 40 yang perekamannya tidak selesai sempurna. Selebihnya, syair yang rata-rata berdurasi satu menit ini dapat terdokumentasi dengan baik melalui aplikasi voice recorder dari smartphone penulis.

Melalui tindakan sederhana ini, penulis berharap dokumentasi dalam bentuk audio sudah selayaknya dimasifkan lagi. Para generasi muda akan lebih mudah untuk mengetahui apa yang terkandung dalam manuskrip yang berisi macapatan atau syair jika dalam bentuk audio. Kenyataannya, membaca manuskrip kuno itu butuh usaha yang tidak sedikit, belum lagi keilmuan seperti ilmu filologi yang harus dimiliki.

Baca juga:  Bahasa dan Sastra Pesantren (3): Bahasa Jawa Kuno (Kawi) dalam Sejarah Pesantren

Penulis berharap warisan nenek moyang kita ini nantinya dapat menemani aktifitas sehari-hari jika sudah tersedia dalam bentuk audio. Bisa saja suatu saat nanti kepopulerannya dapat menyaingi musik-musik dangdut ataupun pop yang sedang booming di Indonesia saat ini. Bayangkan saja jika ini terjadi. Menarik bukan?

Sepantun syair tiada salahnya

            Karena Tuhan tiada melarang

            Tetapi ingat adab diri kita

            Agar senikmatnya tetaplah jaya

            (Syair ke-22)

*Hasil rekaman syair-syair tersebut rencananya akan didokumentasikan secara rapi agar dapat dikonsumsi masyarakat secara online. Namun karena keterbatasan alat yang digunakan, kualitas rekaman yang ada masih sangat jauh dari kata sempurna.

*Terima kasih penulis sampaikan kepada Hj. Musyarrafah Ahmad yang telah berkenan untuk melantunkan syair-syair tersebut dan direkam oleh penulis. Terima kasih pula kepada KH. Moh Zaki HAR yang telah meluangkan waktunya dalam mendampingi kami dalam proses perekaman. Terakhir, terima kasih sebanyak-banyak nya kepada Rahil Zilfa yang telah membantu dan mendukung penulis dari awal hingga akhir proses perekaman ini di tengah kesibukannya sebagai pengajar dan ibu bagi putra-putrinya.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top